-- Silvester Petara Hurit*
KEKUATAN lakon "Antigone", juga lakon-lakon Sophokles yang lain adalah dalam penonjolan watak tokoh dan teknik membangun ketegangan-ketegangan dramatisnya. Tokoh-tokoh di sana berjuang kuat dalam menghadapi nasibnya. Juga mempersoalkan masalah-masalah eksistensial seperti pilihan, penderitaan, keteguhan, keadilan, dan pemahaman atau pengertian sang tokoh di akhirnya.
Lakon yang telah menyimpan kekuatan tragis itu ditafsir dan dipanggungkan dengan durasi sekitar satu setengah jam. Sutradara Yusef Muldiyana tampaknya memilih untuk setia pada teks lakon Sophokles ini dengan menyandarkan kekuatan permainan pada para aktornya. Pertunjukan mengalir dengan tempo yang terjaga secara baik, dan ini merupakan keberhasilan para aktor.
Konvensi estetik klasisisme diwujudkan terutama melalui penataan artistik yang dikerjakan Lucky Lukman. Dua pilar yang tegak di panggung serta mahkota perak menjadi penanda keagungan lakon itu. Keberhasilan visual terasa pada saat layar dibuka perlahan. Penonton segera melihat dua pilar besar yang dilingkari jejaring tali serupa akar. Tampak agung serta garang, dengan perspektif ruang yang kian mengecil dan tekstur latar yang runcing menonjol. Diimbuhi warna monokrom disapu cahaya merah, keagungan bercampur kegetiran, suram, lirih, ganas, dan asing.
Derap kaki, gestur, dan gerak distilisasi. Dalam pementasan klasik, ini dipakai untuk memperkuat efek-efek tragical. Begitu pula dengan penggunaan topeng dan jubah panjang, yang memberi kesan asing sekaligus idealisasi terhadap tubuh aktor menjejak dalam pertunjukan. Tetapi memang ada konsekuensi berupa kurang tajamnya perbedaan karakter sebagai penentu umur, golongan sosial, status, serta watak para tokoh.
Sementara itu, lagu yang dihidupkan dengan gerak tari paduan suara aktor di panggung terkesan terlalu segar. Sepertinya tidak sampai masuk membantu mengaksentuasikan irama, emosi, kekelaman, dan roh tragis lakon. Padahal, rangsangan auditif, entah lewat lagu ataupun efek musik, memainkan peran penting, terutama dalam menghidupkan aspek emosional penonton. Pada bagian tertentu, gerak maupun lagu, semestinya memiliki warna ritualistis yang kuat dan mencekam. Misalnya ketika para wakil rakyat berdoa kepada dewa setelah mendengar meluncurnya nujum mengerikan dari petapa Teirisias.
Penampilan para aktor secara keseluruhan cukup menarik (Creon dimainkan oleh Kemal Ferdiansyah; Antigone oleh Ria Ellyssa; Haemon oleh Lucky Lukman; Ismene oleh Fitriasari; Pengawal oleh Deden Bel; Teiresias oleh Ayi Kurnia; Pembawa Warta oleh Dedi Warsana, dan pemimpin paduan suara oleh Ayi Bukhary). Mereka berhasil menjaga tempo, namun kurang maksimal dalam membangun irama tragis.
Power dan intensitas permainan Creon, misalnya, semestinya lebih mencuat tatkala ia ditentang langsung oleh Antigone, perempuan yang terkesan arogan dan kepala batu di hadapan dirinya yang adalah laki-laki dan raja. Antigone juga seharusnya memperlihatkan kualitas dan kompleksitas pergulatannya yang berbeda ketika ia berbicara seorang diri menjelang hukuman matinya tiba.
Di sisi lain, kehadiran Ayi Kurnia sebagai petapa di saat ketegangan mulai memuncak, terlalu bertenaga dan terlalu gagah, baik dalam gerak maupun suara. Suasana akan jauh lebih mencekam dan bertuah kalau yang ditampilkan bukan kegagahan dan tenaga. Melainkan kerentaan dan kedalaman seorang petapa yang sarat perenungan.
Tragedi selalu menyimpan kekelaman. Tetapi justru di situlah soalnya. Selama ini, Yusef Muldiyana berkecenderungan tampil dengan karakter karyanya yang berupa fragmen-fragmen humoristis dan parodis dengan dialog-dialog rileks dan hangat, serta lagu-lagu dan gerak-gerak segar dengan kecenderungan bermain yang kuat. Kecenderungan itu tampaknya berpengaruh pula pada cara ia mendekati tragedi Sophokles kali ini.
Lagu-lagu yang berkarakter agak pop dan nyanyian ritual Islami juga hadir dalam pertunjukan ini. Kehadiran lagu, karakter, dan nyanyian semacam itu tidak menjadi masalah manakala sutradara sudah jelas dalam memperlakukan lakonnya. Dalam kasus Yusef dengan "Antigone"-nya, konsepnya tampaknya belum jelas benar. Apakah Yusef memilih setia pada konvensi estetik klasisisme Yunani atau hendak melakukan perkawinan (hybrid), atau malah melakukan parodi terhadapnya?
Jika ia memilih setia, dan memang tampaknya demikian, maka kehadiran lagu berkarakter pop dan nyanyian ritual Islami, apalagi dengan eksplorasi yang kurang intens menjadi kurang bersenyawa. Akan lebih menantang jika Yusef beranjak dari sana. Misalnya mendekati dan memperlakukan lakon yang telah menjadi klasik itu secara tuntas dalam kecenderungannya yang khas untuk menghasilkan suatu efek semantik yang baru sama sekali.***
* Silvester Petara Hurit, Mahasiswa STSI Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008
No comments:
Post a Comment