Saturday, April 05, 2008

Puisi: Ular Kundalini dalam Diri

-- Wayan Sunarta*

PUISI dan kehidupan adalah sebuah teks. Keduanya berkelindan dalam kepala setiap pembaca yang melahirkan beragam tafsir, sesuai dengan ketelitian dan kekuatan pembacaan. Tidak ada tafsir tunggal. Setiap pembaca sah menafsirkan teks, puisi, atau kehidupan. Dengan penafsiran itu ia menjalani apa yang diyakininya.

Dari setiap penafsiran itu pula puisi menemui jalan hidupnya sendiri ketika ia diserahkan dengan ikhlas ke khalayak dan sang penyair sendiri mati, dengan indah atau penuh kecemasan. Sebuah puisi bisa bernasib malang di tangan redaktur sastra karena dianggap tidak layak muat atau menjadi mujur ketika dimuat atau dibukukan dan diapresiasi pembaca dengan penghargaan tinggi. Puisi bisa pula bernasib tragis ketika ia diberangus karena dianggap menghina agama atau kekuasaan. Nasib puisi sama halnya dengan nasib manusia. Jalan hidup puisi adalah ketidakterdugaan.

Puisi harus dibaca sebagai sebuah teks yang di dalamnya mengandung berbagai unsur kehidupan yang berkelindan, yang memeram makna tak terduga, yang bagai lapisan kulit bawang. Bahkan, kata atau metafora yang membangun puisi adalah juga teks-teks yang saling berjalin. Puisi tidak mengharapkan hal-hal yang berlebihan dari pembacanya. Karena segala hal yang berlebihan akan dikembalikan kepada Sang Pencipta. Yang dirindui puisi hanyalah rasa cinta dan kasih yang tulus, yang jauh dari kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, arogansi atau bentuk-bentuk penghakiman lainnya. Sebab, pada intinya puisi mencintai dirinya sendiri, sekaligus pembacanya.

Puisi memberikan ruang untuk keberagaman, untuk perbedaan yang diharapkan akan membangun penghargaan terhadap kemanusiaan kita. Itulah pula sebabnya mengapa kitab-kitab suci disusun dalam bentuk syair (puisi), bukan prosa? Mengapa pula mantra dibuat dalam bentuk puisi? Karena puisi menghargai perbedaan pembacaan terhadap dirinya. Dengan kata lain, tidak ada tafsir absolut terhadap puisi. Puisi memiliki jiwa yang berbeda dengan prosa. Puisi adalah kejujuran hati, sedangkan prosa adalah permainan dari kejujuran itu. Puisi adalah matahari, sedangkan prosa adalah permainan cahayanya, bulan.

Pembaca

Ketika penyair menyusun kata-kata menjadi puisi, pada prinsipnya ia sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan khalayak pembaca. Membaca puisi sebagai teks adalah memasuki rimba raya lambang. Puisi adalah rimba, dan pembaca adalah pemburu atau mungkin petualang yang tersesat.

Pembaca sebagai pemburu tentu sudah menyiapkan senjata, bekal, dan segala perkakas untuk berburu. Di dalam rimba puisi, ia berburu makna, atau berburu keindahan yang dirinduinya. Ia bisa pulang bahagia dengan membawa hasil buruan, atau kecewa tidak menemukan apa-apa di dalam rimba puisi. Ada sedikit pemburu yang mau memasuki rimba puisi karena merasa tidak akan menemukan hewan-hewan berharga di sana, atau karena berburu di dalam rimba puisi lebih sulit ketimbang di dalam rimba prosa. Pemburu dalam hal ini adalah kritikus atau orang yang menobatkan dirinya sebagai kritikus sastra.

Pembaca sebagai petualang yang tersesat adalah ketidakterdugaan yang indah. Hanya karena karunia keindahan yang menyebabkan ia tersesat ke dalam rimba puisi. Dengan ragu dan cemas ia menyusuri belantara, berharap menemukan jalan kembali. Ia tidak akrab dengan rimba puisi. Namun, di dalam keraguan dan kecemasan ia perlahan mencoba mengikhlaskan dirinya. Ia berusaha mencintai setiap pepohonan, belukar, duri, bunga-bunga, buah segala buah, dan berupaya menghindari sergapan binatang buas. Ia akhirnya menemukan tempat yang aman dan nyaman.

Perlahan rimba puisi membuka segala keindahannya untuk si petualang yang tersesat itu. Ada kolam bening di mana ia bisa mengacakan wajah, meraba atau membaca bayangan dan kenangan. Ada bunga yang perlahan merekah di hadapan mata sehingga ia bisa menyentuhkan jari-jarinya ke sari bunga yang indah itu. Ada duri yang ia biarkan menyusup di telapak kaki sehingga kepedihan tiada terasa nyeri lagi. Si petualang yang tersesat merasa menemukan nirwana di situ. Ia tidak ingin pulang lagi, ia menyatu dalam rimba puisi.

Utang puisi dan kehidupan


Puisi memberi kita banyak hal untuk belajar tentang kehidupan, keindahan sekaligus kepedihannya. Puisi berutang pada kehidupan, dan kehidupan berutang pula pada puisi. Namun, sesungguhnya mereka saling melengkapi satu sama lain. Mereka saling mencintai. Tidak ada kekuasaan apa pun di muka bumi yang mampu memisahkan keduanya, tidak raja tidak pula kaisar. Pemberangusan, pencekalan, penindasan, atau pembredelan tidak akan melemahkan puisi dan kehidupan. Justru mereka semakin kuat untuk bersenyawa.

Kekuatan dan kemenangan puisi adalah justru karena ia menjadi bara yang bersemayam dalam jiwa setiap manusia. Puisi mampu menghangatkan hati, atau menghanguskan hati. Puisi seperti kundalini, ular mistik yang terlelap dalam cakra dasar manusia. Manusia yang dungu tidak akan mampu membangunkan ular itu dari tidur purbanya, manusia yang peka adalah pawang bagi si ular kundalini.

Puisi adalah ular kundalini yang semayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab, kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya

* Wayan Sunarta, Penyair dan Pegiat Yayasan Metropoli Indonesia; Menetap di Bali

Sumber: Kompas, Sabtu, 5 April 2008

No comments: