Luruskan pandang ke daratan tandus, ke petak-petak garam
Ke laut lepas, layar putih- putih, perahu-perahu bebas
O Laut Jawa di belakang desa-desa sengsara
Laut Jawa di belakang kejatuhan dan kebangkitan suatu bangsa
Laut adalah kita, perahu-perahu berkuasa dari Arafura, Selat Sunda, Selat Malaka Demikian sejarah bangsa dalam masa jaya sebelum Sultan Agung dan monopoli kapal dagang bersenjata
Laut adalah kita, sebelum cengkeh dan pala
Laut adalah kita, sesudah minyak dan baja
Perahu-perahu begitu manis, kapal-kapal lebih perkasa
Luruskan pandang ke laut, laut yang merdeka
Dua orang turis asal Belanda mengamati miniatur Kapal Phinisi Nusantara di Museum Bahari, Jakarta Utara, Selasa (8/4). (SP/Ferry Kodrat)
Itulah puisi karya sastrawan besar Indonesia, Ajib Rosidi yang berjudul Pantai Utara. Puisi itu menjadi prasasti yang menempel di dinding lantai satu Museum Bahari di Jakarta.
Menyusuri hati sang pengarang puisi tersebut, jelas tergambar bahwa laut bukan saja memberi kehidupan bagi umat manusia, tetapi juga keteduhan hati, kedamaian, serta mendekatkan diri pada kebesaran Sang Maha Pencipta. Laut membuat mata kita memandang tanpa batas.
Filosofi Ajib Rosidi mengenai laut itu diwujudkan Belanda (VOC) membangun bangunan megah pada tahun 1652 yang kini bernama Museum Bahari. Bangunan kuno dengan ratusan jendela berukuran besar tersebut dahulu dijadikan Belanda sebagai gudang rempah-rempah, seperti lada, teh, kopi, bahkan pakaian.
Bisa dibayangkan, betapa megah dan angkuhnya Museum Bahari waktu dulu. Bangunan yang dikelilingi oleh tembok tebal dan tinggi itu terdiri dari beberapa gudang. Gudang bagian barat Sungai Ciliwung disebut Westzijdsch Pakhuizen, sedangkan bagian timur disebut Oostzijdsche Pakhuizen. Untuk mempertahankan harta benda rampasan yang disimpan di gedung tersebut, Belanda pun membuat menara yang terletak di depan gedung yang bernama Menara Syahbandar. Menara yang dibangun tahun 1839 ini berfungsi untuk mengawasi kapal yang keluar masuk Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketika itu, Belanda begitu ketat menjaga gedung ini. Belanda begitu menyayangi dan menjaga gedung ini. Tetapi, setelah gedung itu berubah fungsi menjadi Museum Bahari yang diresmikan oleh Gubenur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada tanggal 7 Juli 1977, nasib gedung dan segala isinya kini cukup mengenaskan.
Kesan tidak terawat jelas terlihat pada gedung yang terletak di Jalan Pasar Ikan No 1, Jakarta Utara ini. Meskipun kegagahan dan keangkuhan gedung masih tampak, banyak bagian-bagian gedung yang kelihatan suram. Selain lantainya kotor, hampir seluruh dinding gedung kelihatan kusam. Yang tergambarkan adalah kesan kumuh, gelap, dan pengap. Bahkan, kondisi gedung tambah kurang nyaman dengan bau amis.
Kalau kondisi seperti itu tidak segera mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, jangankan untuk datang, melihat gedung itu saja orang pasti akan enggan.
Jadi, tidak heran kalau setiap hari orang yang datang ke Museum Bahari bisa dihitung dengan jari. Menurut keterangan Rudi, seorang pelajar SMK Kartini yang kebetulan sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) dari sekolahnya sebagai penjaga karcis Museum Bahari mengatakan, setiap hari orang yang datang rata-rata di bawah 15. Museum ramai dalam waktu-waktu tertentu saja, seperti kunjungan anak-anak sekolah yang melakukan study tour.
Tetapi, dalam keseharian, seperti yang dilihat SP dari buku pengunjung museum, setiap harinya total orang yang datang (bukan pelajar-Red) tidak lebih dari 15 orang. Yang menyedihkan lagi, mereka yang datang ternyata lebih banyak dari kalangan turis mancanegara, khususnya turis asal Eropa dan Jepang.
Ketika SP mengunjungi Museum Bahari, Selasa (8/4), hanya ada lima pengunjung lokal. Tetapi, tak lama kemudian, ada dua turis asal Belanda, Ivo Harmse dan Pepijn van Kuijeren. Ditemani oleh petugas museum bernama Catur, kedua mahasiswa dari Kota Amsterdam tersebut mengaku sengaja datang ke museum karena ingin melihat peninggalan-peninggalan nenek moyang ketika menjajah Indonesia.
Minimnya pengunjung tidak sebanding dengan harga karcis. Untuk umum, harga tiket masuk Rp 2.000, sementara untuk mahasiswa Rp 1.000 dan pelajar SMU, SMP, dan SD Rp 500. Tetapi, minat orang untuk menyambangi museum yang di dalamnya terdapat ilmu mengenai sejarah kelautan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tetap rendah.
Bisa dikatakan, pendapatan dari retribusi karcis museum tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk merawat museum. Sementara, fungsi museum tetap terus harus dijalankan karena museum ini mengemban misi mulia yaitu sebagai educatif culture.
Koleksi-koleksi yang disimpan terdiri dari berbagai jenis perahu tradisional dengan aneka bentuk, gaya dan ragam hias, hingga kapal zaman VOC, seperti Perahu Pinisi dari Bugis Makassar, Perahu Kora-kora dari Maluku, Perahu Mayang dari Pantai Utara Pulau Jawa, Perahu Lancang Kuning dari Riau, Perahu Jukung dari Kalimantan, dan lain-lain.
Selain itu, disajikan pula berbagai model dan miniatur kapal modern dan perlengkapan penunjang kegiatan pelayaran, serta ditampilkan pula koleksi biota laut.
Tidak Nyaman
Dalam kondisi normal orangi akan menilai keadaan dan letak Museum Bahari sudah tidak nyaman lagi. Apalagi ketika bangunan itu baru saja diterpa banjir lantaran tanggul di Kali Baru jebol akibat air laut pasang pada tanggal 26 November 2007. Selain tidak punya areal parkir yang memadai, lingkungan di seputar Museum Bahari juga sumpek. Bukan hanya berseberangan dengan pasar tradisional, di dekat museum juga terdapat areal sempit yang dijadikan tempat "ngetem" sejumlah mikrolet.
Setelah banjir setinggi 40 hingga 60 cm surut, kini yang tersisa bau amis, kotor, lantai-lantai museum masih ada yang tergenang air, serta ada beberapa benda-benda "penghuni" museum yang menjadi korban.
"Ketika banjir datang, kami terpaksa memindahkan koleksi-koleksi yang rentan terkena genangan air pasang ke lantai dua, seperti buku-buku, koleksi miniatur perahu yang terbuat dari kayu, dan lain-lain," ujar Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubbag TU) Museum Bahari, Zubaidah kepada SP di Jakarta, Selasa (8/4).
Menurut dia, sebenarnya sistem drainase atau penyerapan air di Museum Bahari sudah bagus. Terbukti, jika terjadi hujan selebat apapun, tidak akan banjir. Sementara, banjir yang terjadi di akhir November tahun silam akibat pasang air laut. Banjir membuat pengelola museum untuk membuat tata ruang baru, agar jika kembali terjadi banjir, koleksi-koleksi yang rentan bisa diselamatkan.
"Butuh pompa untuk menyedot air jika terjadi banjir lagi. Selama ini agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam museum, kami menggunakan beberapa karung yang diisi pasir dan diletakkan di pintu masuk museum," ujarnya.
Banyak faktor yang membuat orang enggan mengunjungi Museum Bahari. Selain tertutup beberapa mobil yang parkir, wajah museum juga terhalang pasar tradisional, serta permukiman kumuh. Padahal, kata Zubaidah, sebenarnya ada dua wajah Museum Bahari yaitu yang menghadap ke laut dan ke darat.
Wajah yang menghadap ke laut tertutup pasar dan permukiman kumuh, sementara yang menghadap ke darat terhalang oleh ruko-ruko. "Yang sebenarnya, wajah Museum Bahari adalah menghadap ke laut. Sebab, jarak antara museum dengan laut tidakjauh. Kalau saja, tidak ada pasar dan permukiman kumuh, dari depan museum kita bisa langsung memandang laut lepas," katanya.
Ironisnya, saat ini Pemda DKI belum memprioritaskan Museum Bahari. Menurut Zubaidah yang menjadi prioritas Pemda DKI Jakarta adalah Kota Tua Jakarta yang terletak di depan Taman Fatahillah. Dia berharap, prioritas berikutnya adalah Museum Bahari yang di dalamnya terdapat 1.800 koleksi kebaharian dan kenelayanan Indonesia. [SP/Ferry Kodrat]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 9 April 2008
No comments:
Post a Comment