-- Wahyudin*
DATANG pertama kali ke Nusantara lewat Batavia pada 1841, fotografi menanggalkan status terhormatnya sebagai bentuk teknologi dan seni baru yang berkehendak melakukan demokratisasi seni di Eropa dan berkedudukan sebagai ”mata penguasa” yang tidak hanya berambisi merekam secara ilmiah kondisi alam dan geografi di Hindia Belanda, tapi juga bernafsu menjinakkan penduduk pribumi di koloni itu karena—untuk memakai pernyataan resmi pemerintah kolonial via Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2006: 145)—”dua mata sering tidak cukup untuk mengawasi mereka”.
Bocah sedang buang hajat di kakus. (DOK TILLEMA / Kompas Images)
Dalam kedudukan itu, dengan ambisi dan nafsu yang menyertainya, para juru foto menjelma sebagai ”pengintip elite” yang memiliki privilese untuk mengamati dan mengumbar kehidupan pribadi penduduk pribumi, seperti yang dilakukan oleh bapak pendiri fotografi modern di Hindia Belanda, HF Tillema, dalam proyek fotografi bertajuk Kromoblanda (1915-1923) yang mendapat sokongan transportasi militer untuk mengamankan jalannya proyek besar tentang tinja di Hindia Belanda itu.
”Hampir satu jilid Kromoblanda dihabiskan oleh foto-foto kamar mandi modern, mengilat, dan diberi ubin—keselarasan garis-garis lurus, tempat kebersihan, dan gudang cahaya yang cemerlang dan terukur,” tulis Mrazek (2006: 149)
Lebih dari itu, ”dalam kontras yang dramatis, di halaman yang sama biasanya ada foto-foto jamban orang-orang pribumi yang paling jorok, dan juga foto-foto orang pribumi itu sendiri. Berlawanan dengan jamban mereka yang buram, orang-orang pribumi itu diberi cahaya dengan baik. Beberapa pribumi, sebenarnya, difoto ketika sedang melakukan sesuatu yang amat pribadi,” ujar profesor sejarah di Universitas Michigan itu (2006: 150; huruf miring dari saya).
Saya ingin menambahkan pernyataan tersebut dengan mengomentari kelakuan Tillema itu sebagai—pinjam istilah sastrawan Italo Calvino dalam Petualangan Seorang Fotografer (2004: 76)—”pemerkosaan fotografik” terhadap dunia privat masyarakat pribumi. Bisa dibayangkan betapa menderita dan tersiksanya si bocah, justru pada saat ia tengah berupaya melepaskan cirit yang bersarang di perutnya. Betapa kurang ajarnya fotografer itu! Tampaknya, ia tak hanya mengintip, tapi lebih dari itu memaksa si bocah mempertontonkan apa yang najis kepada kita dalam kemilau cahaya.
Yang memilukan lagi, si bocah tampak begitu pasrah menerima perlakuan kurang ajar si ”pengintip” bule itu. Itu sebabnya, dalam situasi yang membekukan itu, ia tunduk-patuh kepada instruksi Tillema yang tak memperbolehkannya mengeluh, kecuali diam. Tampaknya, Tillema menghendaki sebuah aksi fotografis yang terencana dan hati-hati.
Dengan begitu, mengambilubah pendapat Jean Baudrillard dalam Galaksi Simulacra (2001: 128), kamera Tillema tak bermaksud memahami si bocah atau memotretnya dengan tergesa-gesa. Tak ada keinginan menangkap apa yang ”alamiah” pada si bocah atau ”penampilannya seperti saat difoto”. Bahkan, boleh jadi, si bocah didandani terlebih dahulu sebelum dipotret sehingga membikin kita ragu apakah si bocah benar-benar sedang buang hajat saat dipotret ataukah ia hanya pura-pura buang hajat untuk memenuhi proyek fotografi Tillema?
Tampaknya, foto itu merupakan foto manipulasi tentang seorang pribumi yang direkayasa tengah membuang cirit untuk menunjukkan citra jorok dan kotor penduduk pribumi di Hindia Belanda. Apa boleh buat, para penguasa kolonial di mana pun, tak terkecuali di Nusantara, memang kerap memperlakukan orang-orang pribumi sebagai sekadar obyek permainan imajiner di tanah jajahan. Maka, saya kira, perbuatan Tillema terhadap si bocah bukan hanya ”pemerkosaan fotografik”, melainkan sudah termasuk ke dalam apa yang disebut Baudrillard (2001: 126) sebagai ”pembunuhan simbolik yang menjadi bagian dari tindakan fotografis.”
Meremas jantung, tentu saja. Sebab, ”mata penguasa” kolonial itu hanya berkepentingan kepada penduduk pribumi sebagai sekadar obyek-obyek domestik untuk memperlihatkan kontras dramatis akan superioritas penjajah berkulit putih. Di luar itu, orang-orang pribumi seolah-olah lenyap dari penglihatan, sekalipun mereka hadir di sana, misalnya dalam foto-foto keluarga Belanda.
Rupanya, kenyataan itu tidak hanya memuakkan, tapi juga memalukan bagi seorang sejarawan kritis Belanda bernama Frances Gouda yang bukan kebetulan pernah tinggal bersama orangtuanya di Hindia Belanda.
”Ketika kecil, saya tak pernah heran mengapa berjuta-juta orang Indonesia tak pernah tampak di berbagai foto tersebut, kecuali satu foto baboe Siti dengan kakak saya dalam gendongannya. Saya rasa, saya telah termakan mentah-mentah oleh ingatan orangtua saya bahwa orang Indonesia cenderung tidak memperlihatkan diri, lebih sering menjadi latar panggung hiruk-pikuk kehidupan dan kerja komunitas kolonial Belanda,” tulisnya dalam Dutch Culture Overseas (2007: 33).
Itu sebabnya, ”kini, sebagai manusia dewasa dan seorang sejarawan yang mencoba menanggapi dengan serius wujud-khas kolonial Belanda abad ke-20 di kepulauan Indonesia, saya terkadang bertanya-tanya sekaligus malu mengingat kebodohan saya karena sama sekali tidak memerhatikan ketakhadiran wajah-wajah orang Indonesia dalam foto-foto keluarga yang membanjiri masa kecil saya,” kata profesor sejarah dan jender di Universitas Amsterdam itu (2007: 35).
Kita mungkin pernah mendengar ungkapan ”foto keluarga selalu berdusta.” Saya kira, pernyataan Gouda tersebut merupakan terjemahan yang baik dari ungkapan itu, yang datang dari rasa malu yang jujur. Dusta yang terdapat dalam foto keluarga Gouda berkenaan dengan manipulasi ingatan terhadap penduduk pribumi yang sengaja ditutup-tutupi keberadaannya di koloni Hindia Belanda. Dengan perkataan lain, dusta itu telah membekukan wajah-wajah orang Indonesia dalam senyap lewat foto.
Dalam perkara ini, saya kira, keluarga Gouda tidak sendirian. Hanya saja, sampai sejauh ini, tidak banyak kajian sebagaimana juga tidak banyak sejarawan yang mampu dan mau bersikap jujur seperti Frances Gouda, sehingga lengkap sudah penderitaan orang-orang pribumi yang terperangkap dalam—pinjam istilah Baudrillard (2001: 121)—“tulisan cahaya” yang melindap bersama lupa.
Di sinilah, saya kira, kita berhadapan dengan ambivalensi fotografi sebagai alat reproduksi mekanis. Kita percaya penuh seluruh kemampuannya mengabadikan suatu peristiwa. Tapi, apa yang abadi akan diam dan membisu tanpa pertolongan ingatan yang membantu kita membangkitkan peristiwa itu dari kehampaan, seperti malaikat Israfil membantu Tuhan membangkitkan manusia dari liang kubur setelah hari kiamat nanti. Ini kalau kita percaya kepada Hari Kebangkitan.
Sebaliknya, pinjam kata-kata Goenawan Mohamad via “Kain Baldwin” (2002: 14): “dalam mengenang tersirat lupa”—fotografi menolong kita memantulkan ingatan akan suatu peristiwa, seperti bulan memantulkan cahaya di danau.
* Wahyudin, Kurator Seni Rupa, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 28 September 2008
No comments:
Post a Comment