Saturday, April 12, 2008

Menduniakan Bahasa Melayu melalui Iptek

SEMANGAT meningkatkan atau pun memartabatkan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan internasional, sejak lama telah muncul. Hanya saja, semangat itu, baru sebatas harapan, belum menjadi kenyataan.

Padahal, populasi penutur bahasa Melayu, cukup besar dan tersebar di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Adakah yang salah dari pengembangan bahasa Melayu tersebut hingga tak kunjung menjadi bahasa dunia seperti halnya bahasa Inggris?

Berangkat dari harapan bahasa Melayu bisa mendunia, tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Brunei menggelar seminar bahasa dan sastra di Jakarta, selama dua hari (7-8 April). Seminar Majelis Bahasa Malaysia, Brunei dan Indonesia (Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) itu pun bertujuan memartabatkan bahasa dan sastra guna memantapkan budaya bangsa serumpun.

Para ahli bahasa dari majelis tiga negara plus satu negara pengamat aktif, yakni Singapura, khawatir kalau bahasa Melayu tak seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sebab, dampaknya selain pengembangan bahasa tak berkembang, terhambatnya perkembangan bahasa maupun sastra juga dikhawatirkan berdampak buruk terhadap ketahanan nasional.

Pakar bahasa Melayu asal Indonesia Jan Hoesada dalam seminar itu mengatakan, dengan terjadinya perang ekonomi saat ini mengharuskan negara-negara yang menggunakan bahasa Indonesia-Melayu mulai menggunakan bahasa ibu tersebut dalam hubungan-hubungan dagang dengan negara lain yang lebih maju. Mengingat hubungan dagang tersebut menjadi gerbang masuk untuk mentransfer iptek baru, yang mengharuskan pakar bahasa dari negara-negara serumpun harus mengadopsi dan menyesuaikan kosa kata, lafal, dan estetika istilah yang terkandung dalam teknologi itu menjadi bagian integral dalam kaidah bahasa dan budaya.

Agar konversi iptek dapat berlangsung baik di suatu negara, menurut Jan Hoesada, setiap persepsi hakikat substansi, pencerahan baru, pendalaman, dan penghayatan atas pengetahuan baru harus diungkapkan oleh suatu istilah yang baru pula di bidang ilmu pengetahuan. Inovasi suatu pengetahuan baru berkonsekuensi lahirnya suatu makna baru, paradigma baru, dan pemahaman baru yang diwakili oleh sebuah atau sekumpulan istilah yang baru agar dapat dikomunikasikan secara eksplisit.

Bentuk keluaran dari penerapan konversi teknologi baru, katanya, dapat langsung diserap dan dikodifikasikan dalam kamus-kamus ilmiah dan bahan pustaka yang dapat membantu tenaga pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak didiknya. Kamus ilmiah dan bahan pustaka dapat digunakan oleh peneliti dalam menyusun karya ilmiahnya. Setelah dipublikasi, ujarnya, karya ilmiah tersebut dapat mengedukasi masyarakat dengan memberikan pengetahuan tambahan mengenai kegunaan istilah dari suatu penerapan teknologi yang baru itu.

Karena itu, pendidikan bahasa untuk tenaga pengajar harus mengalami penyesuaian dengan istilah atau kosa kata baru sebagai hasil transfer teknologi tersebut. Hal itu dapat menghindari salah persepsi atau ketidakmengertian dari murid-murid atas materi pelajaran yang disampaikan oleh guru-guru di sekolahnya.

Pakar bahasa Melayu dari Malaysia Abdullah Hasan juga menyatakan, agar dapat bersaing secara global negara-negara penutur bahasa Melayu perlu meningkatkan kreativitas bahasanya. Sebab, ada kaitan antara bahasa dan daya kreativitas pemikiran sumber daya manusia (SDM) dalam penerapan teknologi di bidang industri yang serta merta memajukan sektor perekonomian di wilayah negara tersebut.

Kosa Kata Iptek


Apabila ingin memajukan pemikiran dan daya kreativitas tersebut, Abdullah Hasan mengimbau, pemerintah negara-negara rumpun Melayu tersebut lebih baik mengembangkan pembentukkan lembaga kepustakaan yang menampung bahan bacaan, seperti buku-buku dan kamus-kamus istilah atau kosa kata iptek yang baru atau masih asing bagi masyarakatnya. Nantinya bahan bacaan tersebut, dapat dipelajari dan digunakan, tidak hanya murid dan mahasiswa perguruan tinggi, tetapi juga masyarakat untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan daya kreativitas mereka.

Disebutkan, transfer teknologi dari pihak asing ke negara-negara Melayu tidak akan terhadang faktor bahasa, karena dalam prosesnya telah menggunakan bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat di negara yang bersangkutan. "Kreativitas tinggi hanya akan terbentuk dengan bahasa ibu, bukan dengan bahasa asing yang menghasilkan kreativitas palsu," ucapnya.

Berdasarkan hal tersebut, bangsa Melayu dapat bersaing dengan negara-negara pengekspor teknologi, seperti Jepang dan Amerika Serikat, yang terlebih dahulu menerapkan ide untuk mencerdaskan bangsanya melalui penyerapan istilah teknologi ke dalam tatanan bahasa nasional masing-masing. Ia juga mengingatkan, agar bangsa Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, mau bersatu dan bekerja sama untuk memajukan sektor ekonomi dan iptek di wilayah Asia Tenggara ini, karena hal itu penting bagi masyarakat yang hidup di wilayah tersebut dalam menghadapi abad kreasi ini.

Azhar Ibrahim Alwee, ahli bahasa dari Singapura juga mengatakan, perancangan atau kebijakan pendidikan di Singapura mengharuskan murid-murid keturunan Melayu untuk belajar dalam bahasa ibu mereka tersebut. Hal ini untuk menjaga pikiran mereka agar maju sesuai dengan perkembangan di era globalisasi ini, namun tetap memiliki pengaruh budaya Melayu yang dapat menyisihkan pengaruh imperialisme dari budaya baru yang terserap tersebut.

Sementara itu, pakar bahasa Brunei Darussalam Azmi bin Abdullah menyatakan, kebijakan pendidikan di negaranya mengutamakan penggunaan bahasa Melayu dalam proses belajar mengajar. Menurutnya dengan penggunaan bahasa Melayu dalam proses belajar mengajar tersebut, selain melestarikan eksistensinya, juga membantu murid-murid dalam memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolahnya. [RRS/M-15]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 12 April 2008

No comments: