[JAKARTA] Kebijakan membeli hak cipta buku untuk membuat harga buku murah dan memperluas akses informasi bagi siswa sebaiknya dikaji ulang. Sebab, penggandaan dan penyebarluasan buku oleh masyarakat justru mematikan industri penerbitan, khususnya penerbitan buku pelajaran.
"Buku yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, dan akan dijadikan e-book harus dikaji ulang. Pada prinsipnya Ikapi mendukung upaya menghapuskan anggapan monopoli perbukuan. Namun, kami keberatan jika e-book itu boleh diunduh dan digandakan oleh siapa saja," kata Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid, kepada SP, di Jakarta, Minggu (20/4).
Dharma mengemukakan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) mengeluarkan kebijakan Permendiknas No 2/ 2008 tentang Pembelian Hak Cipta Buku. Buku yang akan dibeli hak ciptanya akan dinilai kelayakannya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kalau itu yang terjadi, katanya, industri perbukuan lambat laun akan mati. Padahal, lanjutnya, penerbit swasta sangat membantu dunia pendidikan nasional. Dharma mengakui, sebelum buku-buku pelajaran dicetak dan didistribusikan ke pasaran, BSNP telah menilai kelayakannya.
"Konsep e-book ini sebenarnya sudah digagas sejak tahun 1987. Masyarakat tinggal memilihnya. Mau mengunduhnya atau membeli hard book-nya. Ini bukanlah menjadi pesaing industri penerbitan. Namun, ketika semua orang diizinkan memperjualbelikan dan menggandakan dengan harga yang ditetapkan pemerintah, justru dianggap tidak sesuai dengan mekanisme pasar," ujarnya.
Menurutnya, harga buku itu sesuai dengan pasar dan itu juga sangat bergantung pada harga kertas. Selain itu, kalau materi pelajaran bisa diubah oleh siapa saja yang menggandakan, siapa yang akan melakukan kontrol isi pelajaran. Dharma mengusulkan, pemerintah tetap membeli hak cipta buku, kemudian pemerintah mencetak sebanyak jumlah siswa yang ada dan diberikan gratis kepada siswa.
Belum Jamin Kualitas
Sekretaris Umum Ikapi Wanti Syaifullah menambahkan, kebijakan mengunduh dan menggandakan buku melalui internet belum menjamin kualitas cetakan buku yang baik. Sampai saat ini, kualitas cetakan penerbit dinilai masih sangat bagus. Dia mempertanyakan hitung-hitungan harga buku dari pemerintah sekitar Rp 7.500. Namun, kalau buku sebanyak 100 halaman harganya belum tentu dapat Rp 7.500 untuk satu buku.
Kalau penggandaannya dengan print warna, maka harganya bisa lebih mahal lagi. Dia mengatakan, bagi sekolah yang punya internet bisa mengakses buku pelajaran di internet dengan mudah. Tapi sekolah yang tidak punya internet akan susah mengakses e-book.
Wanti menuturkan, sampai saat ini Ikapi belum diajak bicara oleh pemerintah bagaimana mengendalikan buku murah. "Kami sudah mengirim surat sampai tiga kali ke Mendiknas untuk berdiskusi mengenai kebijakan ini, namun belum ada tanggapan," katanya. [W-12]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 21 April 2008
No comments:
Post a Comment