-- Katrin Bandel*
KETERLAMBATAN Ayu Utami dalam memenuhi janjinya dengan Figge merupakan satu-satunya hal negatif yang dilaporkan, sebelum Figge kemudian mulai memuji keberanian Ayu sebagai pemberontak. Dan keterlambatan itulah yang diakuinya sebagai satu-satunya ciri Ayu Utami yang "Indonesia"!
Berarti semua sikap Ayu Utami yang dipujinya sebagai sikap yang maju, berani, pemberontak atau feminis merupakan sesuatu yang "bukan Indonesia"!
Laporan mengenai bir, "perkawinan liar" dan pornografi yang sudah saya kutip sebagian di atas pun kemudian mengukuhkan imaji stereotipikal Indonesia sebagai negara (bermayoritas) Muslim yang kolot, restriktif, patriarkal dan tertinggal.
Kasus tersebut menunjukkan betapa pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak dan disiden tidak bisa dilepaskan dari pencitraan Indonesia sebagai negara kolot dan tertutup. Hanya kalau Indonesia digambarkan sebagai negara di mana "tidak ada perempuan yang minum bir", misalnya, maka aksi demonstratif Ayu Utami memesan bir dengan suara lantang di cafe KUK bisa diinterpretasi sebagai sebuah perlawanan. (Di sini kita belum lagi mempertanyakan apakah memang tepat tindakan minum bir dihubungkan dengan kemajuan dan keterbukaan.)
Maka kalau kita pertimbangkan bahwa Ayu Utami (dan KUK pada umumnya) tampaknya dengan sengaja menimbulkan dan menjaga reputasi semacam itu, saya rasa kata "antek-antek imperialis" yang digunakan Jurnal Sastra Boemipoetra untuk mendeskripsikan KUK tidak terlalu berlebihan.
Kelihatannya Ayu Utami adalah anggota KUK yang paling "laku" dipasarkan sebagai "pengarang" di luar negeri, dibandingkan misalnya dengan Goenawan Mohamad atau Sitok Srengenge.
Saya rasa wajar demikian: Dapat dibayangkan betapa cerita tentang seorang pengarang perempuan muda dari negara Dunia Ketiga yang berani menulis tentang hal-hal yang tabu namun sulit diterima masyarakat negaranya yang kolot, patriarkis dan tertinggal, akan dengan sangat mudah mengundang simpati.
Informasi bahwa Ayu Utami banyak dikritik di Indonesia dalam konteks itu umumnya bukan membuat pembaca waspada dan kritis, tapi justru memancing simpati. Martin Amanshauser, misalnya, dengan sangat emosional berkomentar tentang "spekulasi kotor media-media skandal" yang meragukan kepengarangan Ayu Utami "sebab bagi masyarakat Indonesia yang didominasi laki-laki hampir tidak terbayangkan bahwa seorang perempuan, apalagi perempuan muda, mampu menulis buku sehebat Saman dan Larung!"
Meskipun demikian bukan berarti hanya karya Ayu Utami saja yang mewakili KUK di luar negeri. Citra KUK sendiri sebagai komunitas dan sebagai tempat pun cukup berhasil dikonstruksi sesuai dengan kepentingan komunitas itu sendiri. Di website Prince Claus Fund saya menemukan keterangan bahwa KUK menjadi Network Partner Prince Claus Fund dari tahun 2004 sampai 2007, dan menerima dana sebesar 163.746 Euro selama 3 tahun tersebut.
Sebagai alasan mengapa KUK dianggap pantas didukung serupa itu, antara lain dijelaskan: "Komunitas Utan Kayu operates in a newly democratic Indonesia where freedom of thought has not been fully accepted. Therefore, its political concerns involve combating narrow-mindedness along with its mission to promote quality in the arts. However, even with the changing political landscape it has detected a level of intolerance amongst civil groups that prevents the development of free thought. Most of the recent cases of intolerance are based on the manipulation of religious identity."
Seperti Ayu Utami, KUK direpresentasikan sebagai perkecualian dalam masyarakat Indonesia: Masyarakat Indonesia konon belum mampu hidup demokratis, tidak bisa menerima kebebasan berpikir dan bersifat intoleran, sehingga membutuhkan KUK sebagai contoh kemajuan, demokrasi dan toleransi!
Klaim sejenis yang lebih mencolok lagi kebohongannya muncul di sebuah artikel majalah mingguan Jerman, Der Spiegel, edisi 23 Desember 2005. Setelah mengunjungi KUK dan berbincang dengan Ayu Utami (lagi!), wartawan Jurgen Kremb menulis (dalam bahasa Jerman):
"Di tempat ini (KUK -- pen) dasar-dasar Indonesia modern diletakkan beberapa waktu yang lalu. Pada musim panas 1994 ketika atas perintah Suharto tiga majalah berita dibredel, sekelompok wartawan dan pengarang membeli rumah yang tidak terawat dengan alamat Utan Kayu 68 H dan melawan rejim diktator dengan mendirikan sebuah penerbit. Kelompok alternatif kiri terbentuk, dan demonstrasi massal 1998 yang menyebabkan jatuhnya sang diktator dimulai dari sini."
Kalau kita melihat betapa Ayu Utami dan KUK direpresentasikan dengan cara yang begitu tendensius dan menyesatkan di beberapa media di Jerman dan negara lain di Eropa, wajar kalau kemudian timbul sebuah pertanyaan: Apakah pembaca Eropa memang begitu mudah tertipu?
Dalam kasus representasi KUK di situs web Prince Claus Fund dan di Der Spiegel saya rasa pembaca awam hampir tidak mungkin memeriksa kebenaran informasi yang diberikan. Prince Claus Fund dan Der Spiegel yang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam melakukan riset. Dan tentu KUK pun seharusnya bertanggung jawab dalam memberi keterangan mengenai dirinya.
Tapi, bagaimana dalam kasus Saman? Bukankah pembaca Jerman bebas membentuk pendapatnya sendiri dengan membaca novel itu secara langsung? Saya rasa memang demikian, tapi kebebasan itu ada batasnya bagi pembaca Jerman yang tidak mengenal dunia sastra Indonesia.
Contoh yang menarik adalah resensi Birgit Koe di radio Jerman, Deutschlandradio (17 Desember 2007). Koe membandingkan Saman dengan sebuah puzzle yang tidak berhasil diselesaikan sehingga gambar yang utuh dan dapat dipahami tidak terbentuk. Dengan kata lain, Koe bingung, apa sebetulnya yang ingin disampaikan Saman.
Namun kebingungan itu tidak membuatnya menyimpulkan bahwa novel itu kurang berhasil, tapi justru dipahaminya sebagai bagian dari pengalaman baca "sebagai pembaca Barat" yang berhadapan dengan karya sastra asing. Mungkin memang begitulah cara bercerita khas Indonesia, spekulasinya.
Saya yakin bahwa serupa dengan Koe, sebagian pembaca Jerman yang membeli buku terjemahan sejenis Saman membacanya dengan kesiapan untuk menghormati perbedaan tradisi sastra sehingga mereka cenderung menerima hal-hal yang terasa janggal sebagai kekhasan lokal yang tidak bisa sepenuhnya mereka pahami.
Maka, kalau Saman yang dipilih di antara sekian banyak karya sastra Indonesia untuk disuguhkan kepada pembaca Jerman, wajar kalau cara bercerita ala Saman-lah yang akan dianggap pembaca Jerman sebagai cara bercerita "khas Indonesia".
Menurut pandangan saya, penilaian terhadap karya terjemahan itu tidak bisa sepenuhnya dipercayakan atau dibebankan kepada pembaca Jerman. Karena, penilaian mereka sejak awal sudah diarahkan, lewat pilihan karya yang dianggap pantas diterjemahkan, kemudian diarahkan lebih lanjut lewat informasi yang diberikan kepada mereka mengenai pengarang dan latar belakang karya.
Maka, institusi dan orang-orang yang terlibat dalam proses pemilihan karya tersebut memiliki tanggung jawab yang tidak kecil. Dalam kasus Saman, menurut pengamatan saya, tanggung jawab tersebut sudah diselewengkan.
* Katrin Bandel, Kritikus sastra asal Jerman
Sumber: Republika, Minggu, 06 April 2008
No comments:
Post a Comment