Monday, April 21, 2008

Sastra: Jantung Lebah Ratu, Himpunan Puisi Nirwan Dewanto

"Kaum musuhku

menuntun aku menyanyi

Seraya memeluk aneka

menara tertinggi

Tetapi demi jubah Latin

bagi orang mati

Aku hanya belajar diam

seperti lidah api."

Demikianlah bait puisi berjudul "Lonceng Gereja" yang ditulis penyair Nirwan Dewanto. Puisi yang ditulis tahun 2006 tersebut akhirnya ia diterbitkan bersama sejumlah puisi karyanya dalam buku kumpulan puisi bertajuk "Jantung Lebah Ratu".

Nirwan mengatakan butuh waktu cukup lama untuk akhirnya menerbitkan buku kumpulan puisi ini. Hal itu bukan disebabkan, kevakumannya dalam berkarya. Melainkan, karena, ia kerap merasa puisi-puisi yang ditulisnya masih dalam proses, seakan-akan itu adalah proyek seumur hidup, sehingga ia merasa tak perlu terburu-buru untuk menerbitkannya.

"Sesungguhnya saya tidak sabar menunggu selama itu. Banyak tulisan saya yang pada akhirnya hanya disimpan di laci. Saya selalu berusaha kritis dengan karya-karya sendiri. Sehingga pada akhirnya saya merasa hanya sedikit saja yang layak terbit. Sampai akhirnya saya merasa waktu berjalan cepat. Saya pun berpikir untuk memberi kesempatan kepada karya saya untuk menjumpai pembaca dan penilainya sendiri. Ya sekaranglah saatnya," kata Nirwan di sela-sela acara peluncuran buku kumpulan puisi "Jantung Lebah Ratu" di Goethe Haus, Jakarta, Kamis (17/4) malam.

Buku ini memuat 46 judul puisi yang dibuat Nirwan sepanjang tahun 2005-2007. Menurut Nirwan hampir setengah dari puisi yang terdapat dalam buku ini belum pernah dimuat di mana pun. Ia juga memilih membuat judul buku ini tak terikat pada judul salah satu puisinya.

"Menurut saya alangkah baiknya kalau judul buku bukan diambil dari salah satu judul puisi yang terdapat di dalamnya. Buat saya judul final yang "enak bunyinya" ini akan menggoda pembaca," ungkapnya.

Ilmuwan sastra, Melani Budianta mengatakan, membaca puisi Nirwan akan membuat kita bertanya, "Siapa yang bicara? Dari mana datang suaranya? Meski demikian sajak Nirwan bagi Melani bukanlah sebuah teka-teki, melainkan sehamparan momen estetika.

"Jadi, sebelum hilang pertanyaan kita, tiba-tiba kita menjelma simbol, melebur dalam imaji-imaji yang dibangunnya. Kita dapat merasakan gejolak hasrat yang memicunya, meledak dalam warna-warni, kemudian susut kembali menjadi ubur-ubur, gerabah, gong, atau seonggok kata, dan pertanyaan-pertanyaan baru," urainya.

Memperluas Potensi

Menurut Melani, buku kumpulan puisi "Jejak Lebah Ratu" telah merengkuh berbagai tradisi perpuisian, sinestesia, permainan tipologi, pantun, dan prosa liris, misalnya untuk memperluas potensi kata, sensasi imajinasi, dan nuansa makna.

Sementara, salah seorang pemikir Islam, Ulil Abshar-Abdalla mengatakan, dalam himpunan puisi ini dirinya merasa bersentuhan bukan hanya dengan seorang penyajak biasa, tapi juga pelukis, dan pematung, yang bekerja dengan kata dan tubuh sekaligus.

"Nirwan bukan sekadar mengatakan, tetapi juga melukis benda-benda biasa, juga peristiwa yang berserakan di sekitar. Kerapkali malah ia tak melukis benda-benda dan peristiwa itu, mereka justru melukis dirinya sendiri lewat si penyajak," katanya.

Ulil melihat, dalam berkarya, Nirwan berusaha untuk tidak menjadi pusat bagi benda-benda dan peristiwa yang ia lukis. Sebaliknya Nirwan membiarkan benda dan peristiwa itu mengalir lewat tubuhnya, menjadi sebentang sajak.

"Setiap sajak menantang saya untuk terus membacanya lagi dan lagi. Setiap kali senantiasa mengejutkan saya dengan penglihatan baru," ujarnya.

Kurator dan kritikus seni rupa, Enin Supriyanto mengatakan, jika selama ini nyalinya menciut setiap melihat "puisi bebas", karena khawatir tak mampu "menikmati" kata dan bahasa, serta makna yang ada, begitu membaca buku kumpulan puisi Nirwan ini kekhawatiran itu pun sirna.

"Ternyata puisi Indonesia masih kuasa menyajikan kenikmatan bahasa dan membuka cakrawala makna. Di dalamnya buku ini saya temukan lagi kekayaan bentuk puisi, pantun, gurindam, dengan kecermatan rima dan birama, dan kelincahan bertutur," pujinya.

Enin menilai, pada beberapa puisi yang terdapat dalam buku ini, terlihat betapa Nirwan berusaha mengulur-ulur panjang, namun tetap awas memilih kata dan memilin kalimat. Ia rajin menggali kekayaan kosakata, menghidupkan beragam jenis flora-fauna, dan menghindarkan diri dari jebakan permainan bunyi atau metafor yang kadaluwarsa.

"Nirwan tak sekadar memperlakukan kebebasan sebagai preskripsi bagi penciptaan puisi, tapi justru menerimanya sebagai konsekuensi yang menuntut nyali untuk menentukan batas gelanggang kebebasannya sendiri," tegasnya. [Y-6]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 21 April 2008

No comments: