-- Ajip Rosidi*
Mh. Rustandi Kartakusumah adalah pengarang yang fenomenal di Indonesia. Kiprahnya di dunia sastra dimulai dengan menulis sajak, drama, dan esai dalam bahasa Indonesia, kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada penulisan esai dan cerita (pendek dan roman) dalam bahasa Sunda.
Kalau karya-karya kreatifnya dalam bahasa Indonesia tidak atau sedikit sekali mendapat perhatian para kritikus, karya kreatifnya dalam bahasa Sunda disambut para pembaca dengan antusias. Dengan karya-karya kreatifnya dalam bahasa Sunda itu, Rustandi membuktikan bahwa karya sastra bermutu itu harus (bisa juga) digemari pembaca. Rustandi menganggap bahwa karya sastra Indonesia (kebanyakan) jauh dari pembaca, hanya dibaca oleh lingkungan terbatas.
Mh. Rustandi menerbitkan drama Prabu dan Puteri (1950) dan kumpulan sajak Rekaman dari Tujuh Daerah (1951), dan sejak akhir tahun 1940-an, sajak-sajak dan esainya sudah dimuat dalam majalah-majalah terkemuka waktu itu seperti Indonesia, Pudjangga Baru, Mimbar Indonésia, Siasat, dan lain-lain. Tapi tidak pernah ada kritikus yang membicarakannya, seakan-akan karya-karyanya itu tidak patut mendapat perhatian.
Kritikus Indonesia terkemuka H.B. Jassin, misalnya, tidak pernah membahas karya Mh. Rustandi Kartakusumah. Lebih dari itu, dia tidak pernah memasukkan karya Rustandi dalam antologi yang disusunnya. Dalam Gema Tanah Air (1948) tidak masuk, mungkin karena pada waktu bunga rampai itu disusun, Rustandi belum (banyak) memuatkan karyanya dalam majalah. Tetapi juga dalam edisi revisi Gema Tanah Air yang memasukkan sajak-sajak Toto S. Bachtiar, Harijadi S. Hartowardojo, Sakti Alamsjah, dan lain-lain yang karya-karyanya muncul dalam majalah bersamaan, bahkan lebih kemudian dari Rustandi, tidak ada karya Rustandi yang dimuat. Juga dalam bunga rampai yang dianggap "sambungan" dari Gema Tanah Air, yaitu Angkatan 66, karya Rustandi tidak ada yang dimuat.
Tentu saja menjadi hak penyusun antologi sepenuhnya untuk memilih mana karya yang patut dimuat atau yang tak patut dimuat dalam bunga rampai yang disusunnya. Namun, dalam kasus Jassin sebagai penyusun bunga rampai masuk atau tidak dalam antologi yang disusunnya merupakan pengakuan terhadap kehadiran seorang sastrawan dalam kehidupan sastra Indonesia. Dengan selalu dihindarkannya memasukkan karya Mh. Rustandi dalam antologi yang disusunnya, Jassin seakan hendak menyatakan bahwa karya Mh. Rustandi tidak bermutu. Karena itu, dia tidak diakui sebagai sastrawan.
Hal itu niscaya ada hubungannya dengan kritik Rustandi terhadap Jassin yang sering dilontarkannya. Menurut Rustandi, kriteria Jassin dalam menilai karya sastra tidak jelas. Banyak karya tidak bermutu yang disanjungnya, sebaliknya banyak karya bermutu yang ditolak atau disisihkannya. Apakah kritik Rustandi itu timbul karena karya-karyanya sendiri tidak ada yang dianggap patut dimasukkan ke dalam antologi yang disusun Jassin ataukah tidak, niscaya memerlukan penelitian yang lebih cermat. Terutama karena dalam karangan-karangannya, Rustandi sering memuji karangannya sendiri sehingga menimbulkan antipati, setidak-tidaknya tertawaan orang.
Namun, kenyataan bahwa ada karya Rustandi yang pernah mendapat hadiah (antaranya dari BMKN tahun 1960 untuk dramanya Kembang Merah yang Merah Semwa, 1958, walaupun ditolaknya), menunjukkan bahwa bagaimanapun karya Rustandi itu (ada yang) bermutu. Sikap Jassin yang selalu menyisihkannya dari semua antologi yang disusunnya menimbulkan kesan bahwa ada persoalan pribadi di antara mereka berdua. Kenyataan itu juga menunjukkan bagaimana pun Jassin yang dianggap sebagai "Paus Sastra Indonesia" oleh Gayus Siagian (walaupun dengan nada mengejek) dan sebagai "custodian of Indonesian literature" oleh Prof. Dr. A. Teeuw, dalam penilaiannya belum dapat bersikap secara betul-betul objektif. Tampak sekali bedanya sikap Jassin kepada Rustandi dengan sikapnya kepada L.K. Bohang dan Katili yang sama-sama berasal dari Gorontalo. Karya mereka mendapat tempat dalam antologi yang disusun oleh Jassin, walaupun mutu karya Rustandi tidak ada di bawahnya.
Dalam sastra dan budaya Indonesia, Rustandi memang lebih diperhatikan orang karena esai-esainya. Dalam esai-esainya, Rustandi sering mengemukakan hal-hal yang tidak dilihat oleh penulis yang lain. Esainya tentang Ciliwung yang dimuat bersambung dalam ruangan "Gelanggang" warta sepekan Siasat, misalnya, menunjukkan kenyataan sehari-hari yang terabaikan dari perhatian kita umumnya, yaitu kecenderungan bangsa kita yang mengikuti anjuran S. Takdir Alisjahbana supaya kita mengikuti orang Barat, tetapi ternyata tidak kesampaian. Kita hanya menjadi Pak Turut orang Belanda. Itu pun ternyata tidak kesampaian juga sehingga kita hanya ikut-ikutan kelakuan orang Indo saja.
Rustandi berkali-kali mengatakan bahwa ada dua kecenderungan bangsa kita. Pertama, yang pro Barat seperti dianjurkan oleh S. Takdir Alisjahbana. Dan yang pro- Timur atau kebudayaan sendiri seperti yang dianjurkan oleh Sanusi Pane. Dia sendiri menempatkan diri di barisan Sanusi Pane dan menjadi pengkritik –atau lebih tepat pengejek-- sikap Takdir yang keras. Oleh karena itu, dia sangat kesengsem oleh Bung Karno ketika dalam Manipol ada uraian tentang pentingnya kepribadian bangsa. Tema itu sering kita jumpai dalam cerita-cerita yang ditulis Rustandi seperti dalam "Mercedes 180" dan "Laligar Kembang di Paris" (dimuat dalam Amanat Dina Napas Panungtungan).
Di samping ketiga judul karya dalam bahasa Indonesia yang telah disebut, Rustandi banyak menulis roman remaja yang dimuat bersambung dalam majalah-majalah bahasa Indonesia. Sayang, sampai sekarang belum ada yang terbit sebagai buku, juga roman-romannya dalam bahasa Sunda yang dimuatkan bersambung dalam Manglé dan Gondéwa belum dibukukan, antara lain karena meskipun saya ingin membukukannya, namun saya tidak berhasil mendapatkan majalah yang memuatnya secara lengkap. Memang kita selalu berhadapan dengan kenyataan bahwa kita sebagai bangsa tidak menganggap penting dokumentasi.
Ketika zaman Nasakom, Rustandi masuk dan aktif di LKN, yang merupakan lembaga kebudayaan yang didirikan oleh PNI (Partai Nasional Indonesia). Dalam lembaga itu bahkan dia pernah duduk menjadi salah seorang ketua di pimpinan pusat (yang menjadi ketua umumnya adalah Sitor Situmorang). Karena LKN seperti yang sering disuarakan oleh Sitor langkah-langkahnya seiring dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berada dalam kubu PKI (Partai Komunis Indonésia), maka tidak usah heran bahwa Rustandi mengajar juga di Unsera (Universitas Seni Rakyat) yang didirikan oleh Lekra di Bandung.
Saya sendiri tidak begitu tahu tentang kegiatan Rustandi sebagai salah seorang Ketua LKN atau pengajar di Unsera karena pada waktu itu saya dengan beberapa kawan, terutama di Bandung, menolak untuk masuk ke dalam salah satu lembaga kebudayaan yang merupakan kubu-kubu yang bersembunyi di ketiak partai-partai. Bahkan, Rustandi pernah menyebut saya sebagai DI-TII/Soska yang anti-Manipol sehingga dia saya tempeleng. Pada waktu itu dituduh sebagai anti-Manipol sama dengan dituduh PKI pada masa Orde Baru. Bisa berakhir dengan penjara, bahkan kehilangan nyawa.
Akan tetapi, saya kira Rustandi bukan organisator yang piawai sehingga tidak banyak, bahkan tidak ada langkah penting yang dilakukannya. Setelah peristiwa Gestapu (Oktober 1965), Rustandi tidak kelihatan aktif dalam organisasi yang mana pun. Sebentar duduk menjadi redaktur majalah Gondéwa dan memuatkan karangan-karangannya di sana. Gondéwa adalah majalah bahasa Sunda yang diarahkan untuk bacaan remaja kota. Sayang, umurnya tidak lama. Setelah itu, Rustandi hanya menulis esai atau artikel di Pikiran Rakyat atau majalah Manglé. Fokusnya terutama mengenai kebudayaan, kesenian, atau sastra Sunda. Akan tetapi, itu pun hanya sampai tahun 1980-an. Sesudah itu sedikit demi sedikit mundur dari kegiatan seni dan sastra, walaupun ketika beberapa lama tinggal di rumah saya di Pasar Minggu bersama anak saya Titi dan suaminya, Buyung, dia hampir setiap malam naik ojek untuk menyaksikan pertunjukan di TIM. Bahkan setelah tinggal di rumah jompo Cibubur pun, dia kadang-kadang masih memerlukan menghadiri acara kesenian yang menarik hatinya di TIM atau tempat lain.
Hanya setelah fisiknya kian lemah dan ingatannya kian menurun, dia tidak lagi hadir kalau ada acara kesenian. Beberapa tahun terakhir, dia bahkan tidak lagi membaca surat kabar. Yang datang menjenguknya pun jarang sekali. Waktu terakhir kali saya menjenguknya beberapa minggu lalu, dia masih mengenali saya, tetapi tidak mengenali Sugiarta Sriwibawa dan Ahmad Rivai yang datang bersama.
Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Rustandi meninggal pada hari Jumat tanggal 10 April, menjelang usianya tepat 87 tahun. Terlepas dari adanya penilaian negatif dan prasangka yang timbul karena tingkah lakunya yang memang eksentrik, Rustandi adalah salah seorang pemikir kebudayaan Indonesia yang mendalam dan banyak sumbangannya berupa tulisan sejak 1950–1980-an, yang sayang sekali sampai sekarang masih tersembunyi dalam tumpukan majalah dan surat kabar yang memuatnya. Mudah-mudahan semuanya itu menjadi amal saleh yang akan menjadi kendaraannya tatkala bersimpuh di hadirat Allah SWT. Mudah-mudahan Allah mengampuni segala kekurangan dan kekhilafannya, menerima iman Islamnya, dan memberi tempat yang mulia di hadirat-Nya. Amin.***
* Ajip Rosidi, Sastrawan, budayawan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 19 April 2008
No comments:
Post a Comment