-- Geger Riyanto*
INI mungkin sebuah naskah drama yang satirik. Judulnya, ”Indonesia: negeri yang serba buruk”. Dan pemeran utamanya adalah orang Indonesia. Pemeran pembantunya juga orang Indonesia. Dan semua pemeran figurannya adalah orang Indonesia. Tetapi, siapa penulis naskahnya tiada yang (setidaknya, berusaha) menyadari.
Di sebuah situs pertemanan belakangan ini sedang marak angket mengenai ”seberapa Indonesiakah diri seseorang”. Meskipun angket tersebut mendikte bahwa orang Indonesia berciri malas, biasa terlambat, serakah, dan terkait dengan segala hal buruk lainnya, tak usah diherankan bahwa tak sedikit yang tetap mengikuti angket itu.
Sesekali ini saya mau berpretensi konspiratif. Bagaimana bila pembuat angket itu adalah kelompok ”I Hate Indon”? Oknum yang selama ini dihujat banyak orang di sini karena kampanyenya menghina Indonesia? Atau bagaimana bila ia adalah agen rahasia dari suatu negara, yang menghendaki agar Indonesia kian mengeropos dari dalam diri?
Mengapa tidak? Bukankah globalisasi informasi memungkinkannya? Bukankah pernah ditemukan bahwa halaman tentang Iran dan Mahmoud Ahmadinejad dalam kamus Wikipedia ditulis oleh pengguna komputer dari kantor CIA? Dan bukankah yang iseng mengubah nama George Walker Bush menjadi George Wanker (lelaki menyebalkan) Bush adalah pengguna dari kantor BBC?
Pendirian apatis
Ada yang mengatakan budaya kekerasan adalah inheren dalam budaya Indonesia. Tetapi, mereka melupakan bahwa negara-negara Barat yang diagung-agungkan sebagai teladan demokrasi itu berdiri di atas tanah yang sepanjang hamparannya pernah bersimbah dengan darah rakyatnya.
Hanya saja mereka (komunitas Barat) merengkuh lembaran kelam sejarahnya itu sebagai bagian dari perjalanan pendewasaan bangsanya. Lihatlah bagaimana Hollywood melalui film berjudul Gangs of New York menarasikan bahwa salah satu kerusuhan paling mengerikan yang terjadi di Amerika pada 1863 merupakan proses kelahiran kota Manhattan yang tersohor itu.
Maka, pendirian apatis terhadap Indonesia sesungguhnya akan menemui kebuntuan. Ia akan segera gugur oleh fakta masih banyak manusia Indonesia yang berdedikasi. Seperti petani, yang tiap lepas subuh hingga petang, sejak ribuan tahun lalu, tekun memerah keringatnya sendiri untuk turun ke sawah, ladang, atau kebunnya.
Dalam titik inilah sebuah tren—khususnya yang menunggangi globalisasi—memang tak perlu dipahami artinya, sebab tren itu adalah rekaan dari mesin kapitalisme global yang selalu mempertahankan kelangsungan produksinya. Sebagaimana diistilahkan sosiolog George Ritzer, globalisasi semacam itu adalah globalization of nothing.
Globalization of nothing memanfaatkan sifat manusia yang dikatakan oleh sebuah pepatah, melihat rumput tetangga selalu lebih hijau. Dalam modus kecemburuan inilah demokrasi kemudian terkomodifikasi. Demokrasi yang tadinya hanyalah instrumen (means) untuk mencapai sebuah tujuan (ends) yang lebih mulia, bergeser menjadi tujuan itu sendiri. Demokrasi seperti itu pun akan segera tergelincir menjadi dekorasi, menjadi ajang kontes atau idolisasi.
Menulis lagi Indonesia
Setelah menyadari ternyata Indonesia merupakan serpihan-serpihan yang tak dapat didefinisikan selayaknya benda konkret, akan disadari pula bahwa semua pihak yang mendefinisikannya hanyalah sedang menyusun serpihan-serpihan tersebut menurut kepentingannya. Menulis Indonesia pun menjadi sebuah kegiatan politik.
Dan Indonesia selalu dikontestasikan, tidak melawan ”I Hate Indon”, blog yang terang-terangan menghina Indonesia. Seharusnya kita berterima kasih kepada kelompok rasis itu karena hinaan-hinaannya telah menggugah sentimen nasionalisme banyak orang.
Namun, yang jauh lebih berbahaya adalah benda-benda yang paling dekat dengan kita sendiri. Seperti televisi, internet, majalah, atau media lain yang sibuk membariskan puji-puji narsistis, yang membuat manusia dapat dengan mudah mengalami degradasi kewaspadaan-diri.
Tetapi, setelah menyodorkan tampilan negeri yang serba baik, apa yang mereka bisa tawarkan, selain kegamangan akan sebentuk kepuasan yang artifisial? Dan kita yang terus mengonsumsi kepuasan artifisial tidak akan pernah mendapati diri kita sendiri.
Tetapi, apatisme semacam itu kini sudah berakhir, saat kita sadar bahwa diri manusia adalah sesuatu yang spesial, yang selalu mencari jati diri yang sebenarnya. Dan di sini, ia adalah makhluk yang selalu mencari Indonesia di dalam dirinya. Walau akhirnya yang ditemukan ternyata ”hanya” serpihan-serpihan berlabel ”Indonesia”.
Memperjuangkan Indonesia adalah menyusun serpihan-serpihan ini, dimulai dari diri, keluarga, kawan-kawan terdekat, sehingga sebuah lokasi di mana Indonesia berada dapat diidentifikasi dalam diri. Dan diri tak akan malu atau enggan, meski serpihan itu harus bercampur dengan serpihan dari luar. Sebab, semua akan kembali kepada diri yang sadar, kepada narasi sejarah di mana ia berpihak.
* Geger Riyanto, Pemerhati Masalah Kemasyarakatan; Pegiat Bale Sastra Kecapi
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 April 2008
No comments:
Post a Comment