Saturday, April 05, 2008

Esai: Ayam

-- Ayuningsih Dyah W.*

POPULARITAS ayam kini telah menurun. Penyebabnya adalah mewabahnya penyakit flu burung. Padahal, ayam pernah tenar era ’90-an seiring terjadinya pergeseran budaya masyarakat ke hidup yang serbainstan. Ketika itu, ayam jadi menu favorit keluarga Indonesia, ditandai dengan menjamurnya rumah-rumah makan yang menyajikan ayam goreng sebagai sajian utamanya.

Tulisan pendek ini hanya mencoba mengajak pembaca, untuk melihat sisi lain keberadaan ayam. Artinya, sebelum menghakimi keberadaannya yang telah terstigma menjadi penyebab virus flu burung alias H5N1, pernahkah kita mencoba memahami keberadaan hewan tersebut pada masa lampau. Banyak artefak di masa lalu, baik dalam bentuk relief, arca, kain batik, dan lainnya, ternyata berwujud seekor ayam dan unggas jenis lainnya. Kemungkinan besar, sesungguhnya ayam memiliki arti tersendiri dalam pandangan masyarakat tradisi, terlebih keberadaannya yang sering dikaitkan dengan aktivitas ritual religius nenek moyang kita di masa lalu.

Lambang dan mitos

Ada beberapa jenis hewan yang digunakan oleh masyarakat tradisi di Indonesia. Penggunaan bentuk hewan-hewan ini, lebih sering diasosiasikan dengan keberadaan roh-roh nenek moyang, sekaligus personifikasi atas sosok yang memiliki kekuatan dalam perwujudannya.

Seperti pada umumnya masyarakat pada masa kuna yang menganut kepercayaan animis dan dinamis, penempatan sosok hewan tersebut sering berkait dengan mitos bahwa hewan itu memiliki kekuatan yang berkait dengan susunan unsur-unsur alam. Hal ini, seolah memperjelas hubungan antara keberadaan manusia sebagai makhluk hidup dengan kekuatan tak teraga yang ada di alam dan dimiliki oleh Sang Pencipta, serta sosok hewan, diasosiasikan sebagai salah satu media perantaranya.

Sosok dan keberadaan ayam, sering disimbolkan sebagai kekuatan yang arogan, memiliki keberanian dan dimaknai sebagai lambang kesuburan. Dalam pandangan masyarakat Barat, ayam sering dikaitkan dengan keberadaan sang penjaga atau guardian dalam kehidupan yang abadi. Demikian pula bagi masyarakat Nasrani, kemungkinan besar ayam memiliki keterkaitan dengan kepercayaan yang mereka yakini, karena pada beberapa gereja protestan, sering ditemukan patung dengan wujud sosok ayam jago pada altar maupun atap gereja.

Bagi masyarakat Jawa, keberadaan ayam sering dimaknai secara simbolik dalam kegiatan semadi yang dilakukan seorang sultan di Bangsal Manguntur Tangkil. Bahkan, dalam salah satu prosesi upacara, hantaran yang dibawa para abdi dalem, di antaranya adalah seekor ayam, yang dipandang sebagai simbol akan daya tarik dan optimisme seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya, yang intinya adalah memperlihatkan kekuatan diri sang pemimpin.

Dalam sistem perlambangan yang dianut masyarakat tradisi Indonesia maupun di wilayah Barat, ayam sering diasosiasikan dengan keberadaan matahari. Hal ini didapati pula dalam mitologi masyarakat Mesir Kuno, di mana ayam dikaitkan dengan kehadiran unsur yang terkuat di alam, yaitu matahari. Dan matahari disimbolkan sebagai Dewa tertinggi atau Dewa Re, yaitu dewa yang berkuasa untuk menciptakan surga, dewa yang mampu memberi kehidupan sekaligus sebagai sumber cahaya. Tujuannya agar manusia dapat melihat alam dan segala benda yang ada di sekelilingnya. Dan salah satu mediator akan hadirnya kekuatan tersebut adalah ayam. Ini pula mungkin yang menjadi penyebab dan berlangsung hingga kini di belahan dunia mana pun bahwa suara kokok ayam mengisyaratkan tanda hadirnya cahaya atau awal munculnya matahari. Dengan demikian, hadirnya sang penguasa yang mampu menerangi alam, harus didahului oleh ayam yang menjadi penjaganya.

Ayam dalam seni

Penggunaan lambang dalam karya tradisi di Indonesia, dimungkinkan telah terjadi pada masa neolitikum. Pada masa itu, orang telah membuat tatahan di atas salah satu batu, atas pintu dan atap rumah dengan ornamen hewan tertentu. Tujuannya untuk memberikan keselamatan, mendatangkan kebahagiaan, dan terhindar dari malapetaka. Tradisi tersebut ternyata berlanjut hingga agama Hindu dan Budha berkembang.

Tradisi penempatan simbol hewan pada suatu bangunan rumah, baik dinding, atap atau pintu, ditemukan pula di beberapa wilayah di Indonesia. Ayam adalah salah satu jenis hewan yang digunakan. Sebagai contoh apa yang terlihat di atas atap rumah-rumah di Desa Mayong, Jawa Tengah. Patung ayam jago yang terbuat dari tanah liat, di tempatkan pada bagian paling atas di salah satu rumah. Penempatan ini tentu tidak sembarangan. Penempatan itu memperjelas hubungan yang istimewa antara ayam dengan sang penguasa cahaya, yaitu matahari.

Ayam yang diidentikkan dengan lambang hadirnya kekuatan tersebut, akan memperdengarkan suaranya menjelang matahari hadir untuk pertamakalinya, setelah malam atau kegelapan pergi. Tak pelak, ayam pun diyakini sebagai sang penyambut dan sang penjaga matahari, serta kedatangannya pun harus disambut. Karena, matahari sering dipandang sebagai penguasa alam dan penolak bala dalam sistem kepercayaan masyarakat tradisi.

Selain ditempatkan pada atap rumah, wujud ayam sering terlihat pula pada karya-karya kain batik dan tenun. Pada seni batik Cirebon, terdapat pula kain batik yang dikenal dengan motif ayam alas. Motif ini memiliki makna simbolis yang menyiratkan kisah tentang ayam alas dari Gunung Jati, yang saat itu menyiarkan datangnya agama Islam dari permukiman Islam pertama di bukit Amparan Jati. Hal ini, jelas memperlihatkan adanya suatu keistimewaan pada ayam, hingga ia dikaitkan dengan upaya syiar Islam yang dilakukan di wilayah Cirebon.

Penggunaan motif ayam ditemukan pula pada kain tenun atau songket dari wilayah Palembang, juga batik dari wilayah Garut. Penggunaan kain ini mungkin saja berkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu di daerah tersebut. Walau belum tergali secara dalam, namun kita dapat menafsirkan bahwa penempatan ayam pada kain-kain itu tidak mungkin tanpa alasan. Begitu pula pada kain batik yang terdapat di daerah Toraja, di mana penggambarannya masih memperlihatkan gaya yang primitif. Secara visual, penggambaran ayam terlihat sangat sederhana, namun yang menjadi perhatian utama adalah mengapa ayam digambarkan lebih besar, sedangkan manusia yang digambarkan sedang membajak atau menggiling padi jauh terlihat lebih kecil.

Tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, jika kita merujuk pada pola atau cara penggambaran masyarakat purba, yang selalu menggambarkan sosok utama dengan cara diperbesar, maka kita dapat saja menduga bahwa ayam dalam masyarakat Toraja, mungkin memiliki peran yang lebih dari sekadar hewan piaraan. Terlebih dengan adanya pembagian warna gelap-terang, yang menyerupai bulan sabit dan lingkaran yang menyerupai bentuk matahari. Ini semakin memperjelas kedudukan ayam bahwa ia sangat erat berkait jalur hadirnya matahari, sang penguasa cahaya.

Penggunaan wujud ayam lainnya terlihat pula pada beberapa perangkat yang digunakan manusia, seperti dalam tempat air, tempat sirih, celengan, kacip (alat pemecah pinang), maupun setrika. Melihat bentuk dan hiasan yang ada pada beberapa barang tersebut, yang kaya dengan ornamen, biasanya penggunaannya lebih dikhususkan pada jamuan dan acara seremonial di kalangan kerajaan dan bangsawan. Lagi-lagi hal ini menyiratkan salah satu kedudukan ayam yang istimewa pada masa lampau. Selain digunakan dalam seni batik, patung, dan perangkat logam, bagian tubuh dari ayam juga sering digunakan sebagai hiasan pada pakaian adat. Terutama pada acara tradisi yang berkaitan dengan ritual religi. Selain bulu, penggunaan bagian tubuh ayam lainnya juga terlihat pada masyarakat di daerah Sumba, misalnya. Bagian tubuh dimaksud, darah, hati, dan ususnya.

Begitu pula pada masyarakat Sunda. Dalam upacara perkawinan tradisi masyarakat Sunda, ayam atau bakakak hayam dijadikan sebagai bagian dari salah satu upacara yang sering dikaitkan dengan masalah rezeki. Begitu pula pada acara khitanan, kaulan, dan lainnya.

Sesungguhnya contoh-contoh atas penggunaan dan penempatan sosok ayam dalam sistem kepercayaan tradisi masyarakat Indonesia sangatlah banyak, namun bentuk dan kehadirannya selama ini sering tidak disadari keberadaannya. Dari paparan di atas, kini kita dapat melihat dan mungkin sebaiknya mulai menyadari bahwa kedudukan ayam pada masyarakat tradisi di Indonesia dan belahan dunia mana pun, sesungguhnya memiliki nilai yang luhur dan keberadaannya tidak semestinya untuk dihinakan.***

* Ayuningsih Dyah W., Staf Pengajar di Jurusan Seni Rupa STSI Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 5 April 2008

No comments: