[JAKARTA] Buya Hamka, seorang tokoh ulama dan sastrawan besar Indonesia, adalah sosok yang memiliki kedewasaan menghargai perbedaan. Buya adalah figur yang menghargai pluralisme dan mengakui perbedaan.
Demikian benang merah dalam Simposium 100 Tahun Buya Hamka "Membina Pluralisme, Membangun Peradaban Demokratis" di Jakarta, Kamis (10/4).
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Benny Susetyo mengatakan memiliki keimanan yang otentik dengan membangun perbedaan keyakinan bukanlah sebagai musuh melainkan saudara.
Dia mengatakan, hal itu tercermin dari persahabatan antara Buya dengan Kardinal Justinus Darmoyuwono. Kedua tokoh agama tersebut bersatu menentang kekuasaan Soeharto pada tahun 1970-an.
"Beliau dan Kardinal Darmoyuwono memiliki perbedaan prinsip keagamaan tetapi memiliki hubungan yang sangat baik. Ketika menyangkut masalah kebangsaan mereka bersatu menentang kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hal itulah yang hilang, saat ini Indonesia kehilangan tokoh-tokoh yang peduli pada masalah kebangsaan," kata Benny.
Benny menegaskan, tokoh-tokoh masyarakat dan elite politik kehilangan roh kerakyatan seperti yang dimiliki Buya. Buya memiliki pemikiran agama harus berpihak pada kaum hina. Dia mencintai kaum tertindas dan mencintai Tuhannya.
Menurutnya, saat ini negara dikendalikan oleh pasar bebas dan kaum kapital. Kebijakan politik mengabdi pada kapital dan bukan untuk kepentingan rakyat. Cabang-cabang produksi yang menjadi hajat hidup rakyat dijual oleh negara.
Benny menuturkan, Buya seseorang yang terbuka terhadap keyakinan orang lain. Selain itu, memiliki sikap bahwa manusia harus hidup berdampingan secara toleran, menghormati perbedaan, menjaga keyakinan dan menjunjung tinggi kebebasan.
Hal itu, terlihat dari pergaulan Buya yang lintas batas suku, bangsa, agama keturunan.
"Cara pandang, berpikir, bertindak, berelasi dalam pergaulan yang luas. Seorang tokoh pemikir modern Muslim," ujarnya.
Sementara itu, pakar pendidikan, Arief Rachman mengatakan Buya seorang muslim liberal yang tidak antibarat.
Buya meneliti karya-karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud dan sebagainya.
Arief memaparkan, ada empat "mutiara" dalam diri Buya yaitu kebenaran kepada ilmu, berani, adil dan seorang yang fleksibel. Buya seorang yang berpendirian teguh memperjuangkan keadilan.
Pribadi yang berani melawan kekuasaan yang zalim sehingga ia dipenjara 15 kali yaitu tujuh kali pada masa pemerintahan Soekarno dan delapan kali pada masa pemerintahan Soeharto.
"Seorang ilmuwan maupun sebagai ulama dan sastrawan yang didasari oleh keberanian atas nama kebenaran," kata Arief.
Buya adalah pemikir muslim modern di abad ke-20 yang sangat produktif melahirkan setidaknya 100 karya tulis. Tokoh Minangkabau ini kelahiran 1908 dan tutup usia pada 24 Juli 1981. [DLS/O-1]
Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 11 April 2008
No comments:
Post a Comment