-- JJ Rizal*
SEBUAH foto hitam putih. Bergambar Mohamad Hatta bersama istri di tangga pesawat melempar senyum dan melambaikan tangan. Mereka siap meninggalkan Belanda dari Bandara Schiphol. Foto yang dibuat di pengujung tahun 1949 itu seperti kereta waktu. Imajinasi historis yang melihatnya akan mampu diberangkatkan berkelana memasuki rentang panjang hubungan kolonial antara Negeri Belanda dan Indonesia.
Mungkin sebab itu Harry A Poeze menaruh foto tersebut di akhir bukunya, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 yang bersifat ensiklopedik ihwal ratusan orang Indonesia (”kecil” maupun ”besar”) yang pernah mengunjungi Belanda, dan dalam konteks itu mau tak mau mesti juga memaparkan hubungan antara penjajah dan yang dijajah. Foto itu memang dapat dikatakan sebagai penutup saat-saat yang lama, alot, dan sering menegangkan dalam KMB dari 23 Agustus sampai 2 November 1949. Sebuah peristiwa yang berujung Ratu Juliana dan semua menteri kabinet Belanda bersama-sama berdiri dengan semua delegasi Indonesia yang terpenting, kemudian meneken Akta Penyerahan Kedaulatan dan Pengakuan. Tanda tutup buku hubungan kolonial dengan Indonesia.
Jika membaca buku Poeze itu, sejak kehadiran Hatta pada 1921 sebagai mahasiswa usia 19 tahun, lantas gabung dalam Perhimpoenan Indonesia (PI), Hatta memang telah memainkan peran sentral dan besar artikulasinya. Dengan demikian, pemikiran dan program perjuangan politiknya yang menuntut Indonesia merdeka jadi arus dominan dalam menyikapi hubungan kolonial antara negeri Belanda dan Indonesia, selama kurang lebih seperempat abad sebelum berakhirnya hubungan tersebut. Bahkan, aktivitas Hatta dalam PI itu oleh Sartono Kartodirdjo dinyatakan sebagai tonggak sejarah nasional yang penting dan menentukan sekali. Sebab, ia—seperti tertuang dalam Manifesto Politik 1925—telah menjadi aktor intelektual sekaligus master mind yang ”meletakkan dasar-dasar pembangunan bangsa, konsep-konsep bangsa Indonesia, negara nasion Indonesia, menetapkan identitas nasional”. Pendek kata, nasionalisme Indonesia.
Wabah ”Orientalia”
Sebelum kedatangan Hatta, sikap yang dominan adalah asosiasi antara Indonesia dan Belanda yang dimotori oleh penyair, wartawan, dan sejarawan Noto Soeroto. Anak aristokrat Istana Paku Alam yang tahun 1906 dalam usia 18 pergi sekolah hukum di Belanda ini berpendapat bahwa untuk suatu masa yang masih jauh tiada terkira seharusnyalah menjaga ikatan di antara Belanda dan Hindia dalam satu Kerajaan Belanda Raya. Ini perlu untuk Belanda dan juga untuk Hindia, katanya. Karena, tambahnya, pada keduanya timbul pertanyaan: ”Apa yang akan terjadi dengan diri kita, seandainya kita berpisah? Bayangkanlah Hindia tanpa Negeri Belanda, kalau ia diserahkan kepada bangsa kita yang sudah loyo ini… seluruh Hindia akan teracuni”.
Noto Soeroto, seperti ditulis Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, adalah produk dan memang menunjukkan kecocokan dengan pola yang mengacu ke Eropa pertengahan abad ke-19 yang oleh Edward Said dicirikan sebagai ”wabah Orientalia”. Dalam konteks itu menarik memerhatikan sumbangan Cees van Dijk yang menulis masa 1600-1898 buku Di Negeri Penjajah ini. Dalam kurun itulah dapat dilihat akar-akar sikap orientalistik yang mewujud dalam sikap serta pemikiran Noto Soeroto.
Dijk mengungkapkan kunjungan pertama ke Belanda adalah rombongan perutusan Kerajaan Aceh pada 1601, lantas rombongan anak-anak Ambon pada 1607. Semua diberangkatkan murni politis dalam usaha ”cuci otak” dari anggapan-anggapan yang keliru dan negatif tentang orang Belanda yang barbar sebagaimana ditanamkan Portugis, saingannya dalam mencari tanah jajahan.
Tiada bukti apakah rencana ”cuci otak” itu berhasil membuka mata bahwa orang Belanda itu beradab. Akan tetapi, seiring makin mantapnya kolonialisme Belanda di Hindia, misi politis yang menonjol justru sebaliknya, yaitu misi vocation civilisatrice (mengemban tugas mengadabkan) orang Hindia. Mulailah dikonstruksi bagaimana harusnya Hindia itu dilihat dan dipahami. Mulai pulalah berjalan sebuah proses orientalisme yang diartikan sebagai proses menginformasikan, memengaruhi, dan mengelabui berdasarkan persepsi Barat, suatu geografi imajinatif daerah dan penduduk lain di Timur dan dengan menempatkan posisi Barat jauh di atas obyeknya.
Praktik orientalisme
Pakar sejarah pariwisata, Iskandar P Nugraha, menyatakan, momentum pertama dan terbesar dimulainya praktik orientalisme dalam arti luas itu adalah ekshibisi akbar Works of Industry of All Nation di London pada 1851. Disusul banyak ekshibisi sejenis, termasuk di Amsterdam tahun 1883. Dalam pameran dunia yang resminya bernama Exposition Universelle Coloniale et d’Exportation Generale (Pameran Kolonial dan Perdagangan Ekspor Dunia) itu dibuat suatu bangunan kolonial khusus. Di sana bukan cuma barang dan produk daerah-daerah Hindia, tapi juga ada kampung, rumah, dan manusia dengan segala aktivitasnya. Seumpama tamu tak sempat menyaksikan ”kehidupan Hindia” itu, mereka bisa menikmati kemolekannya yang telah dibekukan dalam kanvas pelukis Raden Saleh, yang sejak 1829 telah mukim di Belanda. Bisa juga menikmati makanan pribumi yang telah dijinakkan (rijstaffel). Ulasan media dan gambar yang mendokumentasikan ekshibisi itu merupakan bukti bukan saja sukses besar ”praktik memamerkan orang-orang pribumi” tersebut yang kemudian mentradisi, tapi lebih jauh lagi adalah bagaimana pameran itu jadi bagian dari menyaksikan imaji Hindia, representasi Hindia yang dibentuk oleh superioritas Belanda.
Sampai sini, sesungguhnya Belanda ingin membentuk Hindia dalam suatu kebekuan, Hindia yang statis dalam lukisan mooi indie Raden Saleh. Karena itu, ketika kolonialisme berpapasan dengan perubahan besar sebagai dampak semangat aufklarung dan kritik yang mengingatkan akan Eereschuld (utang budi) kepada tanah jajahan tahun 1899, maka pemerintah kolonial pun melansir Politik Ethis. Tapi dari ragam tafsir ihwal Politik Ethis—menurut Poeze—satu saja definisinya: ”kebijakan yang diarahkan untuk meletakkan seluruh kepulauan Hindia di bawah kekuasaan Belanda secara nyata, dan untuk mengembangkan negeri dan bangsa di wilayah itu ke arah pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Negeri Belanda menurut model Barat.”
Tidak sesuai harapan
Untuk itu, strategi pun dibangun guna menciptakan kategori orang-orang Hindia yang bakal dicetak jadi model-model Barat yang bertindak dan berpikir persis tuan-tuan putih, tak buang barang sepotong. Pinjam istilah Arthur Japin jadi de zwarte met het witte hart (si hitam berhati putih). Namun, hasil cetakan di luar dugaan. Memang berhasil dicetak jelmaan-jelmaan yang siap menirukan tuan-tuan putih, tak disangka muncul juga figur-figur modern yang tampak bersemangat membuka perlawanan tertutup atau terbuka dengan wacana kolonial.
Stovianen (siswa Stovia) contoh terbaik atas apa yang terjadi itu. Stovia didirikan guna menciptakan ”hamba sahaya” pelayan kepentingan tuan-tuan putih perkebunan di Sumatera Timur agar ”mesin uang”-nya terus jalan, sebab kesehatan buruhnya terjaga. Akan tetapi, siapa sangka jika ternyata dari sanalah muncul ”hamba sahaya” seperti Tjipto Mangoenkoesoemo. ”Hamba sahaya” inilah yang dengan Soewardi Soerjaningrat dan Douwes Dekker pada 1913 mendirikan Indische Partij, partai yang keberadaannya tidak pernah diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dianggap mengancam rust en orde kolonial. Ketiganya diasingkan ke Belanda. Tapi di sana malah mengobar polemik, bahkan agitasi dan aksi penolakan ide-ide rijkseenheid de Kadt Angelino maupun ”asosiasi” Noto Soeroto yang menurut Onghokham sami mawon (sama saja) mentalitasnya, yaitu mental nasionalisme statis-beku, tidak melihat bahkan menolak perkembangan masyarakat dan sejarah.
Pemikiran Indische Partij itu adalah counter culture terhadap perkembangan masyarakat dan sejarah kolonial. Counter culture ini sendiri dalam masyarakat kolonial hanya berupa sub culture, tetapi berkat terobosan Indische Partij, maka setelah tahun 1920-an tumbuh jadi dominant culture. Sampai di sini, mestilah disebut lagi peran Hatta. Ia yang disebut Poeze pimpinan pemuda-pemuda cerdas, bersemangat, dan pelopor-pelopor nasionalis membuat PI menjadi minoritas kreatif yang membawa subculture politik antikolonial termasuk counter ideology kolonial bukan saja menjadi dominant culture, tetapi juga kultur politik nasional yang menggantikan kultur politik kolonial.
Perkembangan masyarakat dan sejarah akhirnya memang bikin pelan-pelan Hindia Timur kian kurang sebagai dunia fantasi dan negeri dongeng bagi orang Belanda. Sementara, nasionalisme Indonesia kian nyata untuk sekadar dipandang dari kejauhan. Terlebih persoalan-persoalan di Eropa—bangkitnya Naziisme, Maleise—mulai menuntut perhatian warga Belanda untuk segera membuat pilihan-pilihan politik. Gagasan Noto Soeroto pun kehilangan pasar.
Salah menilai
Anehnya, gagasan untuk tetap jadi voogdig atau pengasuh rakyat Indonesia yang telah kehilangan pasar itulah yang terus dipilih pemerintah kolonial. Pada 1936, Gubernur Jenderal De Jonge menyatakan bahwa Belanda akan tetap di Indonesia selama 300 tahun lagi sebelum negeri ini siap untuk otonomi. Ketika tahun 1942 Belanda diduduki Jerman, dari pengungsian di London, Ratu Juliana menyatakan masih ingin Indonesia jadi bagian Kerajaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Van Mook dikirim untuk melaksanakan mimpinya sejak 1917 membentuk Indonesia jadi negara-negara bagian sampai siap mandiri.
Akhirnya, membaca buku Poeze—meminjam pendapat Mochtar Loebis—adalah membaca sejarah kesempatan-kesempatan yang hilang akibat ketidakmampuan Belanda menilai dengan tepat perkembangan jiwa dan pikiran, serta sikap sebagian rakyat Indonesia. Namun, justru dari sana pulalah tumbuh pemikiran nasionalisme sebagai ideologi dan budaya tanding kolonialisme sehingga mau tak mau memang mesti diterima—seperti kata Poeze—bahwa buaian kemerdekaan Indonesia terdapat di Belanda, wabil khusus di Leiden dan Den Haag.
* JJ Rizal, Peneliti Sejarah di Komunitas Bambu
Sumber: Kompas, Senin, 8 September 2008
No comments:
Post a Comment