-- Jakob Sumardjo*
TERDAPAT kemiripan yang mencolok antara seni rupa Mesir Purba yang berusia 5.000 tahun dan seni rupa Jawa yang berusia 1.000 tahun. Kemiripan itu terdapat pada cara menggambar tubuh dan peristiwa manusia. Keduanya memecahkan masalah cara menggambar dalam bidang dua dimensi suatu benda yang empat dimensi, yakni sebelah kanan dan kiri serta depan dan belakang.
Kalau kita perhatikan reproduksi lukisan-lukisan kuil atau ruang piramida Mesir Purba, akan terlihat kesamaan cara menggambar dengan seni rupa Jawa zaman Hindu-Budha-Tantra. Pertama yang kita saksikan adalah tidak adanya bingkai gambar. Dalam cara pandang modern kita, semua gambar (lukisan) selalu dibatasi oleh bingkai yang memotong sebuah peristiwa manusia. Kita sudah terbiasa melihat "potongan kepala" dalam bingkai sebagai sebuah lukisan, seolah-olah itulah gambar manusia seutuhnya.
Dalam gambar-gambar purba tersebut, manusia digambar utuh mulai dari kaki sampai kepala. Kalau ada gambar kepala saja, maka itu berarti memang kepala tanpa badan. Misalnya seorang panglima perang Babilonia menenteng kepala musuhnya dan ditunjukkan kepada rajanya.
Bukan hanya manusia digambar seutuhnya, tetapi juga peristiwa dalam waktu digambar tanpa bingkai yang mengotak-ngotakkan peristiwa. Dalam lukisan-lukisan kuil Mesir tadi, semua peristiwa digambar bersambungan sesuai dengan bidang gambar yang ada. Hal ini mirip dengan gambar-gambar pada wayang beber di Jawa atu gambar-gambar Kamasan di Bali.
Pada candi-candi di Jawa, cerita-cerita mitologi dalam gambar relief dinding candi, sudah dipotong-potong dalam kotak-kotak bingkai. Inilah pengaruh pikiran India Utara yang didominasi ras Indo-Germania (Arya). Pemikiran Barat bertolak dari kalangan bangsa-bangsa nomad-pemburu Indo Jerman ini. Sedangkan pikiran Timur didominasi oleh ras-ras bangsa yang hidup dari pertanian basah (hidro-agraria). Bahwa hidup ini mengalir sambung-menyambung sepanjang masa tiada putus-putusnya, bukan dipotong dan dimatikan seketika.
Kembali pada cara menggambar orang-orang Mesir Purba dan Jawa klasik. Gambar-gambar manusia Mesir mirip dengan gambar wayang kulit atau wayang beber. Bentuk manusia digambar sekaligus dari depan dan dari samping. Ciri wajah manusia itu dilihat dari samping, bukan dari depan seperti kebanyakan lukisan modern. Tubuh dari depan, tetapi kaki dan tangan dari samping. Tangan dan kaki dari samping itu serupa, baik tangan dan kaki kiri maupun tangan dan kaki kanan.
Seperti anak-anak kecil, manusia-manusia dewasa masa lampau itu menggambar apa yang ada di pikirannya, bukan apa yang dilihatnya. Gambar visual itu bukan gambar melalui mata, tetapi melalui pikiran.
Yang diketahui itu lebih penting dari apa yang dilihat mata. Jangan percaya pada penampilan. Percayalah pada apa adanya. Gambar bukan tipuan mata seperti dikerjakan orang-orang modern sejak zaman renaissans. Sikap ini sudah dimulai sejak manusia prasejarah menggambar. Kalau mereka menggambar bison, kuda, atau rusa, mereka bukan bermaksud menggambar binatang-binatang tersebut, tetapi menggambar apa yang ada di pikirannya. Mereka menggambar di gua-gua gelap atau tebing tinggi, serta tempat-tempat yang sunyi untuk semedi. Mereka menggambar pikirannya antara sadar dan tidak sadar, contohnya manusia berkepala rusa. Kaki kuda dan manusia sama bentuknya.
Mereka tidak meniru alam dalam gambar. Mereka meniru pikirannya sendiri. Apa yang dialami dan diketahui itulah yang digambar, bukan di luar dirinya tetapi di dalam dirinya. Mereka menggambar pohon kelapa dengan delapan pelepahnya digambar utuh menyamping secara berjajar. Cara-cara menggambar demikian dilakukan oleh seniman-seniman kontemporer yang menolak mimesis, gambar lewat mata. Mereka ini menggambar perasaan dan pikirannya sendiri. Objek gambar adalah dirinya sendiri.
Pikiran, perasaan, pengalaman pribadi itulah yang digambar. Objek di luar dirinya hanyalah media penyampaian. Rusa dan banteng itu hanya sarana untuk menyampaikan pengalaman pribadinya. Hal ini sama dengan ketika nenek moyang kita menggambar wayang. Bentuk tubuh manusia hanya sarana bukan sasaran. Sasaran tetap opininya tentang manusia.
Inilah sebabnya tipuan mata dalam warna juga diabaikan. Orang Mesir, orang Jawa, orang Bali, membubuhkan warna-warna datar dan rata. Warna tubuh manusia bisa putih, biru, merah, hitam, kuning emas. Bahkan warna wajah berbeda dengan warna badan. Itulah sebabnya pelopor-pelopor seni rupa kontemporer Eropa banyak mencontoh cara menggambar Afrika dan Asia. Barat kembali ke Timur untuk menjadi kontemporer. Sedangkan kita yang Timur masih mengikuti yang Barat.
Dalam sebuah gambar dinding Mesir Purba terdapat sekumpulan perempuan duduk berjajar pada kursi-kursi, dan di depan mereka berdiri sosok perempuan menghadap deretan perempuan duduk. Di belakang perempuan berdiri digambar tumpukan atau susunan gambar buah-buahan dari atas ke bawah. Paling bawah terdapat jejeran botol-botol minuman. Cara membaca gambar ini tidak bisa secara modern, yaitu gambar susunan buah-buahan ke atas macam disusun dalam rak. Maksud dari gambar ini adalah aneka buah-buahan tadi terhampar di lantai.
Cara menggambar benda-benda yang dekat dan yang jauh adalah dengan menyusunnya ke atas. Semakin ke atas, semakin jauh dari si penggambar. Jadi tidak digambar dalam tipuan mata kita. Kalau beberapa benda berjajar ke belakang maka yang di depan menutupi yang di belakang. Pikiran kita takluk pada tipuan mata kita.
Ada sebuah lukisan Bali modern yang menggambarkan pertunjukan wayang kulit Bali dari belakang dalang. Dalang tidak digambarkan punggungnya saja, tetapi juga kepalanya yang nampak menyamping. Begitu pula gambar blencong dari belakang, disusul dengan nongolnya sumbu blencong ke samping. Hal ini sama saja dengan kalau Anda menggambar (maaf) seorang lelaki sedang buang air kecil dari belakang, maka wajah lelaki itu akan nampak dari samping, begitu pula kelaminnya akan nongol ke samping dari balik badan.
Dalam melukiskan sebuah cerita, setiap adegan digambar sambung-menyambung satu sama lain, tidak ada batas bingkai adegan, seolah-olah waktu itu mengalir dalam satu kesatuan. Gambar adegan pertama langsung digambar adegan kedua di sisinya, dan seterusnya. Dengan demikian akan terdapat gambar rol. Gulungan gambar itu bisa dibuka dan kita mengikuti jalan cerita sambung menyambung tanpa henti. Seperti kita menonton film. Gambar demi gambar bermunculan di layar yang sama. Itulah sebabnya gambar-gambar tua ini sering disebut komik strip oleh orang modern, atau gambar komik tertua di dunia.
Gambar manusia juga tidak seragam sama tinggi dan lebarnya. Gambar-gambar Mesir purba, manusia raksasa dikelilingi oleh kurcaci-kurcaci kecil, namun bentuk tubuhnya sama. Teknik pembesaran dan pengecilan adalah kehendak pikiran. Apa yang disebut "besar" dan "kecil" di Mesir mungkin berbeda dengan di Jawa. Gambar manusia besar di Mesir untuk raja dan dewa-dewa. Gambar manusia kecil untuk rakyat biasa. Di Jawa, gambar besar bermakna kasar, dan yang kecil halus. Itulah sebabnya kata "seni" untuk Indonesia berawal dari arti "halus" ini. Raja Rahwana digambar besar, bukan karena dia raja, tetapi karena dia kasar, jahat, penuh nafsu, dan merusak. Sedangkan raja Yudhistira digambar kecil, bukan karena lebih kecil kekuasaannya dari Rahwana, tetapi karena lebih halus budi pekertinya. Perempuan yang digambar besar adalah perempuan kasar, misalnya Sarpakenaka. Wayang-wayang perempuan selalu digambar lebih kecil, lebih ramping, karena menggambarkan kehalusan.
Mengapa ada kesamaan-kesamaan mencolok ini?
Bangsa Mesir purba dan Jawa serta Bali adalah masyarakat petani basah (hidroagraris). Pengalaman bersawah adalah pengalaman mengembangbiakkan tanaman padi atau gandum. Pikiran dasar mereka adalah bahwa hidup ini menghidupkan, memelihara, dan ikut mengembangkan yang hidup. Bahkan kematian adalah kehidupan. Hidup ini tak pernah mati, tak pernah tiada. Orang Mesir percaya bahwa hidup di dunia ini akan berlanjut di dunia mati, itulah sebabnya para farao Mesir membawa serta semua benda-benda emas miliknya. Seperti biji gandum, tak mati. Satu biji gandum akan melahirkan banyak gandum.
Kematian tidak pernah menakutkan bagi orang Mesir, Jawa, dan Bali. Kematian sebiji gandum atau padi akan melahirkan banyak gandum dan padi. Hidup ini adalah hidup yang terus berkesinambungan. Ritual kematian sama besarnya dengan ritual perkawinan. Mati adalah berkembang. Kematian harus diterima, bukan ditolak, seperti kita menerima kehidupan ini.
Kehidupan dan kematian, kesadaran dan ketidaksadaran, makrokosmos dan mikrokosmos, semua itu satu, tunggal, seperti halnya depan dan belakang, jauh dan dekat, kanan dan kiri, besar dan kecil, kasar dan halus. Kita tidak memisahkan yang kiri dengan kanan, depan dengan belakang, tadi dan sekarang.***
* Jakob Sumardjo, Budayawan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008
No comments:
Post a Comment