Saturday, April 12, 2008

Sastra: Adakah (Perlukah) Periodisasi Sastra Populer?

-- Nenden Lilis A.*

ERA reformasi, yang terhitung sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, telah memunculkan banyak fenomena dalam kesusastraan Indonesia. Di antara fenomena-fenomena tersebut, terangkat dan tergalinya kembali jenis-jenis dan karya-karya sastra yang selama ini terpinggirkan, termasuk sastra populer.

Fenomena yang terkait dengan sastra populer dan ditunjukkan pada era ini adalah maraknya keberadaan sastra yang menjadi ciri penting kesusastraan pasca-Orba. Selain marak, sastra populer era ini juga menunjukkan keberagaman dan secara mencolok memperlihatkan karakteristik yang berbeda dengan sastra populer di era sebelumnya. Fenomena ini tentunya mengusik kita untuk memikirkan persoalan seputar pemetaan sastra populer.

Perlukah sastra populer dipetakan?


Selama ini, seiring dengan pemikiran modernisme yang menjadi bangunan utama dunia beberapa abad ini, cara pandang kita terhadap kesusastraan pun mengikuti arus tersebut. Modernisme cenderung berpijak pada hal yang diistilahkan Jean Francois Lyotard sebagai grand narrative (narasi besar), yakni universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman, dan legitimasi. Karakteristik tersebut telah menyebabkan terabaikannya pluralitas. Apa yang disebut pusat pun bersifat tunggal, sehingga segala sesuatu yang dianggap bukan pusat termarjinalkan.

Dalam kaitannya dengan kesusastraan, cara pandang modernisme ini telah menyebabkan hal yang dianggap sebagai sastra, hanyalah misalnya, sastra elite (tinggi/adiluhung), sastra nasional, dan sastra-sastra yang sebelumnya telah ditahbiskan sebagai sastra utama. Cara pandang ini telah menyebabkan sastra-sastra di luar itu, semisal sastra populer, sastra lokal, dan sastra perempuan, dianggap bukan sastra dan terabaikan dalam penyusunan sejarah sastra.

Terkait sastra populer, sejarah sastra Indonesia termasuk yang seolah "meniadakan" keberadaannya. Sejarah sastra Indonesia tersebut telah merumuskan periodisasi sastra Indonesia. Perumusan periodisasi sastra ini dilakukan karena melihat bahwa sastra Indonesia telah berkembang dalam beberapa kurun waktu, dan diisi oleh konvensi, norma, standar, dan tema sastra dominan tertentu yang dalam setiap kurun waktu itu lalu membentuk kekhasan periode tersebut.

Kekhasan setiap periode inilah yang kemudian membentuk hal yang dalam kesusastraan diistilahkan angkatan-angkatan sastra. Upaya penyusunan ini antara lain telah dilakukan H.B. Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Ajip Rosidi, Rachmat Djoko Pradopo, dan Korrie Layun Rampan (sekalipun penyusunan dari setiap ahli sastra itu tidak selalu sama).

Gejala yang segera dapat terlihat dari perumusan-perumusan tersebut adalah sama, yakni bahwa korpus-nya hanya didasarkan pada karya-karya sastra yang dianggap sastra tinggi. Sastra populer tidak ditilik dalam melihat ciri setiap periode tersebut sehingga karakteristik dan kekhasan yang dimilikinya tidak tertelaah, terdeskripsikan, dan terangkumkan.

Apakah dengan demikian perlu periodisasi tersendiri untuk sastra populer?

Munculnya pemikiran posmodernisme, postrukturalisme, dan studi kultural telah mengoreksi pengabaian terhadap keberadaan sastra populer. Posmodernisme dan postrukturalisme sebagai paham sekaligus gerakan kultural berupaya membongkar cacat-cacat modernisme dan kelemahan strukturalisme dengan lebih menghargai deotorisasi, destrukturisasi, pluralisme, fragmentasi, keanekaragaman, kontradiksi, dan kerelatifan. Dengan kata lain, posmodernisme mengembalikan kesadaran pada semua wacana yang berada di luar hegemoni, atau pada the other.

Dengan demikian, sastra populer yang selama ini berada di luar hegemoni, didudukkan secara semestinya. Hal ini diperkuat pula dengan lahirnya studi kultural (cultural studies). Kajian yang berawal dari Inggris ini melihat kebudayaan sebagai aktivitas sehingga menurutnya tidak ada kebudayaan yang mesti dikesampingkan. Kajian ini telah berkontribusi dalam menghancurkan batas antara sastra (kebudayaan) tinggi dan sastra (kebudayaan) populer yang selama ini dipandang secara dikotomis dan hierarkis.

Dengan paradigma di atas, mengingat selama ini sastra populer tersisihkan dalam penyusunan sejarah sastra Indonesia (seperti terlihat dari periodisasi sastra yang dijelaskan di atas), maka perumusan/pemetaan periodisasi sastra populer pun menjadi penting. Hal ini bukan untuk mendikotomikan antara sastra tinggi dan sastra populer, tetapi lebih sebagai affirmatifve action.

Affirmative action adalah tindakan yang sengaja diambil dengan cara memperlihatkan perbedaan suatu kelompok dari kelompok lainnya dengan tujuan mengangkatnya dari ketidakadilan kesempatan. Tindakan afirmatif dilakukan jika ada suatu kelompok yang terpinggirkan. Contoh dari tindakan afirmatif dapat dilihat dari apa yang terjadi dengan sastra perempuan. Selama ini karya sastra yang ditulis perempuan (berikut penulisnya) dimarjinalkan dari kesusastraan umum. Untuk menggugat keadaan tersebut, para perempuan membentuk komunitas sastra khusus perempuan, menerbitkan karya-karya khusus perempuan, menyusun sejarah sastra perempuan, dan sejenisnya. Dengan cara ini, pada akhirnya, karya sastra yang mereka hasilkan berikut penulisnya didudukkan secara lebih objektif dan proporsional.

Periodisasi sastra populer


Beranalogi pada affirmative action yang terjadi pada sastra perempuan, berikut ini saya coba menguraikan periodisasi sastra populer.

Dari berbagai pustaka yang ada, saya melihat bahwa sastra populer telah tumbuh dan menempati kurun-kurun waktu tertentu, yang setiap kurun waktu itu menunjukkan ciri-ciri tertentu yang khas. Dari kekhasan setiap kurun waktu itu dapat saya deskripsikan periodisasi sastra populer, yaitu (1) Periode Zaman Kolonial; (2) Periode 1950-1968-an; (3) Periode 1970-1990-an; dan (4) Periode Era Reformasi.

Sastra populer di Indonesia telah tumbuh sejak abad 19, terutama pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sastra populer pada masa ini ditulis, baik oleh kaum Indo-Belanda, peranakan Cina, maupun kaum pribumi, dengan menggunakan bahasa Melayu Pasar. Sastra populer yang ditulis pada masa ini meliputi cerita-cerita tentang kehidupan para nyai, cerita-cerita kriminal yang diangkat dari kisah-kisah nyata di pengadilan, cerita silat, cerita-cerita hantu (gaib), dan cerita percintaan (yang tak jarang dibumbui sex). Di samping itu, di balik cerita-cerita tersebut, tak jarang para pengarangnya menyelipkan ideologi tertentu. Cerita-cerita yang ditulis R. M. Tirto Adhi Soerjo dan Marco Kartodikromo, misalnya, ditengarai mengandung ideologi komunis.

Jenis sastra di atas mengalami masa surut pada zaman pendudukan Jepang (1942-1949). Surutnya hal ini, seperti pernah dicatat Jakob Sumardjo, dikarenakan zaman itu penuh pergolakan politik dan sosial. Untuk menulis dan membaca dibutuhkan ketenangan khusus yang sulit diperoleh pada masa seperti ini. Dari berbagai literatur, tak banyak terdeskripsikan sastra populer pada masa ini sehingga untuk sementara dapat dikatakan bahwa masa ini tidak masuk dalam periodisasi sastra populer.

Sastra populer baru merebak kembali pada masa kemerdekaan, yakni 1950-1968-an. Dalam kurun waktu ini muncul novel-novel dan cerpen-cerpen dengan cerita-cerita percintaan yang dibumbui sensualitas, detektif, dan koboi.

Tahun 1970-an sastra populer mengalami pergeseran dari ciri sebelumnya. Sastra populer pada masa ini banyak ditulis kaum perempuan. Cerita-cerita yang mendominasi masa ini adalah masalah rumah tangga. Kemudian berkembang pula cerita-cerita remaja, (baik berupa cerita petualangan, maupun cinta remaja). Hal ini berlangsung hingga 1990-an (akhir masa Orba).

Pasca-Orde Baru, yang sering disebut era reformasi, berkembang pesat karya-karya sastra populer dengan motif-motif keagamaan atau yang diistilahkan Moh. Irfan Hidayatullah sebagai Ispolit-Islam Popular Literature (jenis ini telah dirintis sejak sebelum reformasi). Berkembang pula novel dan cerpen-cerpen remaja yang menceritakan perempuan kosmopolitan dengan keseharian kehidupan perkotaan dalam karya-karya chicklit dan teenlit. Jenis-jenis cerita yang ada pada era sebelumnya memang masih berkembang sekali pun tidak mendominasi. Namun, pada periode ini sastra populer tidak banyak diwarnai tema-tema kekerasan (kriminalitas). Hal itu terjadi barangkali karena tayangan-tayangan berita kriminal di televisi telah cukup "memuaskan" masyarakat.

Ada yang bisa dicatat dari fenomena sastra populer era mutakhir ini, yakni munculnya pergeseran dalam bobot tema yang diangkat. Sastra populer era ini lebih menunjukkan muatan intelektual. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan novel Ayat-ayat Cinta yang banyak mengandung wawasan keagamaan yang tidak ringan. Atau novel-novel chicklit dan teenlit, yang mengusung apa yang diistilahkan Aquarini Prabasmoro sebagai feminisme lunak.

Dari uraian di atas, sekalipun bersifat global, terlihat bahwa setiap periode dalam perkembangan sastra populer memiliki ciri-ciri khusus. Kekhususan ini tentulah dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik-ekonomi-budaya, dan lain-lain yang menandai masyarakat dan zamannya. Dari situ kita melihat bahwa karakteristik dan arah sastra populer mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Seperti yang terjadi pada era sekarang, sastra populer tidak hanya ditujukkan untuk kepentingan hiburan, dan bukan hanya jadi objek industrialisasi. Kenyataan ini bukan tidak mungkin menimbulkan pergeseran dalam pendefinisian sastra populer, sekaligus cara pandang terhadapnya.***

* Nenden Lilis A., Penyair dan dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 April 2008

No comments: