Saturday, April 12, 2008

Esai: Desakralisasi Sastra Koran

-- Beni Setia*

NIRWAN Dewanto, dalam kata pengantar buku Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan Kompas 1993, yang memuat 17 buah cerpen yang dipublikasikan di Kompas sepanjang 1992, menulis, "Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan Matra, bukan di Horison."

Itu kalimat superlatif yang kemudian buru-buru diralatnya dengan pernyataan, "... semoga para redaktur tidak secara kaku mematok apa yang disebut ’selera pembaca luas’. Sebab para pembaca yang sudah terbiasa dengan hiperrealisme berita dan opini, mempunyai kecerdasan, kecemasan, harapan, dan keberanian mereka, mereka menantikan juga apa yang sanggup melentikkan imajinasi dan apresiasi mereka."

Di titik ini, pembaca (cerpen Kompas) diangkat ke altar dan dianggap subjek otonom yang memiliki kuasa untuk menentukan arah perkembangan estetika dan ekspresi sastra (koran) mutakhir, sesuai dengan teori Resepsi. Sekaligus sebuah imbauan agar kualitas dan kecenderungan redaksional ditekankan pada bagaimana teks itu diapresiasi pembaca dan bukan hanya dibayangkan penulis dan dinilai -- dalam kritik yang tak pernah mengungkapkan kriterianya -- redaktur koran. Sebuah peringatan agar media massa tak mengukuhi selera internal redaksionalnya dan melahirkan stereotip karya yang menyebabkan khazanah sastra Indonesia hanya diisi duplikasi karya-karya senada sewarna.

Sebuah peringatan yang malah mungkin jadi sebuah ramalan karena tidak disikapi secara kritis. Ramalan tentang pengerasan sebuah selera estetika sastra yang menjadi dominan hanya karena otoritas redaksi menolak dan memublikasikan karya yang masuk. Sebuah kemasygulan yang menggantung di awang-awang jagat sastra Indonesia belakangan ini.

Menceng

Konstatasi Nirwan Dewanto itu menjadi menarik bila diapresiasi dalam kaitan konteks sastra saat itu, di mana Horison dan Basis megap-megap secara kapital dan butuh investasi, sementara Budaya Jaya sudah lama mati. Kondisi itu melahirkan kejutan besar. Basis diambil alih Kompas dan Horison diambil alih Tempo. Sayang, Horison versi modal estetika Tempo hanya terbit sekali, dan membuat Tempo memanfaatkan modal dan SDM sastrawinya untuk menerbitkan Kalam. Di titik ini lahir harapan besar di awang-awang jagat sastra Indonesia, sebuah sastra majalah sastra dan jurnal budaya yang tak sekadar sastra koran yang terbatas dalam kepanjangan, jelajah estetika, dan eksploitasi ekspresinya.

Saut Situmorang, dalam wawancara dengan Recup Budaya UI, yang kemudian dimuat lagi di Boemipoetra edisi Januari-Februari 2008 mencatat sebuah fenomena yang mencengangkan tentang Kalam yang dianggapnya "hanya majalah budaya umum dan ’kekuatan-nya terletak lebih pada esai-esai budaya yang dimuatnya, bukan pada puisi atau cerpennya." Pernyataan Saut Situmorang ini menekankan dua hal. Pertama, puisi dan cerpen sastra lebih berkembang di koran, dan kedua, esai sastra dan budaya yang lebih serius tidak mungkin terbit di koran. Karena keterbatasan kolom koran bisa "membebaskan" seorang "kritikus" sastra untuk tidak harus bertanggung jawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetail kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra -- lihat "Tradisi dan Bakat Individu", kata pengantar kumpulan puisinya, Otobiografi. Dan, kita tahu, Budaya Jaya dulu selalu terlambat terbit dan kemudian kolaps karena tak ada penyumbang naskah yang menulis panjang dan mendalam.

Meski situasi menceng itu lebih karena tuntutan profesi. Lebih tepatnya, seorang esais dan kritikus butuh pengakuan (legitimasi) kerja berupa karya yang ditulis serius dan berformat panjang untuk menunjukkan kelas dan wawasan intelektualnya. Sementara seorang penyair dan cerpenis tak cuma butuh legitimasi estetik, tetapi juga dukungan finansial untuk bisa ajek berkreasi dan koran serta majalah keluarga menjanjikan honor dan kecepatan pemuatan karena filter redaksionalnya longgar. Migrasi berlatar kebutuhan itu yang menyebabkan cerpen berkualitas ada di luar majalah atau jurnal sastra. Akan tetapi, celakanya, banyak pihak yang masih menganggap sastra koran pseudosastra karena koran membatasi panjang karangan rendahnya toleransi pada eksploitasi estetika dan ekspresi -- karena selera redaksionalnya yang dikawal insting wartawan.

Alternatif


Posisi alternatif sastra koran --cerpen dan puisi -- Indonesia semakin menarik ketika seorang maesenas sastraIndonesia mengajukan gagasan Pena Kencana Award. Di mana dalam setahun -- mulai 2007 lalu dan diberlakukan untuk 2008 ini -- dipilih 100 puisi dan 20 cerpen terbaik dari sekian ribu puisi dan sekian ratus cerpen yang terbit di koran-koran di Indonesia. Meski yang dimaksud dengan koran-koran Indonesia itu dapat diperdebatkan karena dewan redaksi yang terpilih tampaknya memusatkan diri ke koran-koran besar di Jakarta dan hanya beberapa koran besar di daerah. Akan tetapi, telah terpilih 100 puisi yang katanya per puisinya diberi honorarium Rp 750.000,00 dan 20 cerpen yang diberi honoraraium Rp 3,5 juta. Karya-karya itu kemudian dibukukan dan apresiatornya berhak memilih puisi atau cerpen terbaik, danmelakukan sms-voting hingga terpilih puisi dan cerpen terbaik. Hadiah bagi si sastrawan Rp 100 juta dan si pengirim sms dapat Rp 25 juta.

Ide cemerlang ini membikin saya tepekur. Apa itu cara memuliakan sastra koran, apa begitu cara untuk menggairahkan minat apresiasi masyarakat awam pada sastra koran dan bersikap membuat pilihan tentang yang terbaik dari yang terbit di tahun sebelumnya? Keberatan saya terletak pada dua hal. Pertama, ada semacam dominasi selera. Ketika banyak sajak yang terpilih dari Koran Tempo dan Kompas, kita mendadak tersadar akan adanya penguatan selera redaksional yang bermula dari lingkaran KUK. Selain, betapa mencengangkannya keseragaman puisi yang dipilih yang merujuk ke selera puisi kontemporer Kalam. Kedua, orang memilih bukan berdasarkan pendapat pribadi yang analisis-kritis, tetapi kemungkinan didorong oleh resensi koran yang sumir dan karenanya melahirkan pilihan atas puisi dan cerpen unggulan -- yang diunggulkan karena dianggap bisa memberi keuntu ngan bagi sms-voter.

Saya merasa berada di sebuah pesta kapitalis yang membuang uang demi kesenangan pribadi, sambil melihat karya sastra koran dan para sastrawan koran sebagai yang jumpalitan karena diberi duit -- mungkin hanya lumba-lumba yang berpolah demi sepotong ikan. Itu tindakan penyantunan yang menyakralkan sastra koran atau justru mendesakralisasi sastra koran? ***

* Beni Setia, Penyair, cerpenis.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 April 2008

1 comment:

Dartono said...

Pandangan yang menarik.