-- Asef Umar Fakhruddin*
SEJARAH membuktikan, teks sastra mempunyai kekuatan dahsyat dalam kehidupan. Pahatan-pahatan aksara para sastrawan membuat pembaca tercerahkan.
Untuk mengetahui kedahsyatan teks sastra--yang mewujud dalam karya sastra--kita bisa membaca novel karya Gabriel Garcia Marquez, Cien Anos de Soledad (1967). Novel ini berkisah tentang kepahlawanan keluarga Kolombia. Novel karya peraih Nobel Sastra tahun 1982 ini memberikan motivasi kepada warga Kolombia agar api patriotismenya tidak pernah padam. Alhasil, novel ini menyadarkan warga Kolombia melakukan perubahan dan perjuangan. Tidak hanya itu, mereka menancapkan keyakinan dalam sanubari bahwa tidak ada kerugian dalam pejuangan dan bahwa kehidupan itu harus diperjuangkan, berapa pun saham yang harus dibayar.
Ling Shan (2000), karya monumental Gao Xingjian (peraih Nobel Sastra tahun 2000), juga demikian. Novel ini menampilkan ulir-ulir indah dalam pengemasan kata dan logika. Bahkan, para panitia Nobel menyebut novel ini sebagai "permadani naratif dengan beberapa tokoh utama yang saling mencerminkan satu sama lain, dan mungkin menghadirkan kesatuan dan kesamaan ego".
Kekuatan novel karya mantan anggota partai komunis China ini membuat para pembaca terperangah sekaligus mendapatkan pencerahan baru: tentang kedirian, kemanusiaan, kesemestaan, dan ketuhanan. Di samping itu, yang membuat novel ini bertenaga adalah pertautan antara beberapa nuansa di dalamnya; rasa-diri, spiritualitas, argumen-argumen logis, analisis, semantik, intrik, diskursus, dan juga humanisme-religius.
Kekuatan Sastrawan
Sebagaimana dijelaskan singkat, pada dasarnya semua teks merupakan sesuatu (teks) yang biasa, bahkan absurd, sebelum dipoles sang sastrawan. Artinya, sastrawanlah penentunya. Melalui polesan mereka, keindahan teks lantas memuai, membias, memendar, dan memesonakan pembaca. Dari sinilah, teks tersebut memiliki dan memasuki dimensi sastrawi.
Untuk menghasilkan karya sastra bermutu, para sastrawan melakukan pergumulan-hebat dengan teks. Mereka terus tenggelam dalamnya, kemudian mencecap putik kearifannya. Muaranya adalah klimaks yang mewujud dalam rasa-jiwa yang senantiasa berdegar-degar untuk terus menulis dan menghasilkan karya sastra-karya sastra bertenaga.
Teks dan juga bahasa yang awalnya biasa itu disulapnya menjadi gugusan ide yang mampu meluncur kepada kedalaman pemaknaan dan pengalaman impresi batin pembaca atau masyarakat. Inilah wujud apresiasi sastrawan terhadap kehidupan, termasuk pusparagam ambiguitasnya, melalui media bahasa atau teks (yang memiliki nilai) sastra.
Memang, bahasa dalam suatu karya sastra bersifat multiinterpretasi. Dalam suatu karya sastra, lipatan-lipatan makna akan senantiasa menyembul. Karena itu, diperlukan ilmu yang memadai dan kepekaan hati guna menangkap bertangkup makna dari suatu teks sastra.
Meskipun demikian, hal itu tidak langsung mengamini bahwa setiap karya sastra harus rumit, njlimet, sulit dipahami, bahkan gelap. Sebab, jika bisa menghasilkan karya sastra yang bagus namun dengan bahasa yang renyah, hal itu juga baik. Dengan karya seperti ini, transformasi pengetahuan (knowledge) maupun nilai (value), akan cepat sampai kepada pembaca.
Di antara karya sastra dengan formulasi makna-mendalam, bahasa renyah dan ringan, namun tetap membawa makna simbolik sekaligus transenden adalah karya sastra-karya sastra hasil tenunan Emha Ainun Najib dan almarhum Kuntowijoyo. Mereka mampu mendedahkan gagasan-gagasannya dengan tetap menjaga dan melestarikan secara bijak garis kesinambungan dari transmisi kearifan yang langsung bermuara pada diri dan kehidupan.
Dalam mengapresiasi kehidupan, para sastrawan tidak hanya memaknai bahasa dengan satu paradigma saja. Ini dilakukan karena, sebagaimana diwartakan Paul Ricouer dalam Hermeneutics and The Human Sciences (1984), makna bahasa selalu bersifat ganda. Kalau makna itu muncul dari dalam hubungan-hubungan yang ada dalam teks itu sendiri, maka kita akan dapatkan apa yang dinamakan sense (yang oleh Ignas Kleden disebut dengan makna-teks). Kalau makna itu lahir dari hubungan antarteks dengan dunia di luar teks, maka kita akan mendapatkan reference atau referensi di dalamnya.
Kemampuan sastrawan meramu setiap makna-teks dengan peristiwa, yang bahkan telah mewujud dalam wilayah kesejarahan, menunjukkan merekalah aktor terpenting dalam dunia aksara. Itulah daya-kuasa atau kekuatan sastrawan. Dalam suatu ideal type, dapat dikatakan para sastrawan adalah sekelompok orang yang memproduksikan makna kata-kata, sedangkan pengguna bahasa lainnya hanya mereproduksikannya.
Tidak hanya itu, sastrawan, dalam pandangan Leo Loewenthal, seorang sosiolog sastra dari Frankfurter Schule, sejatinya mempunyai kedudukan yang unik di antara penulis sejarah, penulis ilmu sosial, atau penulis biografi dan memoar. Ini karena sastrawan tidak terlalu berurusan secara sadar dengan struktur sosial dan lembaga-lembaganya. Yang menjadi pusat kajiannya adalah sikap dan perasaan para tokohnya sebagai individu. Sastrawan menganggap manusia tidak hanya sebagai eksemplar sebuah tipologi maupun resipien pasif suatu kebudayaan. Memang, para sosiolog mengkaji manusia dan masyarakatnya, tetapi mereka menghadapi dilema antara deskripsi dan analisis tentang tendensi-tendensi umum dalam kebudayaan dan struktur sosial di satu pihak dan kebutuhan untuk melukiskan hal-hal yang khas untuk setiap kelompok sosial pada pihak lain. Demikian juga dengan para sejarawan, yang lebih menekankan aspek-aspek ideografis menyangkut gejala-gejala yang bersifat spesifik untuk suatu masa atau suatu tempat (Kleden: 2004)
Karena menempatkan manusia sebagai individu dengan makna hakikinya itulah, pahatan aksara para sastrawan menjadi berbeda. Penyajian yang mereka berikan senantiasa berkelindan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Mereka membiaskan dawai-dawai harmoni dan wewangian rasa-diri dalam menangkap bertalam kearifan dari kehidupan ini.
Karena itu, tidak mengherankan apabila karya-karya para sastrawan seringkali memiliki makna "lebih" setelah dibaca, yang kadang para sastrawan pun tidak pernah menduga sebelumnya.
Terkait hal ini, Leo Loewenthal dalam Das Buergerliche Bewutsein in der Literatur (1981) berujar: Sastra mengandung banyak lapisan makna, yang beberapa daripadanya memang dimaksudkan pengarang, dan beberapa pula yang tidak dimaksudkannya.
Lantaran kemampuannya meraba cakrawala rasa-jiwa, keberaniannya merobek tirai mimpi ilutif, dan kebijaksanaannya menyanyikan melodi kehidupan dengan media teks sastra (yang kadang mereka tidak merasa, atau kita yang mengalami kesulitan dalam menangkap pesan mereka), kita, ajak pelopor hermeneutika modern, Schleiermacher, melalui pernyataannya yang sangat terkenal, es gilt einen Verfasser besser zu verstehen al ser sich selbst verstanden hat--harus berusaha memahami seorang pengarang (baca: sastrawan) dengan cara yang lebih baik dan lebih berhasil dari pengarang itu memahami dirinya sendiri.
Karena itu, untuk memahami teks sastra, kita harus menggunakan kebeningan dan kepekaan rasa-diri. Syarat tersebut merupakan suatu sine qua non, keniscayaan. Dari sinilah, kita akan mampu memahami dan merasakan kemukjizatan para sastrawan.
* Asef Umar Fakhruddin, esais dan peneliti di Pusat Kajian Dinamika Agama, Budaya, dan Masyarakat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 September 2008
No comments:
Post a Comment