[JAKARTA] Ketahanan budaya nasional, dapat tercapai apabila bahasa dan sastra daerah tetap dipertahankan keberadaannya. Bahkan, bahasa dan sastra daerah, dapat mencegah timbulnya kehampaan budaya. Demikian yang mengemuka dalam Seminar Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia (Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), di Jakarta, Selasa (8/4).
Majelis Bahasa Melayu Singapura, Prof Dr Kamsiah Abdullah (kiri), bersama Prof Emeritus Abdullah Hasan (kanan) dari Universitas Pendidikan Sultan Idris, Brunei dipandu Prof Dr Amrin Saragih dari Indonesia (tengah) berbicara dalam acara seminar Majelis Bahasa dan Sastra Malaysia-Brunei-Indonesia (Mabim), Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), di Jakarta, Selasa (8/4). Seminar ini dirangkaikan dengan HUT ke-35 Mabbim. (SP/Ruht Semiono)
Pakar bahasa Melayu dari Indonesia Abdul Rozak Zaidan mengatakan, unsur budaya daerah tersebut merupakan cerminan jati diri bangsa, sehingga tidak boleh dilupakan fungsinya yang memperkaya kebudayaan nasional dan dapat mengeliminasi gaya hidup hedonis di era globalisasi. Menurutnya, ketahanan nasional membutuhkan jalinan pertemuan budaya dari berbagai kelompok etnik yang didukung semangat kebersamaan dalam satu nusa dan bangsa untuk menjunjung bahasa sebagai unsur budaya.
Perkembangan teknologi yang mempengaruhi gaya hidup manusia di era serba canggih ini dapat mengganggu ketahanan budaya nasional. Karena itu kata Zaidan, ketahanan budaya memerlukan strategi yang tepat untuk menghadapi gempuran gaya hidup modern dan sastra Indonesia. Satu di antaranya melalui ketahanan budaya daerah.
Kehilangan Jati Diri
Senada dengan itu, Ahli bahasa Melayu dari Malaysia Zalila Sharif mengatakan, bahasa dan sastra daerah, dapat mencegah timbulnya kehampaan budaya. Suatu negara yang tidak memperhatikan dan melindungi akar kebudayaannya, negara itu akan mengalami kehampaan budaya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa.
Sementara itu, pakar bahasa Melayu dari Singapura, Azhar Ibrahim Alwee menyatakan, tidak seperti di negaranya dan Malaysia yang sudah terlalu modern, perkembangan kehidupan Indonesia lebih lambat dibandingkan kedua saudara serumpunnya itu. Namun, perkembangan tersebut membawa hikmah tersendiri bagi perkembangan sastra Indonesia.
''Kekuatan budaya Indonesia, katanya, terletak pada sosiologi dan psikologi sastra yang mampu mengaitkan tradisi sastra dengan perkembangan masyarakat,'' ujarnya. [RRS/M-15]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 9 April 2008
No comments:
Post a Comment