Tidore, Kompas - Peserta Arung Sejarah Bahari III di wilayah perairan dan Kepulauan Provinsi Maluku Utara mencoba mengaktualisasikan hukum adat sasi untuk konservasi bahari. Kearifan lokal itu semakin hilang seiring dengan perubahan tata pemerintahan Orde Baru yang tidak memberi peran kekuasaan masyarakat adat untuk menegakkan hukum adatnya.
Demikian dikemukakan Vidro FM Salamor, peserta Arung Sejarah Bahari III dari Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Rabu (23/4) di Tidore, Maluku Utara. Vidro menulis makalah Sasi sebagai Bentuk Konservasi Lokal dan Sarana Integrasi Bangsa Menuju Maluku Baru, yang masuk nominasi 10 makalah terpilih dari 94 mahasiswa peserta kegiatan tersebut. ”Konflik di Maluku dalam beberapa tahun yang membuat frustrasi sosial juga berdampak generasi muda menjadi tidak peduli kepada hukum adat sasi,” kata Vidro.
Hukum adat sasi bagian dari perencanaan ekologi. Vidro mencontohkan, tanda sasi atau larangan sering diberikan pada kawasan terumbu karang agar tidak dieksploitasi ikannya. Larangan itu dikeluarkan oleh ketua-ketua masyarakat adat atau raja. Sanksi terhadap pelanggaran, menurut Vidro, akan diterapkan berupa denda materi, dikucilkan, atau sanksi bersifat magis, misalnya tiba-tiba sakit dan hanya bisa disembuhkan dengan doa-doa tetua adat atau pemuka agama.
Akademisi Universitas Pattimura, John Pattikaihatu, yang turut serta dalam kegiatan Arung Sejarah Bahari III, mengatakan, hukum adat sasi sebagai kearifan lokal untuk melindungi lingkungan berkembang sejak lama sebelum ada pengaruh dari para pedagang Gujarat Arab yang berdatangan ke Maluku untuk mencari rempah-rempah pada abad VIII, juga penjelajah bangsa-bangsa Eropa pada abad XV. (NAW)
Sumber: Kompas, Kamis, 24 April 2008
No comments:
Post a Comment