Sunday, September 28, 2008

Apresiasi Sastra dan Problem Bahasa

-- Agus Wibowo*

SASTRA, kata William Henry Hudson dalam Introduction to the Study of Literature (1960), selalu menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan. Itu karena anasir-anasir yang dicipta bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan rohani manusia seperti olah rasa, cipta dan karsa. Lewat kelembutan dan kehalusannya, lanjut Hudson, sastra mampu membangkitkan emosi luhur sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta akan keindahan.

Ketika hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (1964), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele.

Pertanyaannya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa, dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi sangat signifikan. Sebab, kedalaman dan penguasaan bahasa seseorang akan memberinya kemudahan untuk menangkap pesan, pengetahuan, hiburan, atau ancaman yang dibawa teks (termasuk sastra), termasuk kemudahan menyampaikan pengetahuan itu pada orang lain.

Maka, benar kata Seno Gumira Ajidarma (2007), bahasa itu menentukan corak berpikir tentang sesuatu, ekpresi imajinasi, dan pengetahuan seseorang. Singkatnya, bahasa adalah batas pengetahuan dan batas apresiasi budaya seseorang.

Fakta itu juga saya alami ketika menyimak Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) membacakan karya sastra maupun orasi budaya yang disampaikan setiap malam tengah bulan. Demikian juga ketika mendengar Mustofa W. Hasyim, Hamdy Salad, Indra Trenggono, Agus R. Sarjono, Beni Setia, dan sastrawan lainnya membaca karyanya. Para sastrawan dan penyair itu, karena penguasaan bahasa, mampu menangkap pesan teks--baik yang tersurat maupun tidak--secara apik, yang selanjutnya dikomunikasikan kepada audience sastra. Karena penguasaan bahasa pula, audience sekitar saya ada yang menangis terharu, gusar, atau hanya melongo (baca; tak tahu apa-apa).

Dari analisis itu, tepat pendapat Slamet Mulyana bahwa besar kecilnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra ditentukan penguasaan bahasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita tidak menanamkan penguasaan keterampilan bahasa itu pada anak didik. Dalam kegiatan pembelajaran, guru lebih sering menekankan teori dan pengetahuan bahasa, daripada mengutamakan keterampilan berbahasa. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia cenderung membawa siswa belajar tentang bahasa daripada belajar berbahasa, aspek kognitif lebih diutamakan daripada aspek psikomotorik.

Kurikulum pengajaran bahasa, tulis St. Kartono (2007), benar silih berganti, mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, hingga 2006. Namun demikian, pendekatan pembelajaran bahasa yang mendasari kurikulum itu belum beranjak dari pendekatan struktural menuju pendekatan komunikatif. Belum lagi keterbatasan alokasi waktu, di mana untuk SMA hanya disediakan waktu empat jam pelajaran tiap minggu.

Bandingkan dengan pelajaran IPA, Matematika, Fisika dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Anehnya, kurikulum itu dengan tegas mensyaratkan kenaikan kelas atau kelulusan dengan nilai bahasa Indonesia bukan merah.

Keterbatasan Bahasa

Problem pengajaran bahasa masih diperparah dengan kualitas bahasa Indonesia sendiri, ketika dipersandingkan dengan bahasa dunia lainnya. Bahasa kita (Indonesia) tidak mampu menangkap dan menerjemahkan semua letupan atau "ujaran" sastra. Fenomena ini dikeluhkan hampir semua sastrawan kita, salah satunya Otto Sukatno C.R. (2007).

Menurut Otto, lantaran sempitnya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah bahasa asing. Akibatnya, produk sastra menjadi elitis karena maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain). Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia.

Keterbatasan bahasa kita, semakin terasa tatkala menerjemahkan karya sastra atau pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India dan sebagainya). Naskah asli misalnya hanya sekitar 100 lembar, tetapi begitu diterjemahkan menjadi 200 lembar atau lebih. Karena keterbatasan perbendaharaan kosakata pula, bahasa kita sering memenggal atau mendangkalkan rasa bahasa aslinya.

Ketika membaca dan mengapresiasikan karya-karya besar semacam Wordsworth, Mahabarata, Ramayana, dan Mary Shelley, mestinya hati kita akan takjub dan bergetar. Akan tetapi justru sebaliknya, karya besar itu terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah relung batin kita. Ini artinya, bahasa kita boros kata tetapi dangkal makna.

Selain aspek pengajaran, problem bahasa juga tidak lepas dari peran politik dan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru (Orba) misalnya, sering menempatkan bahasa sebagai komoditi kekuasaan yang sering dipolitisi. Orba dengan sistem sentralistik dan totaliter, mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka, dikeluarkanlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan "Ejaan Yang Disempurnakan" (EYD).

Di satu sisi, adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosakata asing bertujuan meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, aturan itu justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa terhadap teks-teks sastra asing.

Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus membenahi model pengajaran dan kualitas bahasa Indonesia. Pertama, pengajaran bahasa harus menjadi proses pembiasaan berbahasa yang baik dan benar.

Para guru harus menjadi teladan bagi anak didiknya dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Sebab, kebiasaan berbahasa anak didik hanya dapat dibentuk dalam suasana disiplin para guru bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, para guru bahasa harus mempunyai kebiasaan membaca, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis, sehingga merangsang siswa untuk melakukan hal yang sama. Singkatnya, para guru bahasa Indonesia tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi juga menempatkan diri sebagai pendidik yang membangun kebiasaan berbahasa para siswanya.

Kedua, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kebebasan bagi para pakar bahasa untuk mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosakata yang bisa menerjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia.

Jika bahasa kita tidak terus berbenah, dia tidak akan sanggup menerjemahkan simbol-simbol bahasa dunia, dan dengan demikian tidak akan menjadi alat komunikasi yang efektif. Hanya dengan perbendaharaan kosakata yang lengkap, bahasa kita dapat menangkap rasa bahasa lain atau paling tidak mendekati rasa bahasa aslinya. Semoga.

* Agus Wibowo, Pemerhati Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 September 2008

No comments: