Sunday, April 20, 2008

Esai: Otosentrisitas Kebudayaan

-- Syaiful Arif*

KEBUDAYAAN harus memiliki otosentrisitas,sebuah ”otonomi relatif”bukan bentukan kekuasaan.Ia spirit yang melakukan kritik saat sejarah mengalami krisis.

Dalam antropologi terjadi pembelahan kebudayaan, yakni antara kubu yang memosisikan kebudayaan harus bermanfaat bagi sistem sosial dengan pihak yang meletakkan kebudayaan dalam simbolisme. Pada yang simbolik ini,kebudayaan memiliki otonomi relatif,maka tidak harus memberikan kemanfaatan politik.

Pada aras struktural, pembelahan ini kemudian menggeser definisi kebudayaan, tidak lagi sebagai sistem nilai,tetapi sites of contested representation and resistance.Kebudayaan selalu tergulat dalam kekuasaan, baik melegitimasi ataupun melawan. Tentu kita sepakat bahwa titik sentral kebudayaan adalah penahbisan manusia sebagai animal simbolicum, hewan simbolik.

Manusia mampu menjarak dari kehidupan dan memasang simbol-simbol untuk memaknai dan mereproduksi alam menjadi karya manusiawi.Dari sini terjawab kenapa etimologi kebudayaan kita merujuk pada terma Abhyudaya. Lafadz Sansekerta yang diambil dari Kitab Dharmasutra dan Buddha ini mengacu pada kehidupan sejahtera, tidak hanya sosial, tetapi juga spiritual.

Satu hal yang sebenarnya kurang sejalan dengan terma culture yang bermakna pengolahan (cultivating).Terma Eropa ini lebih merujuk pada pengolahan developmentalistik sehingga culture (kebudayaan) selalu diarahkan kepada civilization (peradaban). Risiko nyata, yakni arah budaya; tradisi, nilai, seni,dan agama,mesti digerakkan untuk membangun hadharah; peradaban kota nan teknokratis dan negara-sentris.

Terma kebudayaan yang developmentalis ini terjadi karena perspektif budaya didekati melalui sudut pandang sistem.Kebudayaan disamakan dengan organisme biologis, unsurunsurnya membentuk struktur yang memperkuat sistem secara keseluruhan. Ini terjadi pada fungsionalisme antropologi yang melihat kebudayaan sebagai conditioning, usaha kondusif untuk memenuhi kebutuhan psikoekonomis.

Kebudayaan kemudian bersifat materialis karena ia lahir dari kebutuhan dasar ekonomi dan dari basis itulah segenap ”langit-langit nilai”terbias. Gerak ini terjadi pada era Orde Baru (Orba) yang telah menggerakkan strategi kebudayaan fungsional. Segenap elemen budaya baik ilmu sosial,agama,universitas,ormas,partai, dan ideologi negara diposisikan sebagai ”sel-sel” substruktur yang memperkuat tubuh politik, yakni ”pembangunanisme”. Kebudayaan menjadi ”yang sakral”, segenap penafsiran rakyat tidak boleh melenceng dari the sacredtersebut.

Tetapi, bukankah wajar mengarahkan kebudayaan pada pembangunan tertentu? Ya,tetapi dengan syarat,penggerakan itu tidak melalui intervensi politik karena melampaui sistem, kebudayaan terlebih adalah persoalan makna. Inilah yang melahirkan definisi kedua, yakni kebudayaan diposisikan sebagai aspek ideasional. Ia bukan sel-sel yang terstruktur dalam tubuh sosial,melainkan capaian makna yang melampaui segenap realitas.

Dari sini pembahasan kebudayaan bukanlah eksplanasi kausalitas, antara sebab ekonomis yang menentukan akibat politik.Namun, sebuah pencarian makna yang tersembunyi dalam simbolisme publik.

Politik Diskursif

Dalam perjalanannya, kedua konsep di atas,baik yang melihat kebudayaan sebagai sistem fungsional maupun simbolik,telah mengalami revisi.

Pada zaman pascastrukturalisme ini, konsep budaya sebagai makna adiluhung telah menimbulkan tanya,makna menurut siapa dan untuk kepentingan siapa? Ini merupakan pergeseran paradigmatis. Pada era strukturalisme, satu era ketika para antropolog Indonesianis tergerak meneliti struktur budaya kita, selayak santri, abangan, priyayi, mistisisme, dan genre ideologi politik 1955 dilakukan Herbert Feith.

Dalam paradigma ini,kebudayaan dilihat sebagai representasi kesadaran kolektif yang memb e n t u k struktur nalar untuk kemudian melahirkan tipe budaya tertentu berdasar afiliasi primordial. Pendekatan ini dikritik oleh pascastrukturalisme yang memosisikan kebudayaan sebagai diskursus. Risiko nyata, yakni daripada menerapkan metodologi ilmiah untuk memetakan budaya dalam kotak tertentu, pengkaji budaya seharusnya sadar akan kondisi sosial yang melahirkan metode tertentu yang membuatnya tak bebas nilai.

Dari sini arah bidik kebudayaan justru melakukan perlawanan atas bentukan (representasi) diskursif dari otoritas ilmiah.Kebudayaan dalam hal ini telah tergerak dalam differance, yakni pemelesetan makna dari kuasa pengetahuan yang menamai kebudayaan. Pada titik inilah permasalahan kebudayaan kita mengalami pergeseran dari era Orba.

Pada era state qua state itu, persoalan utama adalah bagaimana menggerakkan strategi kebudayaan pada aras makro. Fungsionalisme struktural dipakai melalui pemilahan evolusionis, mana budaya yang sejalan a t a u menghambat pembangunan? Teori mentalitet lahir selayak evolusionisme Koentjaraningratyangmengharuskan kebudayaan memberi sumbangsih bagi pembangunan.

Saat ini, ketika negara runtuh,kebudayaan terbelah seiring terpencarnya pergulatan budaya pada aras horizontal. Dalam situasi ini posisi kebudayaan yang semula dijadikan hegemoni, legitimasi moral-intelektual untuk membuat masyarakat setuju dengan agenda negara, mengalami pembuyaran.

Kenapa? Karena pascareformasi 1998 tak ada lagi sekat dikotomik antara negara versus masyarakat sipil.Negara menjelma dirinya dalam pluralisme politik, sebuah ruang bebas untuk persaingan bebas antarkepentingan. Di sinilah pergeseran terma kebudayaan menjadi urgen.Kebudayaan kini harus mendefinisikan dirinya sebagai pembebasan atas representasi kekuasaan yang pada satu titik tetap menggunakan kebudayaan sebagai hegemoni.

Ini yang membuat arah ideasional menjadi penting, yakni kebudayaan tidak lagi terbatas pada seni dan pembangunan jati diri,tetapi lebih menyadari dirinya dalam ruang diskursif. Satu hal yang disebut Tony Bennett sebagai ”sirkuit budaya” ialah kebudayaan melakukan kritik terhadap kekuasaan yang mereproduksi diri melalui kebudayaan. Kebudayaan sebagai diskursus menjadi penting karena pascadevelopmentalisme Orba, ilmu sosial kita tumpul,kehilangan musuh bersama sehingga kelimpungan memetakan diri.

Yang ada kini hanyalah ilmu sosial pop yang berkecambah dalam lalu-lintas wacana di jejaring NGO kita. Civil society kita menjelmakan ”demokrasi gelembung udara” karena berbagai kerja kebudayaan yang dulu menggumpal menjelma counter hegemony atas negara kini kehilangan episteme kritis yang abai terhadap tanya, apa kepentingan kekuasaan di balik wacana kemanusiaan yang mereka perjuangkan? (*)

* Syaiful Arif, Peneliti Kebudayaan Ciganjur Centre, Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 20 April 2008

No comments: