Sunday, September 28, 2008

Manusia Hotel: Manusia Datang dan Pergi

-- Bandung Mawardi*

ORHAN Pamuk dengan apik, fasih, dan puitis mengisahkan makna kehadiran manusia dalam hotel. Tokoh Ka sebagai seorang penyair dan jurnalis terlibat dalam pelbagai kisah alienasi sampai revolusi dalam Hotel Istana Salju di Kota Kars. Hotel itu mengusung pertemuan, perselingkuhan, konflik arus peradaban Barat dan Timur dalam fragmen-fragmen rezim politik dan revolusi.

Hotel itu merekam sejarah, imajinasi, hasrat, dan biografi. Tokoh Ka hadir dalam hotel itu dengan nostalgia dan utopia. Hotel menjadi ruang untuk mengasingkan diri, menulis puisi, menikmati salju, mengingat Tuhan, melepas birahi, memimpikan masa depan, memikirkan konflik, mencatat revolusi, dan menunda kematian.

Orhan Pamuk dalam novel Snow memberi refleksi mumpuni: hotel adalah ruang seribu satu kisah. Novel itu menjadi representasi dari kisah manusia untuk menjalani lakon-lakon hidup dengan kesadaran ruang dan waktu. Hotel adalah ruang hidup manusia modern dengan kompleksitas pertanyaan dan jawaban.

Hotel sebagai ruang persinggahan (transisi) memberi sekian kemungkinan pembebasan dan pengekangan. Kehadiran manusia sebagai manusia hotel niscaya melibatkan dalil dan pamrih. Hotel pun menjadi ruang penciptaan dan penafsiran untuk mengingatkan manusia tentang eksistensi dan mobilitas hidup. Hotel selalu mengandung ambiguitas untuk manusia memilih lakon dengan risiko-risiko.

Kisah hotel pun menjadi pusat dalam novel Hotel Miramar karangan Naguib Mahfoudz. Hotel menjadi ruang pertemuan manusia dengan pelbagai identitas dan ideologi hidup. Kisah cinta sampai revolusi bertemu, bertarung, dan berpisah dengan tepuk tangan atau hening. Hotel Miramar merekam alienasi sebagai kodrat manusia. Hotel adalah ruang untuk menikmati alienasi dengan afirmasi atau negasi.

Fragmen-fragmen hidup mengenai nasib perempuan, biografi jurnalistik, konflik politik, kondisi ekonomi, dan kisah cinta membuat Hotel Miramar memberi janji surga dan neraka. Tragedi sampai keajaiban selalu menjadi kondisi tanpa skenario sempurna. Manusia-manusia hotel di Hotel Miramar menjalani taruhan dalam tegangan soliter dan solider untuk menemukan penggalan hidup sebagai angin lalu atau kenangan kekal.

Ruang eksistensi

Manusia-manusia modern adalah subyek yang tak bisa melepaskan diri dari kenangan pada mitos tragedi dan hasrat menciptakan tragedi. Peradaban dengan alur-alur semrawut membuat manusia selalu harus memilih untuk selamat atau sekarat. Tragedi manusia pun menemukan manifestasi dalam pemaknaan ruang dan waktu. Hotel adalah jawaban untuk membuat perhitungan eksistensi dengan kompensasi dan konsekuensi tertentu.

Iwan Simatupang cenderung percaya bahwa hotel sebagai jawaban untuk memilih risiko hidup. Iwan Simatupang dengan konsep-konsep eksistensialisme memilih hotel sebagai ruang biografi untuk mengurusi sastra, filsafat, seni, dan politik. Hotel adalah ruang eksistensi untuk membaca dan menulis kisah manusia.

Surat Iwan Simatupang pada HB Jassin menjadi dokumen manusia Indonesia yang sadar dengan arus dan alur modernitas. Iwan Simatupang dalam surat itu menuturkan ”manusia hotel” dalam perspektif filsafat eksistensialisme. Inilah kutipan surat Iwan Simatupang yang ditulis pada 17 Januari 1962: ”Aku kira, kamar kecil dari hotel kecil di kota kecil telah banyak berjasa bagi kesusastraan modern. Kafka, Pirandello, Thomton Wilder, Hemingway—teruslah! Mereka semua beroleh rangsangan bagi karya-karya mereka ketika lagi dalam perjalanan, di kamar kecil hotel kecil dari kota kecil. Bahkan, Luigi Pirandello seumur hidupnya hidup di hotel saja. Katanya: Aku manusia hotel.”

Iwan Simatupang dalam surat itu mendeklarasikan diri sebagai manusia hotel. Identitas manusia hotel pun melekat pada sosok Iwan Simatupang yang memiliki biografi sedih dalam sekian kisah. Iwan Simatupang sebelum menjadi manusia hotel adalah petualang hidup dengan pamrih menekuni sastra, teater, filsafat, dan politik. Petualang itu masuk dalam babak kesedihan ketika biografi cinta dengan Corrie de Gaine menemukan epilog karena intervensi kematian. Kematian istri mengantarkan Iwan Simatupang dalam sepi, tragedi, dan alienasi. Iwan Simatupang sejak itu adalah petualang dari ziarah sejarah dan ziarah imajinatif. Hotel adalah ruang untuk melakoni ziarah dengan menulis novel. Hotel adalah ruang hidup impersonal.

Definisi manusia hotel, menurut Iwan Simatupang, adalah the modern tramp, yakni pengembara yang berpretensi memiliki kegelisahan modern atau berpretensi untuk jadi Don Quixote modern. Iwan Simatupang menjelaskan pergulatan psikologi dan filsafat manusia hotel: ”Inilah inti dari psikologi manusia hotel. Ia adalah tamu! Dan tamu selalu berarti: (baru) datang, (bakal) pergi (lagi). Jadi, ia manusia datang dan pergi. Ia manusia mobil. Gelisah. Ia selalu ada dalam perjalanan antara datang dan pergi. Oleh sebab itu, bumi kehidupan manusia hotel juga berlangit relativisme. Filsafat hidup hari-harinya adalah juga filsafat riskan.”

Definisi manusia hotel itu menemukan realisasi pada manusia-manusia modern dalam melontarkan pertanyaan dan memburu jawaban mengenai fragmen-fragmen modernitas. Manusia-manusia modern menjadi manusia hotel dengan mobilitas tubuh, pikiran, imajinasi, atau mimpi untuk mengenangkan nostalgia dan menciptakan utopia. Manusia hotel mungkin kehendak bebas atau kutukan.

Alienasi dan pencarian

Hotel dan manusia hotel adalah identitas modernitas. Hotel dalam taraf tertentu memiliki kemungkinan untuk melampaui rumah. Manusia modern melakukan pergeseran epistemologi dalam membaca dan memahami ruang sesuai dengan hukum mobilitas zaman. Rumah pun perlahan kehilangan makna historis dan empiris. Hotel menjadi pilihan dengan dalil dan pamrih modernitas.

Subagio Sastrowardoyo dalam puisi Hotel menuliskan kisah manusia modern dalam alienasi dan pencarian. Hotel menjadi simbol dan representasi untuk membaca dan menilai lakon hidup manusia modern. Subagio Sastrowardoyo dalam bayang-bayang filsafat eksistensialisme menulis: Jangan kita beli tanah atau rumah / Uang tak ada. Dan kita tidak bisa tinggal lama. / Malam kita menginap dan berangkat subuh hari / Kita anak piatu yang kehilangan bapak / dan mencari / Di hotel ini kita bertemu dan di pojok / jalan ke benteng tua berpaling muka / Kita akan saling lupa.

Imperatif dalam puisi itu mengesankan ambiguitas manusia modern dalam diferensiasi hasrat memiliki rumah atau menjadi manusia hotel. Manusia dengan hasrat rumah berani membuat taruhan hidup untuk keberadaan rumah dalam kutukan kapitalisme dan globalisasi. Rumah untuk hidup. Rumah untuk memiliki kesadaran ruang dan waktu. Hasrat rumah itu kadang mengalami reduksi untuk sekadar mengartikan rumah sebagai persinggahan dari mobilitas manusia: datang dam pergi. Pilihan menjadi manusia hotel pun susah meloloskan diri dari konsep rumah dalam hukum kesementaraan. Manusia hotel mungkin kisah tak sempurna: dari kisah tak selesai ke kisah tak selesai.

Kisah manusia hotel sampai pada babak menegangkan dalam puisi Afrizal Malna, Arsitektur Hotel. Afrizal Malna mengusung dan menuliskan getir dan tragedi dengan semiotika modern dan kisah-kisah pecah. Afrizal Malna mengisahkan: Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang / pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri, / memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di / setiap telur. Hotel adalah otoritas risiko dan sangsi laten dengan kedok kebebasan, kenikmatan, keindahan, kemanjaan, atau ketenangan. Manusia-manusia hotel dalam pengertian naif adalah hamba-hamba dari operasionalisasi ideologi modernitas. Ideologi itu hadir sebagai sistem dan mekanisme artifisial dengan janji surga atau neraka.

Otoritas hotel kadang menghilangkan manusia sebagai manusia. Afrizal Malna pun mencari dan ingin manusia dalam sistem dan mekanisme hotel. Afrizal Malna menulis: Beri aku manusia. Mungkinkah manusia hilang, pecah, atau mati dalam hotel? Ini pertanyaan pelik.

Hotel adalah juru bicara modernitas dengan ambiguitas membingungkan. Hotel itu mengasingkan, membebaskan, memusnahkan, mematikan, menghidupkan, dan melenakan. Manusia hotel adalah manusia dengan surga dan neraka: risiko-risiko modernitas.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut (Solo)

Sumber: Kompas, Minggu, 28 September 2008

No comments: