-- Rosihan Anwar
SEMINAR berjudul ”Kontribusi Ahmad Subardjo dalam Diplomasi Penegak Kemerdekaan Indonesia” diselenggarakan atas prakarsa Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda tanggal 25 Juli 2008 di Gedung Deplu. Saya hadir karena diundang. Saya kira akan mendengarkan suatu pertukaran pikiran akademik. Saya terheran-heran. Ternyata tujuan seminar mengumpulkan bahan-bahan pendukung bagi usulan, supaya Ahmad Subardjo, Menlu pertama RI, dijadikan Pahlawan Nasional.
Dua narasumber menguraikan tentang makna dan siapa pahlawan dan tantang tolok ukur yang dipakai oleh Departemen Sosial untuk menentukan seseorang menjadi Pahlawan Nasional. Menurut moderator, perbincangan di luar bidang tadi supaya dihindarkan. Saya merasa diri digiring atau railroaded ke satu sasaran: Ahmad Subardjo Pahlawan Nasional.
Saya kehilangan minat mengikuti pertanyaan atau komentar dari pihak hadirin. Eh, moderator (dari Deplu) meminta saya ikut berbicara selaku ”pelaku sejarah”, katanya.
Kalimat-pemuka yang saya utarakan adalah jelas dan lantang, yaitu saya mendukung tanpa ragu-ragu Bapak Ahmad Subardjo menjadi Pahlawan Nasional. Namun, saya tambahkan dengan catatan: Kita harus jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap kebenaran, jujur terhadap fakta sejarah.
Sebelumnya dari floor ada yang menanyakan tentang Alimin (tokoh PKI) sebagai Pahlawan Nasional agar gelarnya itu dicabut. Dari pihak narasumber diberi keterangan bahwa Presiden Soeharto menolak dicabutnya gelar itu dengan alasan itu adalah keputusan Presiden sebagai sebuah lembaga. Maka, dalam konteks ini saya paparkan secara ringkas fakta sejarah berikut.
Ahmad Subardjo terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta (ini suatu putsch atau upaya merebut kekuasaan dari pemerintah), ditahan bersama Tan Malaka, pemimpin Persatuan Perjuangan di Tawangmangu. Tan Malaka kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, suatu keputusan yang tepat. Akan tetapi, jika begitu halnya, jangan kita memakai ukuran ganda atau double standard. Alimin dan Tan Malaka sudah Pahlawan Nasional, nanti mudah-mudahan Ahmad Subardjo. Maka, mengapa tidak juga mengusulkan sebagai Pahlawan Nasional tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, atau Amir Sjarifoeddin? Orang-orang ini adalah pejuang kemerdekaan dari jam-jam pertama revolusi. Mereka sama sekali tidak kurang dari Anak Agung Gde Agung yang jadi Pahlawan Nasional tahun lalu. Karena Natsir dan Syafrudin terlibat dalam gerakan PRRI-Permesta? Karena Amir Sjarifoeddin ikut dengan PKI-Musso di Madiun?
Pikirkanlah itu. Mari kita jujur terhadap diri sendiri, kebenaran fakta sejarah. Jangan tinggal beku dalam ketentuan aturan-aturan birokrasi. Sebab ini soal yang cair mengalir, fluid, suatu proses sejarah yang bisa dan harus menanggapi perubahan tolok ukur, nilai serta paradigma.
Sebuah renungan
Seusai seminar yang tampaknya memuaskan pihak penyelenggara dari pihak narasumber disampaikan kepada saya dengan santun bahwa apa yang telah saya ucapkan adalah ”suara PSI”. Saya diam. Saya cuma bertanya pada diri sendiri argumen macam apa itu? PSI atau Partai Sosialis Indonesia telah dilarang dan dibubarkan oleh Presiden Soekarno medio 1960. Keterangan saya tadi bersifat personal. Saya bukan anggota terdaftar PSI, tetapi saya akui saya pengikut Sjahrir dan habitat saya adalah lingkungan sosdem alias sosialis-demokrat. Sekali lagi saya tegaskan, saya mendukung Ahmad Subardjo sebagai Pahlawan Nasional.
Ny Mien Soedarpo yang duduk di samping saya bertanya, apa untungnya jadi Pahlawan Nasional? Saya jawab tidak ada kalau dari sudut materi keuangan. Pahlawan Nasional tidak mendapat tunjangan tetap tiap bulan. Gelar itu hanya demi kehormatan.
Saya merenung, andaikata saya diusulkan jadi Pahlawan Nasional, saya akan menolak. Buat apa jadi Pahlawan Nasional? Namun, apabila saya diminta jadi capres yang bertanding dalam Pilpres 2009, saya pasti dengan penuh syahwat menjawab: Mau, mau. Cuma saya sudah berusia 86 tahun plus, artinya tokoh tua, stok lama, tidak punya ”gizi”, bagaimana bisa mengiklankan diri dan menebar citra? Parpol mana mau mengusung saya.
Untung saya tidak bisa bertanding, tak punya electability, derajat keterpilihan. Sebab, lawan-lawan capres yang harus saya hadapi adalah hebat. Bayangkan, SBY, JK, Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Sutrisno Bachir, Prabowo, Hidayat Nur Wahid, dan Rizal Ramli. Bayangkan capres tokoh muda Ch airul Tanjung, Anies Baswedan, Yenni Wahid, Roy Sembel, Yuddy Chrisnandi, dan Pramono Anung. Belum lagi Rizal Mallarangeng, Fadjlur Rachman, Ratna Sarumpaet, you name it. Saya pasti dikalahkan mereka.
Maka, yang tinggal pada diriku cuma suatu roh, suatu soul yang telah ditetapkan akan terus mengejar terlaksananya impian Indonesia, The Indonesian Dream.
* Rosihan Anwar, Wartawan Senior
Sumber: Kompas, Jumat, 19 September 2008 | 03:00 WIB
No comments:
Post a Comment