-- Bre Redana
”Mereka Bilang, Saya Monyet!” karya Djenar Maesa Ayu (35) adalah film yang bisa dianggap penting. Djenar telah menjadikan film menjadi bahasa yang begitu personal—sesuatu yang bisa menguak kemungkinan amat jauh, baik pada kemungkinan film itu sendiri maupun perkembangan kreatif Djenar, yang menyebut diri sebagai ”pekerja seni”.
Djenar Maesa Ayu (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Bahkan kalau ditarik sejak dari era perfilman zaman Sjuman Djaya, ayah Djenar, yang juga salah satu sutradara penting dalam dunia film Indonesia pada zamannya, rasanya Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008) tetaplah menyimpan kekuatan khusus—ya dalam ungkapannya yang sangat pribadi tadi.
Film tersebut tidak ditonton jutaan orang serta para priagung pemerintahan, tetapi percayalah, kualitas karya seni tidak selalu sejajar dengan ledakan jumlah penonton. Saat ini, film itu menjadi unggulan Kompetisi Silver Screen Award untuk kategori Best Asian Feature Film ”Singapore International Film Festival”. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat film ini juga akan masuk kategori kompetisi dalam sebuah festival film internasional di Eropa. Bulan April ini, film itu akan diedarkan dalam bentuk VCD/DVD oleh Jive Collection.
Diangkat dari cerpen Djenar berjudul Lintah dan Melukis Jendela, film yang skenarionya digarap Djenar bersama Indra Herlambang ini memiliki struktur cerita yang berlapis-lapis. Lapisan-lapisan cerita berpilin-pilin dalam tokoh utama di film itu, perempuan pengarang bernama Adjeng (diperankan iparnya, Titi Sjuman), pada refleksi kenangan si pengarang atas masa kecilnya, maupun intervensi fiksi di dalamnya.
Struktur yang kompleks itu diungkapkan Djenar dengan lancar dan diakhiri dengan cara sangat mengejutkan, di mana semua tokoh dalam filmnya digambarkan cuma tokoh fiksi, yang adalah tetangga-tetangganya dalam lingkungan sederhana di Jakarta. Dengan itu, Djenar dengan sangat fasih telah mencampuradukkan antara fiksi dan realitas—sesuatu yang banyak menjadi obsesi kalangan postmodernis atas tidak adanya sesuatu yang absolut.
Berikut ini percakapan dengan Djenar yang sore itu ditemani putri sulungnya, Banyu Bening (16).
Bisa cerita, mengapa membikin film itu?
Sebenarnya saya tak pernah punya keinginan mau ngapain. Semua mengalir begitu saja. Kebetulan setelah Siapa Bilang, Saya Monyet! (cerpen dalam buku kumpulan cerpen Djenar berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! tahun 2002) ada investor berniat mengangkatnya ke layar lebar. Investor itu sendiri akhirnya menarik diri. Tetapi, karena saya sudah telanjur punya script, akhirnya dilanjutkan mencari investor.
Anda menulis skenario bersama Indra Herlambang. Mengapa membutuhkan orang lain untuk bersama-sama menulis skenario itu?
Pada waktu itu saya memang gak pe-de. Saya belum pernah menulis novel atau naskah panjang, ditambah dengan kebiasaan kreatif saya yang kerap menulis secara impulsif atau tanpa plot, jadi butuh orang. Kami berdua sama-sama belajar. Kenapa pilihannya pada Indra, sebab kami berteman baik. Script kami selesaikan dalam jangka waktu dua tahun (2005).
Puas ketika naskah itu jadi?
Sebenarnya puas sekali, tetapi ketika kami tawarkan ke beberapa pihak mereka selalu menarik diri. Kenapa ya, padahal kami merasa yakin sekali.
Ada yang dipelajari dari situ?
Saya selalu percaya pada proses. Proses menulis cerpen, lantas menulis script, mengantar saya ke proses lain dalam dunia tulis-menulis, yaitu menulis novel. Proses maupun ”praktik” menulis panjang telah membuat saya terlatih ”bernapas panjang”. Dalam rentang waktu dua tahun menulis script, saya melahirkan buku kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan kelaminmu) dan novel pertama Nayla.
Bagaimana akhirnya menemukan investor sehingga film itu bisa direalisasikan?
Saya menawarkan ke beberapa investor, produser, maupun rumah produksi. Selama dua tahun (2005-2007) semuanya menolak naskah tersebut. Sebagian mengatakan tidak komersial, sebagian mengatakan terlalu gelap, sebagian mengatakan tidak jelas apa yang mau disampaikan. Dalam proses mencari investor itu, saya menerbitkan buku kumpulan cerpen Cerita Pendek Tentang Cerita Pendek (2006).
Sampai akhirnya secara kebetulan bertemu dengan Intimasi Production, anak-anak muda lulusan Perth, saat pemutaran perdana film indie mereka berjudul Abu-Abu, yang dibuat dengan dana relatif rendah. Saya yang sempat skeptis mendapat semangat baru. Kami lantas sering bertemu, diskusi, dan mereka meyakinkan saya kalau kami pasti bisa membuat film dengan budget rendah.
Juga puas terhadap film itu?
Saya amat puas dengan proses belajar yang saya dapatkan selama produksi. Saya menjuluki diri saya sendiri sutradara magang, karena memang demikianlah keadaannya. Saya tidak dibayar dan saya memang benar-benar masih belajar. Proses pembelajaran inilah harta paling tak ternilai.
Apa keasyikannya membikin film, dibanding katakanlah menulis?
Aduh, enak banget. Saya menemukan diri saya yang lain, ternyata saya sabar sekali. Saya pikir dulu saya temperamental, ternyata tidak. Antara menulis dengan membuat film, pasti beda. Menulis memungkinkan kreatornya untuk egois karena tidak ada beban apa pun kecuali pada diri sendiri dan karyanya. Istilah gampangnya, kalau ada yang mau menerbitkan atau memuat, syukur. Kalau tidak ya bodo amat.
Film tanggung jawabnya lebih besar, apalagi selaku produser. Tanggung jawabnya mulai dari mengembalikan modal investor sampai menjaga budget agar tidak membengkak. Tantangan-tantangan ini kadang menimbulkan ketegangan tinggi di lapangan juga di otak kala proses kreatif terjadi. Menyebalkan memang, kadang frustrasi, tetapi setelah produksi selesai, ternyata saya kangen sekali dengan suasana shooting. Kangen dengan pemain dan kru yang lucu-lucu dan baik-baik. Di produksi ini saya ternyata paling tua. Saya 35, yang lain 20-an, bersama brondong-brondong... ha-ha...
Anda lahir dari keluarga film. Adakah sumbangan yang Anda rasakan dari kenyataan itu?
Dari kecil saya sudah biasa ke lokasi shooting. Saya sangat akrab dengan dunia itu. Ibu (maksudnya aktris Tutie Kirana) suka ajak, Bung Sjuman (dia menyebut ayahnya almarhum dengan sebutan ”Bung”) juga suka saya datang.
Sebagai pembuat film, apa yang paling Anda ingat dari Bung Sjuman?
Segala hal pada akhirnya mengingatkan pada beliau (ketika menceritakan hal ini, Djenar kelihatan serius dan mukanya agak ”berkabut”). Lucunya ketika saya ke Sinematek, saya baru tahu perjalanan Bung Sjuman dengan saya sama. Sama-sama menulis cerpen, lalu cerita pendeknya diangkat ke film. Cerita pendek Bung Sjuman, Kerontjong Kemayoran, diangkat ke skenario film dengan judul Saodah (1956). Banyak yang bilang, cara saya men-direct sama dengan Bung Sjuman. (Sjuman Djaya tutup usia 19 Juli 1985).
Lalu apa yang dipelajari dari Ibu?
Lebih pada atmosfer. Dia yang membawa saya ke lokasi shooting. Atmosfer itu yang lebih saya ingat daripada apa yang dia atau mereka lakukan.
Ada yang bilang, ada kaitan antara film itu dengan kehidupan Anda yang sebenarnya. Memang ada kaitan itu?
(Djenar berpikir sejenak). Kaitannya tentu ada.... Titi Sjuman itu saudara ipar saya, Banyu Bening anak saya, Aksan Sjuman kakak saya, August Melasz ayah tiri saya (semua tokoh yang ia sebut itu ambil bagian dalam filmnya). Itulah kaitannya. Selebihnya sama sekali tidak ada.
Mereka dibayar?
Dibayar, tetapi tidak seperti film pada umumnya. Semua dibayar. Banyu dibayar....***
Sumber: Kompas, Minggu, 6 April 2008
No comments:
Post a Comment