DALAM pandangan Putu Wijaya, era 1945 merupakan masa ideal bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Saat itu, lahir sekaligus eksponen penyair dan kritikus sastra yang kuat. Sinergi mereka menciptakan iklim sastra yang dinamis dan progresif.
Dalam hal ini, Chairil Anwar dan HB Jassin menjadi ikon paling tipikal. Chairil mendobrak kecenderungan sastra Pujangga Baru yang penuh bunga-bunga kata. Sajak-sajaknya plastis dan mengusung aforisma. Dia hadirkan realitas dalam kata demi kata. Tak hanya itu, karya-karya Chairil juga memberi saham bagi kemajuan bahasa Indonesia.
HB Jassin hadir dengan kritik yang cerdas dan bernas. Tokoh berjuluk Paus Sastra Indonesia itu menjadi semacam batu asah yang menajamkan mata pisau estetis Chairil dan sastrawan seangkatannya.
“Selepas angkatan 1945, sastra Indonesia kehilangan kritikus yang teliti dan mumpuni seperti HB Jassin. Kondisi itu tak memenuhi prasyarat bagi kelahiran iklim sastra yang ideal,” kata Putu Wijaya, dalam diskusi “Membuka Tabir Dunia dengan Sastra: Telaah Jejak Para Ispirator” yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) di auditorium Undip Pleburan, kemarin.
Diskusi dalam rangka peringatan Chairil Anwar 2008 itu juga menghadirkan sastrawan Ahmad Tohari, penulis kumpulan cerpen Marketplace, Aca, serta dosen Fakultas Sastra Undip Redyanto Noor MHum.
Sejatinya, ujar Putu, banyak sastrawan sekelas Chairil Anwar yang lahir sesudahnya, taruh misal Sutardji Calzoum Bachri atawa WS Rendra. Namun ketiadaan kritikus andal membuat eksistensi mereka tak terlampau luar biasa. Masyarakat seperti dibutakan oleh kehadiran para pendobrak itu. Karya mereka yang bagus menjadi tak terjelaskan.
“Sastra Indonesia dikatakan sehat jika prasyarat pendukung terpenuhi, antara lain ada sastrawan, karya, kritikus, penerbit, apresian, dan proses pembelajaran.”
Di sisi lain, metode pembelajaran saat ini juga punya andil. Secara ekstrem, Putu menyebut ada yang salah dengan sistem pembelajaran sastra. Di sekolah-sekolah, pelajaran bahasa beroleh porsi lebih ketimbang sastra. Pengajar pun kebanyakan berlatar pendidikan linguistik. Butuh metode baru untuk mengubah keadaan.
Ahmad Tohari pun menyebut sastra Indonesia saat ini sebagai korban pragmatisme dan materialisme. Sastra semestinya memberikan ruang pada hal-hal yang bersifat batiniah. Namun, ruang itu kini hilang ditelan berhala pasar. “Ya, pasar lebih berperan,” ujar penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Sastra Abad XXI
Secara terpisah, sastrawan Eko Tunas menilai belum ada penyair di Indonesia pada era kekinian yang memiliki pencapaian estetika setara Chairil Anwar. Karya sastra saat ini, dalam pandangan subjektif Eko, lebih mengedepankan pemujaan pada kebendaan. ’’Akibatnya, kedalaman yang jadi identitas karya sastra, termasuk puisi, terabaikan. Di sisi lain, karya sastra kini minim warna humanis,’’ nilai dia.
Eko menytakan hal itu pada diskusi Malam Peringatan Chairil Anwar di Kedai Astina, Ungaran, Sabtu (26/4) malam. Pada diskusi itu, Eko mengupas tema ’’Sastra Indonesia Abad XXI’’ bersama Gunawan Budi Susanto. Diskusi itu diselenggarakan Laboratorium Budaya Amongsendang bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Ungaran.
Di sisi lain, Gunawan menyorot kemunculan fenomena karya sastra salah kedaden sebagai ciri utama karya sastra masa kini. Karya sastra salah kedaden memiliki ciri bercanggih-canggih dengan moda ungkap, tetapi kosong isi. ’’Ciri lain, mengusung tema atau persoalan berat, tetapi kering estetika.’’ (Rukardi, Achiar M Permana-53)
Sumber: Suara Merdeka, Senin, 28 April 2008
No comments:
Post a Comment