-- Ninok Leksono*
"Di samping segala-galanya (urusan lain-lain—pen), perjuangan untuk Kemerdekaanlah yang harus menjadi pokok pekerjaan semua orang Indonesia di zaman-zaman kesukaran seperti sekarang ini." (Ismail Marzuki, dalam ”Minggu Merdeka”, 1/6/1958)
Ucapan itu sendiri keluar dari Bang Mail—panggilan akrab Ismail Marzuki—semasa pemerintahan bala tentara Dai Nippon berada dalam kemegahannya; semasa semua segi kehidupan kita—politik, ekonomi, kebudayaan—harus ditujukan dan dilakukan untuk kepentingan Jepang, dan ”menang perang” (Asia Timur Raya).
Berarti Bang Mail menyadari bahwa tujuan utama bermusiknya, semangat yang menggebu untuk mencipta lagu, sebetulnya untuk mendukung upaya mencapai kemerdekaan. Jadi, tidak mengherankan kalau banyak dari 202 lagu ciptaannya bercorak romantika perjuangan. Bahkan, ketika kemerdekaan yang telah dikumandangkan 17 Agustus 1945 itu terancam oleh kekuatan kolonial yang ingin kembali berkuasa, Ismail terus menggugah semangat bangsanya melalui lagu-lagu perjuangan, seperti Sepasang Mata Bola (1946) dan Melati di Tapal Batas (1947).
Penggolong-golongan karya Ismail dalam tiga periode perjuangan, yakni Hindia-Belanda (1900-1942), Pendudukan Jepang (1942-1945), dan Revolusi (1945-1950), menyiratkan kentalnya konteks karya musik komponis kita ini dengan perjuangan. Dalam hal Ismail, karya pertamanya pun—O Sarinah (1931)—menggunakan judul yang maknanya lebih dari sekadar nama seorang wanita. Sarinah juga lambang bangsa yang tertindas penjajah.
Ismail tentu tidak sendirian dalam musik bergenre perjuangan ini. Lainnya, antara lain R Maladi, yang dikenal sebagai pencipta lagu Rangkaian Melati, dan Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Lagu-lagu tersebut ia ciptakan semasa penjajahan Jepang, 1942-1945. Rangkaian Melati disebut diilhami kisah nyata seorang putri cantik Solo yang punya kekasih tampan. SN Ratmana di harian ini (12/2/1978) menulis, sang kekasih ini ditangkap perwira Dai Nippon, lalu dikirim ke Burma (Myanmar) untuk dijadikan romusa atau heiho.
Syair lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama sendiri juga simbolik, seperti ”Si Miskin pun yang hidup sengsara, semalam itu bersuka”. Maladi mengakui, rakyat hidup miskin semasa penjajahan. Namun, sesekali mereka bisa merasa senang karena kemerdekaan telah membayang, seperti dilukiskan dalam simbol bulan purnama.
Pada lagu Solo di Waktu Malam, Maladi menulis ”Daun berbisik di tepi sungai”, yang menyimbolkan para pemuda pejuang yang bertukar pikiran di kawasan Jurug dan Tirtonadi. Namun, perbincangan para pemuda itu dilakukan dengan berbisik, sementara pada Ombak Samudra terdapat lirik ”Kapan kau pulang ombak samudra. Kembali ke pantai bahagia”. Ini juga ekspresi kerinduan pada sesuatu yang membahagiakan, yang tiada lain adalah kemerdekaan.
Selain simbolisme dan cita-cita, ciptaan Maladi juga mencoba merekam sejarah. Di Sela-sela Rumput Hijau merupakan rekaman pemberontakan Peta di Blitar, Februari 1945, di bawah pimpinan Supriadi. Sementara Ombak Samudra mencatat peristiwa bertolaknya Soekarno dan Hatta ke Saigon untuk menemui Jenderal Terauchi akhir Juli 1945 dan Nyiur Hijau melukiskan fajar Indonesia Merdeka, yaitu ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk awal Agustus 1945.
Memuncaki penggunaan musik untuk menggelorakan semangat perjuangan menuju kemerdekaan tentu saja kiprah WR Supratman, yang sudah menggubah Indonesia Raya tahun 1928. Supratman menuliskan ”lagu kebangsaan” di bawah judul Indonesia Raya, hal yang kemudian dilarang Pemerintah Hindia Belanda. Seperti ditulis Bondan Winarno dalam buku tentang Indonesia Raya (2003), Gubernur Jenderal Jonkheer de Graeff mungkin saat itu beralasan, ”Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi bangsa yang toh tidak ada?”
Indonesia Raya yang susunan liriknya merupakan soneta (sajak 14 baris)—mengingatkan orang kepada Empu Walmiki ketika menulis epik Ramayana—segera setelah dikumandangkan menjadi seloka sakti yang mempersatukan bangsa. Belanda yang lebih suka menyebut bangsa Nusantara sebagai bangsa Jawa, Sunda, atau Sumatera, tahu potensi lagu ini untuk mempersatukan dan melarangnya. Tetapi, semakin dilarang, semakin kuatlah lagu ini menjadi penyemangat dan perekat bangsa.
Nasionalisme melalui musik
Dalam perjalanannya, musik Indonesia melahirkan satu genre yang dikenal sebagai seriosa. Sebagian mengangkat puisi penyair termasyhur, seperti Chairil Anwar, sebagai lirik (Cintaku Jauh di Pulau/FX Soetopo). Di Barat, genre ini dikenal sebagai art song atau lied (Jerman).
Dalam genre ini banyak pula terkandung elemen nasional, juga perjuangan. Tetapi, setelah sempat mengalami kejayaan di dekade 1960-an dan 1970-an, seriosa Indonesia meredup.
Kalau semangat perjuangan melalui musik seriosa cukup ditopang vokalis dan pianis, semangat sama bisa pula diangkat ke dalam musik orkestra. Meski di Barat dikenal musik nasional yang hebat seperti Finlandia karya Sibelius dan Moldau (nama sungai besar yang melewati Praha) karya Smetana, pemusik Indonesia yang punya tekad dan kapasitas untuk mentransformasikan semangat tersebut ke dalam musik orkestra adalah mendiang Yazeed Djamin. Setelah menghasilkan musik orkestra untuk lagu seperti Betawi (Ondel-ondel), Yazeed—atas pesanan mantan Presiden BJ Habibie—menggubah Variasi Sepasang Mata Bola pada tahun 1999.
Terlepas dari warna diatonik pada karya ini, Variasi Sepasang Mata Bola merupakan upaya untuk menghidup-hidupkan semangat kemerdekaan melalui musik.
Kemerdekaan, sebagaimana musik nasional yang pada masa lalu ikut membantu kelahirannya, kini sama-sama berhadapan dengan arus global yang kuat. Namun, dalam tekanan itu pula, melalui musik nasional selalu menyusup kenangan kebangkitan bangsa.
Dalam kaitan ini pula kita terus merindukan pemusik ulung Indonesia, yang menjawab tantangan untuk melahirkan musik nasional sehingga kita bisa punya sosok, seperti Vaugh Williams yang unmistakably Inggris dan Aaron Copland yang tak salah lagi Amerika.
Komposer besar Italia, G Verdi, meyakini, ”Tiada hal yang bisa membungkam suara bangsa”. Kini pun, ketika masih banyak suara hati bangsa yang harus dikumandangkan ketika lidah masih belum sepenuhnya terampil mengatakannya, musik adalah kanalnya, sebagaimana telah diperlihatkan Ismail Marzuki, Maladi, dan WR Supratman pada masa prakemerdekaan.
Sumber: Kompas, Senin, 15 September 2008
No comments:
Post a Comment