Sunday, April 13, 2008

STA: Puisi dan Modernitas (2)

-- Goenawan Mohamad*

SEMUA itu—yang terasa sejak 1945—tak terkait dengan ”pesimisme Barat”. Ia lebih terkait dengan ”Revolusi”—kejadian (l'événement, kata Alain Badiou) yang melahirkan kebenaran baru, ketika sebuah situasi sekonyong-konyong pecah, stabilitas retak, acuan guncang, dan tampak bahwa dunia yang ada sebenarnya ditopang oleh inkonsistensi sepenuhnya.

Maka, puisi sesudah-perang bukanlah Puspa Mega (Sanusi Pane) melainkan Deru Campur Debu, bukan Gamelan Jiwa (Armijn Pane) melainkan Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus.

Takdir tak menangkap kondisi itu. Baginya, seperti dikutip Asrul Sani, revolusi Indonesia telah berlangsung tanpa jejak, seperti ”gelembungan yang kempis kembali karena tersonggol batu”. Tetapi, pengertian STA tentang revolusi hanya benar bagi mereka yang, kata Asrul, ”menganggap revolusi ini suatu rame-rame pada hari Minggu”.

Inilah cerminan, seperti dikatakan Asrul, sastra masa Takdir: sastra ”gestabiliseerde burgers”. Yang terasa adalah ”bau baju bersetrika”. Semuanya lempang dan tertib. ”Gambar-gambar dilukiskan dengan pertolongan mistar hingga segala-galanya lurus,” kata Asrul pula.

Asrul bisa berlebihan, tetapi membaca puisi Pujangga Baru memang membaca deretan majas yang diambil dari dunia yang utuh, di mana yang negatif tak membayang dan yang positif transparan. Puisi Pujangga Baru, terutama sajak-sajak Takdir, adalah puisi kehadiran; puisi sesudah-perang adalah puisi kehilangan.

Tetapi, dalam kehilangan itu, ada penebusan. STA keliru jika melihat modernisme sebagai sebuah sikap yang hanya menerima kekalahan manusia.

Modernisme memang menyentak dan mengejutkan: sesungguhnya ia teriak pembebasan manusia dari ”hidup yang cidera”. Beschädigten Leben itu, dalam analisis Adorno, adalah hidup yang dipak dan diringkas komodifikasi, hidup yang didera laba-rugi, terkurung rasa terasing, dipipih-keringkan administrasi. Manusia tak lagi bisa jadi subyek, atau subyek tak bisa diberhalakan lagi. Ia telah digiring politik, hanya jadi angka dalam demokrasi dan sekrup dalam bangunan totaliter, rudin oleh pengisapan, remuk oleh perang, atau hangus dalam kotak-kotak kamp konsentrasi. ”We are the hollow men/ We are the stuffed men,” gumam dalam sajak TS Eliot yang terkenal. Dari tanah gersang itulah modernisme bersuara, memantulkan melankoli.

Tetapi, sebenarnya mereka juga mencoba menebus yang hilang: yang bergairah pun bertaut dengan yang buruk, kepedihan dengan yang erotis. Tubuh yang dianiaya kapitalisme, kediktaturan dan perang, ditampilkan kembali, dan tak ditampik, dalam ketaksempurnaannya. Bahkan modernisme juga sebuah pembebasan dengan cara tersendiri. Buat melepaskan manusia dari posisi diperalat untuk mencapai satu tujuan, sastra justru membuat dirinya bebas dari guna. Di suatu masa ketika badan dan jiwa dituntut untuk berarti—dengan kata lain: tak ruwet dan bermanfaat—puisi muncul tanpa motivasi semantik: ia menampik ke-berarti-an.

Takdir tak memahami itu: satu kakinya berada pada masa kolonial, kakinya yang lain pada sebuah rencana masa depan untuk Indonesia. Dari sinilah justru ke-berarti-an jadi agenda utamanya. Ia menghendaki puisi memproduksi arti: makna dan guna.

Dalam sebuah wawancara pada akhir tahun 1947 ia mengecam puisi Chairil Anwar: sajak-sajak itu hanya ”rujak”. Makanan ini ”asam, pedas, asin dan banyak terasinya”, kata Takdir; rujak berguna untuk ”mengeluarkan keringat”, tetapi ”tak dapat dijadikan sari kehidupan manusia”.

III

Agaknya bisa dimengerti kenapa STA, dari kondisi tahun 1930-an, bersikap demikian.

Pemerintahan Hindia-Belanda membawa dalam dirinya optimisme modernitas dan semangat terang Aufklärung Eropa, dan dengan pelbagai motifnya mencoba menarik masyarakat jajahan ke dalamnya. Tetapi, proyek itu sebuah transformasi sosial yang setengah-hati; dalam dirinya ada keniscayaan untuk batal. Pada akhirnya kawula kolonial tak diperkenankan jadi bagian yang lumrah dan integral dari dunia ”Eropa”, dengan atau tanpa Pencerahannya. Mereka adalah ”yang-lain”, satu identitas yang dimestikan untuk berbeda—dan dikonstruksikan seakan-akan secara esensial berbeda. Pada akhirnya kolonialisme adalah pembentukan ruang hidup dengan garis yang brutal. Hindia-Belanda ditopang dengan apartheid.

Di situlah hubungan antara modernitas dan kebebasan dipotong. Para pengarang Pujangga Baru, yang mengadopsi optimisme modernitas, berurusan dengan kebebasan yang buntun—bukan saja kebebasan politik, tetapi pada gilirannya juga kebebasan puitik.

Dalam posisi mereka, mereka bekerja dengan apa yang disebut Homi Bhabha sebagai ”metonymy of presence”. Kolonialisme menghadirkan semangat Pencerahan dalam sebuah wacana yang tak penuh. Baik sang penjajah maupun sang terjajah mereproduksinya hanya sebagian-sebagian, seakan-akan itu (misalnya ”kemajuan” dan ”pembaharuan”) bisa bicara tentang yang seluruhnya. Tetapi di kedua pihak, metonimi itu mengandung strategi yang saling bertentangan. Bagi sang terjajah, reproduksi itu sebuah perlawanan.

Dalam kata pengantarnya untuk antologi Puisi Baru, STA menyebut dengan bersemangat bagaimana angkatan muda Indonesia ”tiada berapa banyak bedanya dengan ’manusia bebas dan perkasa’ Eropa”. Tetapi, dengan jadi demikian itulah lahir nasionalisme. Nasionalisme ini tak berangkat dari ingatan tentang akar budaya atau biologi; ia tak berangkat dari akar apa pun; ia tak lahir dari esensi, melainkan aksi. Ia membangun sesuatu yang baru: sebuah identitas (”bangsa Indonesia”) yang ditentukan cita-cita. Seperti kata Takdir ketika ia membahas ”sajak kebangsaan” dalam Kebangkitan Puisi Baru, ”bangsa” dalam pengertian modern ”bersandar pada sikap jiwa yang tentu kemauannya, tentu perasaan dan pikirannya dan tentu cita-citanya”.

Namun, tak terpikir oleh Takdir: dalam ”sikap jiwa” dengan kemauan yang ”tentu” itu—sikap yang bercirikan yang serba ”tentu” itu—terkandung pengekangan. Takdir agaknya tak tahu, semangat teleologis Pencerahan mengandung sejenis represi.

Adorno dan Horkheimer melukiskan represi itu dengan dongeng tentang Odysseus yang berlayar pulang ke Ithaca. Pendekar itu tahu, di tengah laut nanti akan terdengar suara para peri Sirena yang begitu merdu hingga membujuk para pelaut terjun dan tak kembali. Maka, Odysseus memerintahkan awak kapalnya menyumpal kuping dan mendayung terus. Tetapi, ia sendiri ingin menikmati suara para peri yang menghanyutkan itu. Ia ikatkan tubuhnya ke tiang agung, dan ia dengarkan nyanyian Sirena—dan ia berhasil ke tujuan.

Dengan kata lain: sang pendekar bisa menikmati yang tak bisa dinikmati orang lain. Mereka yang bekerja melayaninya dicopot kemungkinannya untuk menikmati sesuatu yang lezat. Tetapi, Odysseus sebenarnya juga membuat dirinya sendiri tak bebas; ia mengikat tubuhnya sendiri. Tetapi, tujuan tercapai. Ia lambang manusia borjuis Pencerahan, yang ditafsirkan sebagai ”manusia perkasa” oleh STA dalam pengantarnya untuk antologi Puisi Baru pada tahun 1946.

(Bersambung)

* Goenawan Mohamad, Penyair dan Esais

Sumber: Kompas, Minggu, 13 April 2008

No comments: