-- Rab A Broto*
KEBIJAKAN pemerintah untuk membeli hak cipta buku pelajaran, seperti disebutkan dalam Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2008, tak bisa dipungkiri mengancam eksistensi penerbit buku pelajaran. Namun, peraturan yang merupakan terobosan terkait berbagai keluhan atas polah penerbit buku pelajaran itu, sudah sangat tepat.
Penerbit selama ini terbukti tidak bisa dijadikan mitra terbaik karena hanya mementingkan untungnya sendiri.
Alasan utama mendukung Permendiknas tersebut mengingat pendidikan bermutu dan murah adalah hak setiap warga negara. Soal ini penting karena murahnya harga buku pelajaran pasti akan menentukan kemajuan dan masa depan bangsa.
Singkat kata, pemerintah kali ini adaptif dan perlu diacungi jempol kebijakannya. Keputusan yang semoga memang tulus untuk memajukan anak bangsa dan tidak dikotori kepentingan jangka pendek. Hal ini mengingat selalu ada peluang untuk menyeleweng dari maksud mulia. Salah satunya adalah obyektivitas Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam memilih naskah mana yang akan dibeli hak ciptanya.
Protes terkait naskah yang akhirnya terpilih pasti akan tetap ada. Tapi di sinilah pengawasan masyarakat bisa berperan. Terutama untuk mendesakkan adanya mekanisme yang bisa menjamin transparansi.
Mubazir ratusan miliar
Penerbit selama ini sudah terlalu banyak menangguk untung dan kurang memedulikan kemaslahatan orang banyak. Contoh nyata bisa disaksikan dari membanjirnya keluhan para orangtua murid setiap tahun ajaran baru karena harus membeli buku baru. Buku lama tak bisa dipakai lagi.
Sistem korup mirip mafia yang melibatkan oknum penerbit, percetakan, birokrat di Depdiknas, makelar, sampai para kepala sekolah dan guru ini terjalin sangat rapi dan sistematis. Pendeknya, dari hulu ke hilir digarap.
Bisa dibayangkan sistem pengadaan buku yang sedemikian bobrok ini mengakibatkan pemborosan senilai ratusan miliar per tahun sesuai dengan omzet penerbit buku pelajaran. Mengutip angka yang dipaparkan dalam tulisan Junaidi Gafar (Kompas, 24/3), di Indonesia ada sekitar 150 penerbit buku pelajaran. Omzet rata-rata penerbit tersebut mencapai Rp 10 miliar per tahun.
Dana mubazir ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk memintarkan murid dan—terutama— meningkatkan kesejahteraan guru dengan cara lain yang lebih beradab. Karena itu, kebijakan pembelian hak cipta buku pelajaran perlu didukung dan dikawal semua pihak.
Pembelian hak cipta merupakan langkah desentralisasi. Bagaimana hal itu akan memberdayakan banyak pihak yang selama ini sekadar jadi penonton.
Kebijakan ini pun akan menunjang peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan pembelian hak cipta naskah buku, membuat guru tertantang untuk terus mengembangkan kompetensinya. Termasuk bila perlu berkolaborasi dengan pihak lain dan memanfaatkan teknologi untuk mewujudkan buku pelajaran yang berkualitas, baik secara isi maupun penunjang lainnya.
Dengan begitu, kekhawatiran soal desain dan editing buku mestinya tak jadi masalah karena banyak cara bisa ditempuh. Misalnya, menjalin kerja sama dengan para desainer freelance yang jumlahnya begitu banyak. Sumber dayanya sangat memadai, baik dari lulusan akademi grafika maupun para praktisi percetakan. Cara lain yang mungkin lebih efisien, naskah itu dihimpun untuk diperbaiki desainnya dan diedit bersama secara cermat sebelum di-upload ke internet.
Jelas menekan harga
Lepas dari itu semua, pembelian hak cipta naskah buku pelajaran dari SD-SMA/SMK jelas akan memudahkan mereka yang membutuhkan buku. Mereka cukup mengakses di internet dan dalam waktu singkat bisa mendapatkan buku pelajaran dengan harga murah.
Bicara tentang struktur biaya penerbitan buku—yang tercermin pada harga jualnya—secara umum biaya distribusi adalah yang paling besar porsinya, yaitu hingga 53 persen. Adapun ongkos cetak sekitar 15 persen, royalti penulis 10 persen, dan sisanya adalah laba untuk penerbit.
Itu dengan asumsi buku dicetak hanya sebanyak 3.000 eksemplar. Jadi labanya jelas bisa lebih besar lagi kalau dicetak lebih dari jumlah itu. Inilah tampaknya keberatan utama kalangan penerbit yang selama ini terus membela praktik tidak sehat dalam perdagangan buku, bahkan terkesan bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah kemungkinan buku bermuatan iklan, seperti halnya koran atau majalah. Jika ini diterapkan, boleh jadi buku akan dibagikan kepada masyarakat secara gratis dan dana dari pemerintah bisa untuk kegiatan lainnya di bidang pendidikan. Tinggal diatur saja secara rinci—dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan—halaman mana saja dari buku pelajaran yang boleh dipasangi ”iklan” dan iklan apa saja yang boleh dipasang. Perusahaan mana yang tak tertarik kalau buku yang disponsorinya itu dicetak dalam jumlah ratusan ribu eksemplar dan didistribusikan ke seluruh pelosok Indonesia?
Kalau mau ditelisik lebih dalam soal kesulitan penerbit, kebijakan pembelian hak cipta buku pelajaran ini juga tidak sepenuhnya menutup peluang penerbit. Mereka hanya diminta untuk menekan keuntungan sekaligus ”dipaksa” efisien termasuk mengikis uang suap pada birokrat.
Konsumen tentu tak akan lari kalau memang hasil cetakan penerbit jauh lebih bagus dibanding mencetak sendiri dari hasil mengunduh di internet.
Jadi tak sepantasnya pula ada yang keberatan terhadap kebijakan ini, jika niat dasarnya untuk memajukan pendidikan masyarakat. Sudah selayaknya pula kita memanfaatkan kemajuan teknologi yang memang bisa menekan biaya? Bukannya tetap berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah usang, tidak efektif, serta merugikan banyak orang.
* Rab A Broto, Pengamat Perbukuan dan Direktur Sekolah Penulis Pembelajar (SPP)
Sumber: Kompas, Senin, 7 April 2008
No comments:
Post a Comment