Monday, April 07, 2008

Peninggalan Kerajaan: Menyusur Jejak Kemegahan Kerajaan Malayu

-- Agnes Rita Sulistyawaty

NAMA Dharmasraya boleh jadi tidak sepopuler Kota Padang, pun tidak setenar Bukittinggi dengan Jam Gadangnya. Namun, di kabupaten yang terletak di Sumatera Barat itulah tersimpan situs sejarah ibu kota Kerajaan Malayu abad ke-13.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Malayu yang bersemayam ratusan tahun di Kabupaten Dharmasraya itu baru bisa dinikmati setelah memahami kisah dari ahli sejarah atau pewaris kerajaan. Bangunan candi di Dharmasraya, yang hampir seluruhnya tidak utuh, merupakan salah satu simbol kejayaan Kerajaan Malayu sekitar abad ke-13.

Kejayaan Kerajaan Malayu mulai menyeruak di Swarnnabhumi, sebutan lain untuk Sumatera, setelah kekuatan Kerajaan Sriwijaya di Palembang terdesak akibat serangan Kerajaan Koromandel di India, yang ketika itu diperintah Rajendra Chola sekitar abad ke-11. Waktu itu, pusat Kerajaan Malayu masih di Jambi.

Dalam buku kajian sejarah berjudul Menguak Tabir Dharmasraya yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar disebutkan bahwa Kerajaan Malayu juga sering mengirimkan utusan ke China. Pengiriman utusan, yang ketika itu belum mengenal istilah studi banding, diperkirakan berkaitan dengan kebutuhan untuk melanggengkan kerja sama perdagangan dari dua kerajaan pada masa itu.

Kerajaan Malayu juga sempat ditulis dalam catatan biksu Tiongkok, I-tsing. Namun, kata Malayu dituliskan sebagai mo-lo-yeu. Kerajaan Malayu di Dharmasraya juga diakui sampai ke Bhumi Jawa, sebutan untuk Pulau Jawa ketika itu. Salah satunya, kata Dharmasraya pernah disebut-sebut dalam naskah Nagarakrtagama yang dibuat oleh Empu Prapanca pada masa pemerintahan Hayam Wuruk sekitar tahun 1365.

Dalam Pupuh XIII naskah Nagarakrtagama, Dharmasraya disebut sebagai salah satu negara bawahan Majapahit bersama dengan Jambi, Palembang, Karitang, Teba, dan sejumlah daerah lain.

Filolog asal Jerman, Uli Kozok, mengutip pendapat sejarawan JG de Casparis yang mempunyai interpretasi lain atas naskah Negarakrtagama yang seakan menyatukan 24 negara di Nusantara di bawah panji Majapahit. ”Mungkin saja Majapahit menganggap Malayu sebagai wilayah taklukan, tetapi raja Malayu jelas menganggap dirinya sebagai raja yang memiliki kedaulatan yang sempurna yang tidak takluk kepada siapa pun,” kata Casparis, seperti dikutip Kozok.

Terlepas dari perdebatan arti penting Dharmasraya, kejayaan Kerajaan Malayu Dharmasraya menyisakan sejumlah peninggalan bersejarah. Ketenaran Kerajaan Malayu sewaktu bertakhta di Dharmasraya masih bisa dilihat dengan adanya sejumlah candi di tepi aliran Sungai Batanghari. Candi itu antara lain Candi Padangroco, Pulau Sawah, serta Candi Rambahan.

Bentuk dan bahan pembuat candi di Dharmasraya ini mempunyai kemiripan dengan Candi Muara Jambi di Provinsi Jambi serta Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Diduga, sekitar daerah itu juga masih tunduk di bawah Kerajaan Malayu.

Batu bata

Candi di tepi Batanghari ini tidak semewah Candi Prambanan yang berhiaskan ukiran di sepanjang sisi dindingnya. Pun, tidak terdapat patung Buddha seperti di Borobudur. Candi yang dibuat pada masyarakat Hindu-Buddha tantris ini tersusun dari batu bata.

Tidak ada semen untuk merekatkan bata. Teknologi zaman dulu memanfaatkan air dan gesekan dua bata untuk mengencangkan cengkeraman batu-batu dari tanah ini.

Ukuran batu bata candi umumnya lebih besar dibandingkan batu bata bangunan masa kini. Di Candi Padangroco, misalnya, batu bata yang menyusun candi buatan sekitar abad ke-13 itu bisa berukuran sekitar 20 x 30 sentimeter. Ketebalan bervariasi, bergantung pada kebutuhan.

Candi induk Padangroco dibuat dengan batu bata yang relatif tipis, sekitar 4 sentimeter. Mungkin, alasan bentuk candi yang semakin beragam menuntut adanya bahan bangunan yang relatif fleksibel untuk mengikuti kebutuhan arsitektur. Ketebalan bata pada candi induk berbeda dengan candi perwara yang digunakan sebagai altar persembahan. Padahal, candi- candi ini masih terletak satu kompleks. Di sinilah terlihat pertimbangan arsitektur yang begitu detail pada masa itu.

Sebuah arca bernama Rocok ditemukan di sekitar candi ini. Arca setinggi sekitar 4,5 meter dengan berat lebih dari 4 ton itu diperkirakan berusia enam abad. Kini, arca, yang sebelum ditemukan oleh para ahli digunakan untuk batu asahan oleh penduduk sekitar, berdiri tegak di Museum Nasional, Jakarta.

Pulau Sawah

Kembali lagi ke candi. Batuan penyusun Candi Pulau Sawah, situs yang tidak jauh dari Padangroco, juga berasal dari batu bata. Nama Pulau Sawah diberikan oleh masyarakat sekitar yang banyak menanam padi di tanah yang dikelilingi Sungai Batanghari serta sungai kecil yang telah mati. Bukit Barisan menjadi pembatas di sebelah utara Pulau Sawah. Di dataran serupa pulau ini setidaknya ada delapan candi. Belum lagi ditemukan sejumlah pecahan batu bata di hampir seluruh ”pulau” itu.

Candi Pulau Sawah I ditemukan pertama kali di kompleks Pulau Sawah. Candi yang pertama kali digali awal tahun 1990-an dan selesai dipugar tahun 2004 itu mempunyai sebuah cakungan serupa kolam sedalam sekitar 3 meter dan berbentuk balok di tengah. ”Inilah pentirtaan, tempat mandi bagi keturunan raja,” tutur Hendra Bahar, Staf Pemanfaatan BP3 Batusangkar.

Sementara Candi Pulau Sawah II masih dalam tahap penggalian. Batuan yang sudah terlihat belum memberikan tanda yang jelas tentang bentuk candi. Kemungkinan, Candi Pulau Sawah II akan menjulang tinggi.

Bila saja bangunan candi di Pulau Sawah ini bisa utuh, kemungkinan besar candi terlihat dari Sungai Batanghari. Para ahli memperkirakan, bangunan semegah itu digunakan sebagai istana atau tempat pemujaan.

Dari kedua bangunan candi, sebagian batu bata yang dibuat pada zaman Raja Adityawarman itu, rupanya masih baik hingga kini. Ada cerita menarik ketika masyarakat Siguntur pertama kali menemukan kembali batu bata dari dalam tanah. Mereka, pada awal tahun 1990-an, tidak menyangka batu bata itu adalah bagian dari candi.

”Masyarakat sudah telanjur mengangkat batu bata ke rumah mereka. Sebagian batu itu dipakai untuk membangun masjid dan rumah,” papar Ibrahim, warga Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Dharmasraya.

Baru setelah BP3 Batusangkar masuk dan mulai mengerjakan ekskavasi, batu bata yang masih terkubur itu terselamatkan. Memang, ada sebagian batu bata yang rusak sejak ditemukan kembali. Pecahan batu bata terlihat di sekitar bangunan candi Pulau Sawah I, bahkan di seluruh pulau yang kini dipakai sebagai perkebunan karet oleh masyarakat.

Sumber: Kompas, Senin, 7 April 2008

No comments: