Sunday, September 28, 2008

Oase Budaya: Si Celurit Emas dari Batang-Batang

-- Dwi Fitria

Dalam puisi-puisi Zawawi Imron, muatan lokal yang kuat kerap dipadukan dengan nilai-nilai religi dalam pengertian luas.

Ada dua hal yang menjadi kekhasan puisi-puisi Zawawi Imron. Yang pertama adalah hadirnya idiom-idiom lokal Madura yang merupakan daerah asalnya, dan yang kedua adalah muatan Islam yang kerap muncul.

Dalam puisi-puisi semisal Celurit Emas, atau Ibu, Zawawi berhasil mengangkat sebuah kultur Madura yang mematahkan stereotip yang kerap dikenakan kepada masyarakat Madura.

“Dalam puisi-puisinya, Zawawi mengangkat citra budaya Madura yang positif. Selama ini citra Madura bagi sebagian orang mungkin identik dengan baju kaus lurik, sate, atau celurit. Dalam puisi-puisi Zawawi Imron justru menampilkan sosok orang Madura yang berbeda, yang mencintai lingkungan dan laut sebagai bagian dari kehidupannya,” kata kritikus sastra Maman Mahayana.

Puisi-puisi Zawawi juga kerap menggambarkan idiom-idiom budaya Madura dengan cara yang berbeda. “Garam dari laut adalah sebuah representasi harapan orang Madura. Puisinya Celurit Emas menggambarkan celurit sebagai simbol semangat orang Madura, bukan semata senjata untuk membunuh orang, yang hanya akan digunakan untuk melawan ketidakbenaran,” kata Maman.

Latar belakang pesantren membuat Zawawi juga mengangkat muatan Islam dalam puisinya. Tetapi menurut Maman, muatan Islam dalam puisinya bukan muatan artifisial. Muatan Islam dalam puisi-puisi Zawawi adalah Islam dalam pengertian yang amat luas. “Zawawi menampilkan Islam sebagai agama yang bersaudara dengan apa pun. Termasuk juga dengan lingkungan, dengan laut, dengan pohon, dengan batu. Puisi Zawawi Imron adalah representasi dari semangat islami yang bersaudara dengan makhluk apa pun,” kata Maman.

Sementara jika menyoal muatan islami dalam puisi-puisi Zawawi, menurut Ahmadun Yosi Herfanda, lebih cocok menempatkan penyair yang tenar dipanggil Celurit Emas itu ke dalam golongan penyair religius. “Tak banyak yang menyebutnya sebagai penyair sufi Indonesia. Berbeda dengan Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, Danarto, atau Kuntowijoyo misalnya,” kata Ahmadun.

Puisi-puisi Zawawi memang memiliki muatan religius namun tidak sufistik. “Para penyair sufi lain semisal Abdul Hadi WM memasukkan muatan tasawuf ke dalam puisi-puisinya, ada pengalaman-pengalaman sufistik di sana. Sedangkan puisi-puisi Zawawi lebih bersifat religius yang tak terlalu mendalam membahas muatan Islam jika dibandingkan dengan puisi-puisi sufistik. Puisi religiusnya juga tak sebanyak puisinya yang mengangkat muatan lokal. Paling ada satu dua, misalnya yang berjudul Dzikir,” kata Ahmadun.

Mengusung Muatan Lokal

Dibandingkan dengan para penyair sufi lainnya, muatan lokal masih menjadi kekuatan utama Zawawi, dan membedakannya dengan yang lain. “Pencitraan dan metafor Zawawi amat khas, khas lokal Madura. Sementara para penyair sufistik lain, idiom-idiom dalam puisi mereka jauh lebih universal,” kata Ahmadun.

Ini amat dipengaruhi latar belakang Zawawi. Sementara kebanyakan penyair dan sastrawan lain bergaul luas dengan beragam wacana intelektual, juga karya sastra mancanegara, Zawawi tinggal dan berkarya di desa kelahirannya, Batang-Batang. Yang menakjubkan, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi mampu menghasilkan sajak-sajak yang amat indah.

“Justru di situ letak keunikan puisi-puisi Zawawi, metafor lokalnya kuat, begitu juga dengan citraan-citraan lokalnya. Puisinya menurut hemat saya amatlah eksklusif,” kata Ahmadun Yosi Herfanda.

Penggagas puisi Sufistik Indonesia, Abdul Hadi WM juga berasal dari daerah yang sama dengan Zawawi. Kiprah Abdul Hadi di dunia sastra Indonesia jauh lebih banyak merebut perhatian dibandingkan dengan Zawawi Imron, padahal secara estetika masing-masing memiliki ciri yang amat kuat.

Di awal kepenyairannya, sama dengan Zawawi, Abdul Hadi juga kerap mengangkat idiom-idiom Madura. “Namun semakin lama, Abdul Hadi semakin memfokuskan diri membuat puisi-puisi sufistik. Zawawi di sisi lain mengembangkan tema yang jauh lebih beragam, sosial, kekeluargaan, cinta, juga agama,” kata Ahmadun.

“Kepenyairan seseorang akan makin cepat diakui jika ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam esai-esai. Zawawi tidak memperkuat kepenyairannya dengan menulis esai. Hanya satu dua esai yang ia tulis. Sementara di sisi lain, Abdul Hadi sangat produktif menulis esai. Ia pernah mengasuh rubrik sastra, yang memungkinkannya menuangkan pikiran-pikirannya dan kreativitasnya setiap minggu,” kata Ahmadun.

Hadir tanpa Menggebrak

Zawawi memang kurang produktif menulis esai-esai sastra yang akan membantu orang-orang memahami kepenyairan dan pemikirannya. Melalui rubrik yang ia asuh, Ahmadun pernah meminta Zawawi untuk menulis esai, namun sayangnya esai itu tak terlalu kuat, meskipun kemudian tetap dimuat.

Cara lain untuk menunjukkan jati diri sebagai seorang penyair adalah dengan melakukan aksi panggung yang menarik perhatian. Ahmadun mengambil contoh Sutardji Calzoum Bachri. “Dia dulu menggebrak dunia kepenyairan dengan membaca puisi sambil membawa kampak, minum bir. Penampilannya yang kontroversial ini membuatnya ternama dalam waktu yang tak terlalu lama.”

Zawawi tak melakukan salah satu di antara kedua hal tadi. Ia hanya berbicara melalui estetika puisinya yang, meminjam istilah Ahmadun Yosi Herfanda, eksklusif dan unik. Namun, ini sudah cukup membuat Zawawi menjadi sosok yang istimewa dalam dunia sastra Indonesia.

Sementara Maman Mahayana berpendapat bahwa waktu kemunculan, latar belakang akademis, dan tempat tinggal berpengaruh pada sorotan yang diterima keduanya. “Abdul Hadi menggebrak dunia sastra dengan mengangkat persoalan kembali ke akar yang sudah ia mulai pada tahun 70-an, sementara Zawawi baru muncul sekitar sepuluh tahun kemudian. Di samping itu kebetulan saja Abdul Hadi berada di Jakarta, sehingga ia memiliki ruang yang jauh lebih luas. Selain itu reputasi akademis Abdul Hadi juga amat menonjol,” kata Maman.

Namun itu semua tak bisa dijadikan tolok ukur untuk melihat estetika puisi kedua sastrawan terkemuka dalam jagat sastra Indonesia tersebut. “Ini tak serta-merta berarti bahwa puisi-puisi Zawawi tak sebagus puisi Abdul Hadi. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Selalu ada kelebihan dengan puisi-puisi tertentu dan kekurangan dalam puisi-puisi yang lain,” kata Maman.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008

No comments: