-- Indra Tranggono*
DUNIA naskah lakon kita mungkin adalah dunia sunyi dan marjinal. Ini, antara lain, ditandai dengan kelangkaannya. Soal ini telah lama menjadi keprihatinan kolektif publik teater. Dalam Festival Teater Jakarta 2007 Desember lalu, isu itu kembali mencuat.
Kenapa soal itu terjadi? Mari, pelan-pelan kita usut.
Pertama, belum banyak naskah lakon terbit sebagai buku seperti halnya karya sastra yang lain, novel, cerpen, dan puisi. Ini sangat terkait dengan asumsi: naskah drama kurang diminati publik. Sehingga para penerbit kurang berani ”berjudi” dengan pasar.
Kedua, naskah drama lebih banyak ditulis dalam bentuk manuskrip, fotokopian atau stensilan yang dicetak dalam jumlah terbatas. Naskah itu biasanya ditulis oleh kalangan pelaku teater untuk menjawab kebutuhan pementasan. Begitu selesai dipentaskan, lakon itu membeku di almari alias tidak beredar, sehingga tidak diapresiasi kalangan yang lebih luas. Dan biasanya, naskah lakon tersebut memiliki karakter yang ”spesifik”: memiliki idiom-idiom khas yang kadang asing bagi orang lain. Ini terkait dengan proses kelahiran naskah itu sendiri: ditulis berdasarkan karakter dan orientasi estetik tertentu sebuah grup di mana penulis lakon itu bergabung. Dengan kata lain: tidak sedikit naskah lakon yang ditulis lewat proses ”unik” itu tidak memiliki kebakuan atau konvensi yang bisa ”dipahami” kalangan umum. Bahkan kadang, naskah itu hanyalah menjadi semacam embrio saja dan baru ”menjadi” seiring dengan proses pementasan. Artinya, penjadian lakon itu berlangsung dalam proses eksplorasi teater.
Ketiga, soal dokumentasi. Kita belum banyak muncul bank naskah. Dan kalau toh ada, maka bank naskah itu belum dikelola secara serius seperti perpustakaan di kampus atau perpustakaan daerah/negara. Sementara, banyak perpustakaan di berbagai lembaga belum berminat mendokumentasi naskah lakon. Persoalan ini menjadikan naskah lakon benar-benar marjinal.
Ekspresi personal
Sebagai sastra tulis, naskah lakon belum menjadi pilihan ekspresi banyak penulis, seperti cerpen, novel, dan puisi. Dari penulis yang sedikit itu, kita mengenal nama-nama pengarang yang muncul pada era 1950 hingga 1970-an seperti Kirjomulyo dengan karyanya antara lain, Penggali Intan, Senja dengan Dua Kelelawar , Bambang Sularto (Abu), Iwan Simatupang (Petang di Taman, Bulan Bujur Sangkar) Motinggo Boesye (Malam Pengantin di Bukit Kera, Barabah, Malam Jahanam) dan naskah lama lainnya yang bergaya realis yang mencerminkan kegelisahan eksistensial manusia.
Meskipun tidak ditulis secara instan, keberadaan naskah lakon kita masih dalam posisi ”dalam rangka” (pinjam istilah Umar Kayam). Artinya, sangat sedikit para penulis yang memang sejak awal berniat menulis lakon sebagai ekspresi personal. Biasanya hal itu terkait dengan program pementasan. Sebut saja, misalnya, Rendra (Bengkel Teater), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Arifin C Noer (Teater Ketjil), Ikranagara (Teater Saja), Nano Riantiarno (Teater Koma), dan Danarto yang menulis lakon Obrok Owok-Owok Ebrek Ewek-ewek untuk Teater Alam. Masih ada nama lain: Afrizal Malna (Teater SAE), Emha Ainun Nadjib, Simon Hate, Fajar Suharno (Dinasti), Heru Kesawa Murti (Teater Gandrik), Bambang Widoyo Sp (Gapit Solo), Cindil Gunawan Maryanto, Ugo Prasad (Garasi), Joned Suryatmoko (Gardanalla) Eko Tunas (Teater Lingkar), dan lainnya.
Dengan menulis naskah sendiri, mereka merasa menemukan orientasi estetis, kultural dan sosial yang sesuai dengan ”cita-cita” kesenian dan kebudayaan mereka. Tradisi ini akhirnya menguat dalam jagat penulisan lakon di Indonesia. Dalam soal ini, Rendra bisa dibilang sebagai pelopornya. Dialah salah satu sosok penting yang membumikan teater modern di Indonesia, baik secara kultural, sosial maupun estetik. Lihat karyanya, Mastodon dan Burung Kondor, Sekda, Perjuangan Suku Naga, dan lainnya. Umumnya, naskah lakon yang ditulis oleh Rendra dan para penulis lain di atas bercorak non-realis dan banyak mengandung nilai-nilai pemikiran kritis atas situasi dan kondisi sosial, politik, dan budaya era Orde Baru yang represif. Naskah lakon, di situ, bukan hanya menjadi ekspresi estetis, melainkan juga ekspresi sikap sosial/politik atas hegemoni negara.
Tradisi lomba
Tidak bergemuruhnya dunia penulisan naskah lakon sangat terkait erat dengan sempitnya ruang sosialisasi atau ”pasar” naskah lakon. Jika banyak media massa cetak sangat bermurah hati memberikan ruang bagi puisi, cerpen, atau novel (cerita bersambung), maka hal itu belum berlaku umum bagi naskah lakon. Dalam sejarah, harian Kompas pada tahun 1980-an pernah memuat naskah lakon Panembahan Reso karya Rendra sebagai cerita bersambung. Pemuatan itu menandai kembalinya Rendra dan Bengkel Teater-nya ke panggung, setelah belasan tahun dilarang penguasa Orde Baru. Pemuatan itu sangat mengejutkan. Publik seni-budaya Indonesia pun memberikan apresiasi: Kompas berani melawan arus pasar dan menumbuhkan apresiasi yang luas atas naskah lakon.
Sesungguhnya, perkembangan penulisan naskah lakon di Indonesia lebih banyak didorong tradisi lomba. Lihatlah, misalnya, upaya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang rutin menyelenggarakan lomba penulisan lakon pada era 1970-an dan 1980-an. Dari lomba itu muncul nama-nama penting: Putu Wijaya, Wisran Hadi, Kuntowijoyo, Vredi Kastam Marta, Yudhistira Adi Nugaraha, dan lainnya. Putu melahirkan Aduh, naskah absurd yang dianggap merupakan salah satu pencapaian terbaik sastrawan asal Bali itu. Sedangkan Kuntowijoyo melahirkan Topeng Kayu yang kuat dengan spiritualisme. Vredi melahirkan Syeich Siti Jenar, lakon kontroversial yang menantang pemikiran dan penghayatan agama.
Akhirnya, jika kita menginginkan kondisi yang subur/kondusif bagi penulisan naskah lakon, maka perlu banyak rangsangan secara eksternal: lomba, penerbitan buku, pementasan, publikasi, edukasi/apresiasi, kritik, penghargaan, dan perpustakaan/bank naskah. Maka, pasar naskah lakon itu pun, pelan-pelan, akan terbangun, sehingga naskah lakon tidak lagi menjadi sunyi, marjinal dan menggigil kesepian.
* Indra Tranggono, Menulis Beberapa Lakon; Pernah Terlibat dalam Sejumlah Pementasan Teater Gandrik dan Komunitas Pak Kanjeng
Sumber: Kompas, Minggu, 13 April 2008
No comments:
Post a Comment