-- Yayat R. Cipasang*
PELUNCURAN buku Nirbaya, Catatan Harian Mochtar Lubis Dalam Penjara Orde Baru, belum lama ini di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), menjadi ajang pertemuan generasi muda dan orang tua pelaku sejarah seperti penyair Taufiq Ismail, dramawan Ikranegara, dan pengacara senior Adnan Buyung Nasution. Hadir pula tokoh pers seperti Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, tuan rumah Jacob Oetama serta pengamat pers dari UNESCO Arya Gunawan.
Peluncuran buku setebal 142 halaman ini sekaligus menjadi ajang diskusi antargenerasi yang menarik dan saling menghormati. Ketika anak muda bertanya sangat kritis, tokoh tua seperti Ikranegara memberikan penjelasan layaknya orang tua kepada anaknya. Santun, lembut, dan menyejukkan.
Tidak ada intonasi tinggi, tidak ada pernyataan emosional. Tak ada sikap defensif dari orang tua yang maunya menang sendiri. Tiba-tiba saya rindu, seandainya diskusi di BBJ itu dapat dipraktikkan di arena yang lebih luas, damailah Indonesia ini.
"Kenapa Mochtar Lubis tak mau memaafkan Pramoedya Ananta Toer hingga meninggal dunia?" tanya seorang muda bersemangat.
Ikranegara yang juga menjadi peserta diskusi bedah buku mencoba memberikan penjelasan. Ia bertutur dengan suara halus dan dengan intonasi vokal terjaga---maklum dia terkenal sebagai dramawan.
"Adikku yang tadi bertanya saya bisa menjelaskan mengenai kenapa Mochtar Lubis tidak bersedia memaafkan kesalahan Pramoedya. Kendati secara pribadi ia telah memaafkannya. Cuma ada persoalan yang mengganjal, terutama berkaitan dengan dosa-dosa pada saat Pramoedya aktif di Lekra yang memberangus aktivis sastrawan non-Lekra," kata Ikranegara yang lebih banyak menghabiskan waktunya di Amerika Serikat.
Masmimar Mangiang, dosen FISIP Universitas Indonesia yang menjadi pembicara dalam diskusi itu juga memberikan pembelaan kepada Mochtar Lubis. Bahkan, Masmimar sempat terbata-bata dan menangis saat mengenang jasa-jasa dan perjuangan yang tak pernah lelah dari seorang Mochtar Lubis untuk membuat pers Indonesia merdeka dan bebas dari intervensi.
Disebutkan Masmimar, Mochtar Lubis adalah sastrawan yang pertama kali mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan alat tulis kepada Pramoedya yang tengah ditahan di Pulau Buru.
"Mochtar Lubis sulit memaafkan karena ada yang mengganjal ketika Pramoedya tak bersedia meminta maaf telah memberangus dan membakar buku," ujar Masmimar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto yang mengabadikan Mochtar Lubis untuk sebuah award menyatakan, penulis novel Harimau! Harimau! itu adalah sosok yang multitalenta. la menjadi seorang wartawan dengan sikapnya lebih keras dari batu granit.
Dalam majalah IPI Report (The International Journalism Magazine), edisi paruh kedua tahun 2000, Mochtar Lubis adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam kategori "50 Press Freedom Heroes", disejajarkan dengan 49 tokoh kebebasan pers lain di dunia.
Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis telah menjadi salah satu ikon perlawanan pers terhadap kekuasaan yang mencengkeram dalam dua periode waktu, masa Sukarno dan masa Soeharto.
"Indonesia Raya melontarkan kritik-kritik tajam atas ketidakberesan pemerintah yang ada. Pemerintah pun gerah dengan kritik-kritik tajam dan selalu berusaha untuk menutup media ini," kata Ignatius yang menjadikan Indonesia Raya bahan skripsinya pada kuliah sarjana di FISIP UI.
Zaman Orde Baru pun tak jauh beda. Pemerintahan Soeharto sudah lama menandai koran yang membongkar perkara korupsi di Pertamina (sekitar tahun 1969 hingga 1973) tersebut. Akibatnya, ketika koran ini melaporkan secara telanjang protes mahasiswa di Jakarta atas kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, koran ini malah ditutup bersama dengan 11 koran lain di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Makassar.
Penuturan mantan Menteri Penerangan kala itu, Mashuri Saleh, Soeharto yang memerintahkan penutupan belasan koran pada 1974. Surat kabar Pedoman sebagai salah satu koran yang ditutup, sebenarnya sudah meminta maaf kepada Soeharto lewat beritanya di hari terakhir, namun tak ayal koran ini juga harus ditutup.
Sejak itu, peraih penghargaan tahun pertama Ramon Magsaysay, dan sejumlah wartawan lain dari koran Indonesia Raya dilarang untuk masuk ke dalam aktivitas media massa lagi.
Sebuah pengekangan hak masyarakat sipil yang sudah biasa dilakukan Soeharto pada zaman itu. Jadilah Mochtar Lubis menulis di terbitan luar negeri dan lebih aktif mengurusi penerbitan Yayasan Obor yang ia dirikan pada 1978.
Di luar karier kewartawanan, Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 juga seorang sastrawan dengan kritik sosial yang tajam seperti dalam buku Senja di Jakarta dan Jalan tak Ada Ujung. Namun, sebagai budayawan ia pun dikenal sangat tajam, terutama dengan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Juli 1977 berjudul Manusia Indonesia.
Taufiq Ismail, sastrawan Angkatan ‘66, menyebut Mochtar Lubis memiliki dua sayap. Pertama, sayap wartawan yang dilampiaskannya lewat Indonesia Raya dan kedua sayap sastrawan yang diekspresikannya lewat majalah sastra Horison.
**
Penjara Nirbaya yang dibangun pemerintah kolonial terletak di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur atau masuk kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Penjara ini sudah tak berbekas berganti menjadi perumahan padat penduduk.
Pada zaman Soeharto, penjara ini menjadi tempat menahan orang-orang yang disebut Orde Baru sebagai tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia dan para "pembangkang" pemerintah seperti Bung Tomo, Hariman Siregar, Rahman Tolleng, Sjahrir, Adnan Buyung Nasution, dan Mochtar Lubis.
Saat masuk pertama kali ke Penjara Nirbaya, 4 Februari 1975, Mochtar Lubis sudah bertemu dengan tahanan yang dituduh Orde Baru sebagai terlibat G 30 S/PKI. Mereka itu di antaranya Soebandrio, Omar Dhani, Jenderal Pranoto, Astrawinata (bekas Menteri Kehakiman dalam Kabinet Soekarno) dan bekas Menteri P dan K Soemardjo.
Catatan harian di Penjara Nirbaya ini ditulis pada 1975 dan pertama kali terbit dalam bahasa Belanda empat tahun kemudian. Sementara untuk terbit dalam bahasa ibu membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga 30 tahun setelah melewati perjalanan panjang hingga ke Australia. Maklum catatan harian yang diketik dalam bentuk fotokopian itu hanya dimiliki peneliti dari Murdoch University, David T. Hill. Ia mendapatkan naskah itu saat melakukan penelitian dan menulis disertasi tentang Mochtar Lubis pada 1980-an.
Catatan harian Nirbaya lebih pendek bila dibandingkan dengan catatan harian di zaman Orde Lama yang berjudul "Catatan Subversif". Ini karena jangka penahanan di Penjara Nirbaya lebih pendek, sekitar satu bulan. Sementara itu untuk menghasilkan "Catatan Subversif" Mochtar "harus" ditahan 10 tahun (22 Desember 1956-17 Mei 1966).
Catatan harian di Penjara Nirbaya sangat humanis, kritis, melankolis, dan juga lucu. Kisah lucu, misalnya tergambar pada catatan harian 14 April 1975. Mochtar Lubis sangat detail menggambarkan kelucuan saat projek Taman Mini Indonesia Indah akan diresmikan Ibu Tien Soeharto.
"Wah, kemarin tetangga kami projek Mini mencoba bunga api yang akan memeriahkan pembukaannya nanti. Puas juga kami selama lima belas menit dihibur oleh kembang api berwarna-warna. Ada tahanan yang tiap kali sebuah kembang api padam, lalu berteriak: Ayo, Mpok Tien, bakar lagi dong!"
Sementara dalam catatan harian Minggu, 9 Februari 1975, Mochtar Lubis beretoris pada dirinya sendiri mengenai alasan penahanan dirinya.
"Cukup banyak kawan-kawan menyampaikan pada saya agar dalam menyampaikan kritik, terutama pada penguasa-penguasa orang Jawa, kritik tidak boleh langsung tetapi harus tidak langsung, sindiran yang amat halus hingga tidak menyakitkan, harus pakai cara ular berputar-putar tak mencapai sasaran seperti yang dipraktikkan Jacob Oetama dari Kompas."
Ah, andai saja Mochtar Lubis tahu bahwa yang membuka peluncuran bukunya tersebut dalam edisi bahasa Indonesia di BBJ adalah orang yang dikritiknya, Jacob Oetama, entah apa jadinya.
Namun, inilah yang harus dicontoh kalangan pers dan tokoh nasional lainnya. Jacob Oetama kendati dalam buku tersebut dikritik cukup pedas oleh Mochtar Lubis, tidak marah, tidak dendam atau tidak mutung. JO, demikian ia sering disapa membuka peluncuran buku Mochtar Lubis ini dengan khidmat dan penuh hormat.
"Tokoh pers seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, BM Diah, S. Tasrif secara prinsip berbeda paham dan sering bertengkar lewat tulisan. Namun secara pribadi mereka ini berteman," kata Masmimar Mangiang memberikan gambaran.
Andai saja semua tokoh dan elite nasional kiwari seperti mereka. Damailah Indonesia!
***
Mochtar Lubis meninggal 2 Juli 2004 dalam usia 82 tahun. Ia dikenang sebagai tokoh investigative journalism di Indonesia. Masterpiece karya jurnalistiknya adalah pengungkapan korupsi di Pertamina dengan tokoh utamanya Ibnu Sutowo.
Seperti ditulis www.transparansi.or.id, harian Indonesia Raya termasuk yang paling rajin menulis korupsi, kolusi, dan nepotisme di Pertamina. Mochtar Lubis mengibaratkan Pertamina sebagai sapi gemuk yang habis badan akibat diperah pemimpinnya sendiri. Keberhasilan media cetak mengendus KKN di Pertamina merupakan prestasi luar biasa lantaran mengakses data keuangan Pertamina saat itu sangat mustahil. Transparansi audit keuangan masih menjadi sesuatu yang langka.
Harian ini menulis pada edisi 30 Januari 1970 bahwa simpanan Ibnu Sutowo, pendiri dan direktur utama Pertamina, mencapai Rp 90,48 miliar. Jumlah yang fantastis dibandingkan dengan kurs rupiah saat itu yang hanya Rp 400. Harian yang akhirnya diberedel pemerintah ini juga menulis akibat jual beli minyak lewat jalur kongkalikong Ibnu Sutowo dan Jepang, negara dirugikan sampai 1.554.590,28 dolar AS.
Pada tahun 1975, Ibnu Sutowo mewariskan utang 10,5 miliar dolar AS. Utang ini nyaris membangkrutkan Indonesia. Penerimaan negara dari minyak saat itu hanya 6 miliar dolar.
Ibnu Sutowo memang mundur dari posisi dirut (1976), tetapi utang dan dugaan korupsi itu tidak pernah sampai ke pengadilan. Jauh sesudah itu baru terbongkar kasus simpanan 80 juta dolar di berbagai bank milik almarhum H. Thaher, salah satu direktur pada zaman Ibnu. Melalui pengadilan yang berbelit-belit, Pertamina akhirnya memenangi perkara tersebut.***
* Yayat R. Cipasang, Direktur Eksekutif Institute for Press, Broadcasting and Cultural Studies.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 13 September 2008
No comments:
Post a Comment