Sunday, September 14, 2008

Tradisi Intelektual dan Kegairahan Penerbitan Buku

-- Fakhrunnas MA Jabbar*

TRADISI intelektual di Riau sudah diawali sejak masa kejayaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga dan Riau-Johor sekitar abad ke-19. Di masa itu, tumbuh subur aktivitas dan wacana intelektual yang diperankan oleh sejumlah pemikir dan petinggi kerajaan. Sebutlah nama-nama yang telah menghasilkan sejumlah karya berupa naskah dan teks yang abadi hingga kini, seperti Raja Ali Haji, Abu Muhammad Adnan, dan Raja Aisyah.

Di masa itu pula muncul sebuah wadah intelektual yang mengasah pemikiran-pemikiran baru yang diberi nama Rusydiah Klab di Pulau Penyengat. Pulau ini secara faktual menjadi bustan al katibin (taman para penulis) di abad ke-19 yang menghimpun sejumlah nama penulis yang masyhur hingga kini. Tak kurang dari 60 buku dihasilkan pada masa itu. Beberapa karya merupakan fondasi perkembangan keilmuan yang sangat bernilai, seperti Raja Ali Haji menghasilkan buku Bustan al Katibin yang berisi dasar-dasar pengetahuan bahasa serta Kitab Pengetahuan Bahasa, sebuah buku kamus bahasa.

Di masa itu pula, muncul sebuah unit perpustakaan bernama Kutub Khanah Mrhum Ahmadi yang didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi yang melengkapi buku-buku perpustakaannya senilai 10.000 ringgit.

Kekayaan khazanah intelektual Melayu di masa lalu merupakan peninggalan dan warisan sejarah yang tak ternilai. Meski hampir semua karya tersebut masih ditulis dalam huruf Arab- Melayu yang dialihaksarakan ke Latin oleh generasi sesudahnya.

Berselang satu-dua abad kemudian, masih adakah tradisi intelektual itu di negeri Riau ini? Tradisi intelektual tidak hanya sebatas pikiran lisan belaka. Beruntunglah para pemikir dan filsuf di masa silam yang mempunyai murid-murid yang tunak mengamalkan ajaran sang guru sehingga secara diam-diam menuliskan pikiran lisan yang diterimanya.

Tradisi intelektual Riau memang tumbuh dan berkembang secara alamiah dari generasi ke generasi. Tradisi intelektual yang identik dengan tradisi menulis ini setelah generasi Raja Ali Haji dilanjutkan oleh sejumlah penulis yang sudah menggunakan tulisan Latin. Budayawan UU Hamidy mencatat sejumlah nama di awal tumbuhnya tradisi intelektual pada abad ke-20 yang dipelopori oleh sejumlah ulama yang menulis kitab agama, seperti Tuan Guru Abdurrahman Siddiq (Mufti Kerajaan Indragiri) yang menulis delapan kitab serta Haji Abdurrahman Ya’kub (guru Madrasah Sungai Gergaji Indragiri Hilir) dengan tiga kitab.

Setelah itu, muncul pujangga Soeman Hs. Selain menghasilkan roman dan cerita pendek, sejumlah tulisan lepas Soeman banyak berisi pemikiran-pemikiran yang mengedepankan nilai-nilai kepedulian terhadap masyarakatnya.

Tradisi intelektual ini diteruskan oleh Umar Amin Husin (intelektual asal Kuantan yang pernah menjadi Atase Kebudayaan di Mesir). Umar Amin Husin pernah menulis buku Kultur Islam dan Filsafat Islam yang diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Nama-nama penulis lain segenerasi dengannya, antara lain, adalah Jamalako Sutan, Tengku Kuantan, dan Haji Abdul Rauf.

Di tahun 1960-an, bermunculan penulis karya-karya sastra, seperti Tengku Nazir (Dey Nazir Alwi), Johan Syarifuddin, Wan Saleh Tamin, dan Wan Ghalib. Satu dasawarsa kemudian, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Rida K Liamsi, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsuddin, Sy Bahri Judin, Taufik Effendi Aria, Wunuldhe Syaffinal, Hasan Junus, dan Raja Hamzah Yunus. Bersamaan dengan ini, sejumlah intelektual yang muncul dari beberapa perguruan tinggi di Riau mulai menggairahkan tradisi intelektual dengan asas keilmuan yang ketat. Sebutlah Muchtar Ahmad, Tenas Effendy, UU Hamidy, Tabrani Rab, Suwardi MS, Said Mahmud Umar, Suhartoko NA, Muchtar Lutfi, Saidat Dahlan, Amir Lutfi, dan masih banyak nama lagi.

Tradisi menulis ini di tahun 1980-an telah mencuatkan sejumlah nama, seperti Al azhar, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, M Husnu Abadi, Dasry al Mubary, Syafruddin Saleh, A Aris Abeba, dan Yusmar Yusuf.

Sebagian besar karya kalangan intelektual Riau generasi ini beriringan dengan suburnya tradisi penelitian baik ”pesanan” pemerintah maupun inisiatif sendiri yang kemudian dimodifikasi menjadi buku-buku bernuansa ilmiah termasuk juga proseeding pertemuan ilmiah.

Pertumbuhan tradisi intelektual dan aktivitas menulis di Riau tampaknya seiring dengan pertumbuhan penerbitan media cetak. Sejak tahun 1980-an, Riau boleh berbangga karena mulai memiliki media cetak sendiri walaupun terbit berkala mingguan atau bulanan. Surat kabar mingguan Genta dan Warta Karya—cikal bakal surat kabar harian Riau Pos—sedikit banyak memberi celah bagi penulis-penulis Riau untuk menuangkan hasil pemikirannya dalam bentuk karya tulis. Sementara di kalangan mahasiswa, masa itu, sudah ada surat kabar kampus Bahana Mahasiswa yang cukup banyak memberikan ruang bagi karya-karya intelektual mahasiswa dan sedikit dosen yang ikut ambil peran.

Di era 1990-an, kegairahan menulis di kalangan intelektual Riau makin tersalurkan secara lebih luas dengan munculnya harian Riau Pos yang sekaligus memecahkan mitos selama ini bahwa Riau tak mungkin punya surat kabar harian karena faktor geografis dan jarak. Secara sporadis, Riau Pos memberikan peluang bagi kalangan penulis intelektual untuk menuangkan karya-karyanya setiap hari. Kondisi ini semakin tergairahkan ketika era Reformasi bergulir yang juga dinikmati oleh kalangan pers. Pada awal reformasi, sekitar tahun 1997-1998, bermunculan belasan media cetak terutama tabloid mingguan dan majalah bulanan. Di Riau saat ini terdapat 13 media harian dengan komposisi delapan harian di Riau Daratan dan lima harian di Riau Kepulauan.

Reformasi di bidang intelektual di Riau memang membuahkan hasil. Bila era reformasi telah mencuatkan sejumlah nama tokoh, baik yang muncul secara sistematis maupun karbitan, maka sebagian di antara nama-nama itu membuktikan dirinya mampu menuangkan pemikirannya secara tertulis di media-media penerbitan yang ada. Ada hal yang menarik dari perkembangan ini. Tokoh seperti drh Chaidir yang sibuk di urusan legislatif selaku Ketua DPRD Riau masih bisa produktif untuk menulis kolom atau artikel secara rutin. Chaidir telah membuahkan tiga buku berisi kumpulan kolom itu, yakni Suara dari Gedung Lancang Kuning, Panggil Aku Osama, dan Berhutang kepada Rakyat. Begitu pula Isjoni, dosen UNRI yang tiba-tiba melejit dengan kolom-kolom tentang pendidikan di surat kabar lokal dan lebih dari itu selang satu tahun bisa menghasilkan delapan judul buku yang diterbitkan. Ini amat luar biasa. Penerbitan-penerbitan buku ikut pula tergairahkan dengan bermunculannya sejumlah penerbitan buku, seperti UIR Press, UNRI Press, IAIN Susqa Press, Unilak Press, Bahana Press, Yayasan Pusaka Riau, Yayasan Zamrad, dan Yayasan Kata.

Apabila kini sekadar window shopping di toko buku di Riau, terutama ibu kota Pekanbaru, ada hal yang membanggakan karena di deretan rak buku terpajang sejumlah buku karya penulis dan intelektual Riau. Sungguh ini tradisi intelektual Riau yang benar- benar bergairah kembali. Persoalannya kini, sebagian besar buku-buku yang dituliskan para intelektual, pengarang, dan sastrawan Riau masih sulit ditemukan di toko-toko buku di luar Riau, terutama Jakarta. Ini amat berkaitan dengan akses dan distribusi buku yang diterbitkan penerbit Riau yang sangat terbatas.

Di sisi lain, sejumlah orang Riau yang berkiprah di bidang penerbitan buku di luar Riau cukup memberikan andil untuk menghidupkan tradisi intelektual tersebut dengan menerbitkan karya penulis Riau. Sebutlah penerbit Adi Cita, Yogyakarta, yang dipimpin oleh Mahyuddin Almudra yang gencar menerbitkan buku berbagai bidang keilmuan. Sejumlah penulis-intelektual Riau kini juga menaruh harapan pada penerbit tersebut untuk menggaungkan tradisi intelektual Riau secara lebih luas di Indonesia.

* Fakhrunnas MA Jabbar, Praktisi Humas di Sebuah Perusahaan Swasta. Tinggal di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau

Sumber: Kompas, Minggu, 14 September 2008

No comments: