Saturday, September 06, 2008

Sains dan Sastra: Keajaiban Nalar dan Imajinasi

-- Nirwan Ahmad Arsuka

SAINS dan sastra adalah dua entitas yang luar biasa luas, yang beririsan setidaknya di dua ranah penting. Pertama adalah ranah ”metafisis”: sains dan sastra sama berupaya mengajukan model tentang kenyataan. Yang kedua adalah ranah formal: sains dan sastra sama bermain dengan manipulasi simbolik.

Model kenyataan yang diajukan sains tampak paling jelas pada kosmologi, mekanika kuatum dan biologi-evolusioner; manipulasi simbolik sains terlihat paling terang pada matematika murni.

Jika bahan dasar sastra adalah bunyi serta aksara yang membentuk dan menunjuk kata, bahan dasar matematika adalah angka atau notasi yang mengacu bilangan dan operasi matematika. Dengan bahan dasar yang tumbuh jadi beragam bentuk itu, matematika (sains formal) jadi bahasa transparan yang memungkinkan munculnya makna tunggal dan stabil; bahasa yang mampu merepresentasikan pikiran dan kenyataan empirik secara tegar.

Sebagai bahasa tingkat kedua, matematika telah dimurnikan dari sifat acak bahasa yang mutlak dan meraja sebelum adanya figurasi dan makna.

Dalam matematika, tanda bahasa boleh berubah dan beraneka, tetapi artinya sudah tertetap dan tertentu. Dalam puisi, meski tetanda telah tertetap dan tertentu, ada banyak makna yang mungkin rekah.

Bagi mereka yang memuja puisi karena kekuatan ajaibnya memperkaya bahasa, matematika memang bisa tampak bagai ”penjahat” yang akan membunuh bahasa dengan menyedot darah ambiguitas dan luapan makna darinya.

Dalam khazanah sastra modern Indonesia, penyair seperti Soebagio Sastrowardoyo dan Goenawan Mohamad pernah menuliskan pandangan miring terhadap ”pemiskinan makna” yang dilakukan oleh sains, yang tampak niscaya karena watak dasar bahasa matematis.

Namun, jika dihadapi dengan stimmung ala Nietzsche, bangunan matematis juga sanggup membuat orang mendengar gagasan di belakang simbol matematis itu, intuisi di belakang gagasan itu, dan Nalar di belakang intuisi itu.

Struktur deduktif

Selain ketunggalan makna, bantuan terbesar matematika adalah penataan kepingan pemikiran tentang alam fisis dengan kokoh, rapi dan anggun, dalam suatu struktur deduktif yang mirip bangunan geometri Euclides.

Suatu teori dapat dilihat sebagai suatu cabang matematik yang aksioma-aksiomanya menyatakan hubungan kuantitatif antara berbagai konsep fisik. Adapun strukturnya adalah serangkaian deduksi, dan teoremanya adalah pembuktian matematis atas konsep-konsep tersebut.

Struktur seperti ini, ditambah dengan pemberian bilangan kepada obyek dan gejala, memungkinkan sebuah teori secara deduktif memberikan peristiwa, dan menjabarkan konsekuensi dengan akurat.

Matematika murni tingkat tinggi yang sekali waktu dianggap hal yang paling tidak praktis dari segenap kegiatan manusia kian mengukuhkan diri sebagai alat tak tergantikan dalam memahami kerja dan dimensi kolosal kenyataan semesta. Kian banyak hal yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk khayal apa pun yang logis secara matematis akan mungkin juga terjadi secara fisis.

Ketika sains belum berkembang menjadi sistem pengetahuan yang tertata secara metodologis dan teruji secara empiris, sastra sungguh lebih dominan dalam menyajikan model-model kenyataan yang kukuh.

Model kenyataan (gambaran dunia, peta kognitif) mempunyai peran sangat penting dalam kebudayaan. Dengan model itu, manusia menempatkan diri dalam lautan ruang dan waktu yang luas tak terbatas. Dengan model itu pula manusia menentukan hubungannya dengan manusia lain.

Yang menjadi problem adalah: banyak model kenyataan yang masih dipegang teguh dan terus direproduksi oleh sastra itu mungkin cocok di masa silam, tetapi tak lagi memadai di masa kini.

Dua gerakan

Setidaknya ada dua gerakan yang mencoba mengoreksi model kenyataan tua yang disebarkan sastra. Pertama adalah gerakan posmodenis dekonstruksionis yang antara lain menandaskan watak fiksi dalam sastra, khususnya sastra yang dianggap sakral. Buat mereka, model kenyataan itu, meminjam Nietzsche, adalah kesalahan yang tanpanya sejenis makhluk tak dapat hidup.

Gerakan kedua datang dari sains (postmodernis konstruktif) yang berupaya mengajukan gambaran dunia yang lebih lengkap dan teruji. Buat mereka, kenyataan obyektif itu ada, dan lebih ajaib dari yang mungkin dibayangkan.

Dalam pandangan dunia sains mutakhir, tak ada kuasa terang dan kuasa gelap di alam semesta ini, tak ada kelompok manusia yang secara esensial lebih istimewa dari yang lain, juga tak ada kekuatan supernatural yang setiap saat bekerja tanpa henti mencampuri urusan dunia. Sains mutakhir mendapati alam semesta ini bagai buku kosong yang di dalamnya manusia harus menuliskan puisi.

Science fiction kadang dianggap sebagai karya yang menautkan sains dan sastra. Nyatanya, banyak bacaan fiksi ilmiah menghadirkan penyalahgunaan khazanah sains secara menggelikan. Fiksi ini mungkin saja meminjam temuan sains, spekulasi teoritisnya. Namun, semangat dan pandangan dunia yang melatarinya adalah hal yang justru ditampik sains.

Edgar Allan Poe (”Eureka”), Lewis Carrol (”Alice’s Adventure in Wonderland”), Primo Levi (”The Periodic Table”), dan Jorge Luis Borges (”Ficciones”) adalah sederet nama yang dengan kreatif berhasil memautkan sastra dan sains.

Semua pencapaian utama dari para sastrawan di atas agaknya bermula dari pengetahuan yang kukuh atas horizon terjauh sains (juga sastra) di zaman mereka.

Pemahaman atas batas-batas itu membimbing mereka mendorong lebih jauh tepian terluar itu sambil membuka cakrawala kemungkinan baru yang lebih menakjubkan.

* Nirwan Ahmad Arsuka, Pengamat budaya independen, menetap di Jakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 6 September 2008

No comments: