[JAKARTA] Kesamaan bahasa Melayu yang dimiliki Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darusalam ternyata belum cukup untuk mengembangkan karya sastra Melayu sebagai bagian dari kebudayaan serumpun. Kepentingan politik masih menjadi batu sandungan dalam upaya penyatuan karya-karya sastra menjadi sebuah kebudayaan serumpun.
"Realitas politik tidak pernah dapat ditembus, itulah tantangan terberat yang harus dihadapi," kata delegasi Majlis Bahasa Melayu Singapura, Azhar Ibrahim Alwee pada acara seminar bahasa dan sastra Majelis Bahasa Brunei-Indonesia-Malaysia (Mabbim)- Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera), di Jakarta, Selasa (8/4).
Menurut Azhar, pengembangan sastra serumpun, yang notabene adalah sastra melayu harus didasarkan pada ikatan yang bersifat kultural sehingga ada celah bernegosiasi untuk menjadikan sastra melayu sebagai sastra serumpun.
Karakter negara-negara di Asia Tenggara yang berbentuk negara-bangsa (nation state) akan membuat identifikasi sesama serumpun menjadi semakin lebih sulit karena setiap negara berkembang pada tingkatan yang berbeda. Perbedaan itu membuat dasar kebudayaan masing-masing negara berlainan.
Azhar mengatakan, sebaiknya negara-negara yang merasa memiliki perasaan serumpun, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam harus berpijak pada keanekaragaman budaya yang dimiliki, bukan pada perasaan untuk bersatu.
"Berawal dari penghargaan terhadap keanekaragaman itulah, barulah memikirkan persatuan," ujarnya.
Rancangan suatu kebudayaan, lanjut Azhar, tak akan pernah berhenti dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, bukan berarti, persaudaraan keserumpunan tidak dapat dikembangkan. Persamaan serumpun jangan diartikan, mempunyai leluhur moyang yang sama, kesamaan bahasa atau dialek. Semangat serumpun harus dilihat dari perasaan senasib yang pernah dilalui dan akan dilalui. "Serumpun bukan hanya persamaan kebudayaan saja, tetapi juga perasaan senasib dari segi kehidupan hari ini dan hari nanti," katanya.
Sementara itu, delegasi Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Zalila Sharif, mengatakan hingga saat ini sastra melayu sebagai bagian dari kebudayaan serumpun masih berjalan sendiri-sendiri. Tantangan terberat lain adalah minat generasi muda yang semakin menurun terhadap apresiasi karya sastra melayu.
"Perkembangan dunia yang sangat cepat, membuat minat baca di kalangan muda semakin menurun," katanya.
Menanggapi minimnya minat generasi muda terhadap karya sastra melayu, sastrawan Hamsad Rangkuti mengatakan, menurunnya minat generasi muda terhadap karya sastra lebih disebabkan karena bahasa yang melayu yang terkadang sulit dimengerti. "Novel-novel atau cerpen yang berbahasa melayu harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia," katanya.
Sastra Indonesia
Sebagai wujud kebudayaan serumpun, sastra Indonesia memiliki kedudukan unik terhadap sastra melayu yang merupakan bagian dari kebudayaan serumpun. Di satu sisi, sastra Indonesia adalah bagian dari sastra melayu yang berkembang di kawasan Asia Tenggara, di sisi lain sastra Indonesia adalah sastra berbahasa Indonesia yang mengungkapkan persoalan keindonesiaannya.
"Karya sastra Indonesia yang berangkat dari latar belakang melayu, terkadang mengingkari kemelayuan itu karena tuntutan zaman yang semakin berubah" kata delegasi Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Abdul Rozak Zaidan.
Zaidan mengatakan sastra Indonesia berorientasi pada paham dan sikap keindonesiaan yang dalam perkembangannya menyerap berbagai aspirasi dalam sastra daerah modern.
"Penyerapan pikiran dan konsep berbagai kelompok etnik yang ada di Indonesia, menegaskan batas bahwa sastra Indonesia bukan lagi sastra melayu," katanya.
Menurut Zaidan, kemelayuan, sudah tidak lagi menjadi induk sastra Indonesia, tetapi setara dengan kejawaan, kesundaan, dan keetnikan lainnya. Akibatnya, karya-karya sastra Indonesia justru sering menghindari sifat kemelayuannya dan lebih menekankan pada sifat keindonesiaan. Keadaan ini dapat dilihat dari novel Tenggelamnya Kapal Van der wijk, karya Hamka. Diceritakan, tokoh Zainudin tidak mau mengambil Hayati yang merepresentasikan melayu, meskipun kecintaannya amat besar. Zainudin justru memilih hidup yang gelisah dan merindukan untuk menjadi pengarang.
Sikap pengarang Indonesia yang berpegang pada keindonesiaan itu, membuat karya sastra Indonesia menjadi faktor kuat penunjang ketahanan budaya nasional. Oleh sebab itu, Zaidan mengingatkan, untuk mempertahankannya sastra Indonesia harus mampu menghadapi setiap tantangan di masa mendatang. [SYH/U-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 9 April 2008
No comments:
Post a Comment