KEBERADAAN Kerajaan Malayu Tua tidak bisa dilepaskan dari Sungai Batanghari. Pembesar kerajaan menilai tepi Sungai Batanghari ini layak sebagai pusat kerajaan yang mengandalkan perdagangan sebagai penghidupan.
Sungai Batanghari berlekuk- lekuk sehingga panjang sungai ini diperkirakan hampir 500 kilometer. Kini, Sungai Batanghari terbentang mulai dari hulu di Provinsi Sumatera Barat hingga Provinsi Jambi di hilir.
Di hilir sungai, di pantai timur Sumatera, Kerajaan Malayu pertama berdiri, tepatnya di daerah Jambi. Di situlah, kerajaan ini berjaya selama berabad-abad.
Tahun 1286, ibu kota Kerajaan Malayu pindah ke Dharmasraya, daerah yang terletak sekitar 30 kilometer ke arah hulu. Alasan keamanan mendominasi pemindahan kerajaan. Malayu yang memegang kendali atas perdagangan sejumlah komoditas, seperti lada, cengkeh, kapulaga, dan aneka rempah-rempah ini, hendak mengamankan diri dari serangan pasukan asing, terutama pasukan di bawah komando Kubilai Khan dari Mongol, yang ingin menghancurkan kerajaan ini.
Kendati pusat kerajaan telah dipindah, tetapi bukan berarti Jambi ditinggalkan begitu saja. Sejumlah kajian sejarah menyebutkan bahwa Jambi tetap menjadi gerbang sekaligus salah satu pelabuhan pengangkutan komoditas pertanian, hasil hutan, atau emas. Jambi kemudian berkembang menjadi kota perdagangan.
Tentang komoditas pertanian yang diperdagangkan, lada merupakan salah satu kekayaan yang diperdagangkan oleh Malayu. Pada zaman Adityawarman, lada dari Kerinci terkenal sebagai lada asli Indonesia yang mempunyai rasa khas dibandingkan lada yang dihasilkan tempat lain.
”Sebuah kapal yang berlayar dari Malayu ke Tiongkok membawa upeti yang di samping lada juga termasuk rempah-rempah lain,” kata Uli Kozok, dalam buku Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua.
Selain komoditas berupa rempah-rempah, Sumatera, secara umum termasuk daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Malayu, juga menyimpan kekayaan berupa hasil hutan dan hasil tambang, terutama emas. Kekayaan tambang emas inilah yang membuat bumi Sumatera secara umum disebut Swarnnabhumi. Kata swarnna berarti emas dan bhumi berarti tanah. Gabungan kedua kata dari bahasa Sansekerta itu bisa diartikan tanah emas.
Toh, dengan pemindahan kerajaan ke Dharmasraya—yang notabene lebih ke arah pedalaman sungai—kegiatan perdagangan masih tetap berlangsung. Sungai Batanghari mendukung kegiatan perdagangan dengan menyediakan jalur yang bisa dilewati kapal-kapal besar yang memboyong hasil bumi dari Malayu ke berbagai negara lain.
Sungai utama
Sungai Batanghari merupakan sungai utama untuk membawa komoditas perdagangan ke pantai timur. Sungai lain, seperti Batang Kuantan di Indragiri, juga dilihat sebagai salah satu sungai yang juga menjadi jalur transportasi komoditas kendati tidak seramai Batanghari.
Kapal laut merupakan sarana perhubungan antardaerah yang memungkinkan mengangkut banyak komoditas ketika itu. Transportasi udara belum dikenal ketika kerajaan masih berjaya, sedangkan jalan darat masih sangat terbatas.
”Sungai Batanghari pada masa itu diperkirakan jauh lebih lebar dibandingkan saat ini. Begitu pula kedalaman sungai yang kini sudah jauh berkurang,” tutur Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang Nurmatias.
Filolog Uli Kozok juga mencatat kemasyhuran Sungai Batanghari, yang bisa dilayari kapal berbobot 20 ton sampai 300 kilometer pada musim kemarau. Kapal serupa itu juga bisa berlayar pada anak-anak Sungai Batanghari, seperti Tembesi, Merangin, Bungo, dan Tebo. Bila hujan tiba, pelayaran tentu bisa lebih jauh lagi.
Sungai Batanghari yang berhulu ke timur diakui sebagai zona perdagangan yang strategis. Permukiman penduduk terlihat di jalur-jalur pertemuan dua sungai. Sementara daerah muara relatif sepi karena kondisi angin yang besar dan bisa menghancurkan kapal.
Aktivitas masyarakat di tepi sungai hidup karena jalur perdagangan yang ramai. Sementara kondisi tanah relatif kurang subur. Hasil alam yang diperdagangkan pada masa itu berasal dari daerah pedalaman yang mempunyai tingkat kesuburan tanah yang relatif tinggi.
Pada masa pemerintahan Adityawarman, sebuah prasasti di Suruaso menunjukkan perhatian raja ini pada pertanian. Sebuah selokan yang dibangun pada masa Akarendrawarman akhirnya diselesaikan Adityawarman dan kemudian selokan itu dipakai untuk mengalirkan air ke persawahan atau yang oleh sejarawan JG de Casparis disebut ”taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi”.
Suruaso merupakan daerah dataran tinggi yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Dharmasraya. Saat ini daerah tersebut menjadi kota kecil di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Letak geografis Dharmasraya secara umum juga strategis. Pada jalur darat, daerah ini berada di antara jalan menuju Padang dan Jambi.
Kejayaan Sungai Batanghari pada abad ke-13 itu jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Di sekitar Batanghari yang melintas di Dharmasraya, hanya perahu kayu bermesin serta ponton yang memanfaatkan sungai sebagai sebuah perlintasan.
Selain itu, masyarakat juga mulai kesulitan memanfaatkan air sungai untuk mendapatkan air bersih. ”Sepuluh tahun lalu, air dari Sungai Batanghari bisa dikonsumsi. Tetapi, saat ini air tidak bisa diminum lagi karena tercemar penambangan emas di hulu,” tutur Hj Tuan Acik Asiah (68), warga Nagari Siguntur.
Penambangan emas saat ini merupakan warisan masa keemasan zaman raja-raja dulu. Tetapi, sungai yang menjadi sebuah jalur penting perdagangan rupanya sudah tidak terlalu dihiraukan lagi saat ini. (ART)
Sumber: Kompas, Senin, 7 April 2008
No comments:
Post a Comment