-- Damhuri Muhammad*
KETIDAKNYAMANAN personal paling parah yang kerap dialami seorang pengarang adalah ketika ia dihadang pertanyaan, apa pekerjaan Anda? Pengarang itu selalu kesulitan merumuskan jawaban. Sebab, "pekerjaan" menurut pemahaman umum tentulah sebuah profesi permanen yang memungkinkan seseorang memiliki seragam kerja, institusi (tempat ia bekerja), dan yang paling mutlak adalah standardisasi gaji resmi, (bila perlu harus dijelaskan pula perihal kemungkinan pendapatan tak resmi).
Barangkali agak naif bila pengarang itu jujur menjawab, pekerjaan saya adalah mengarang. Kalimat itu hanya akan mengerinyutkan kening si penanya. Sebab, jawaban si pengarang tidak menunjukkan indikasi bahwa setiap hari ia ngantor, tidak pula menunjukkan selama ngantor ia memakai seragam kerja, apalagi soal standardisasi gaji. Dan, akan lebih membingungkan bila jawabannya, pekerjaan saya mengarang fiksi. Aha, apa pula itu?
Kebingungan macam ini sudah jamak di kalangan pengarang yang hidup di sebuah kurun di mana menjadi kaya lebih terhormat daripada menjadi tekun dan teguh pada sebuah pilihan. Oleh karena itu, yang sesungguhnya hendak ditanyakan bukanlah soal pekerjaan yang sedang ditekuni, melainkan lebih ditekankan pada berapa banyak uang yang bisa diraup dari pekerjaan itu. Celakanya, si pengarang tidak pernah mampu memberi jawaban memadai. Maka, sepanjang ia menjawab bahwa pekerjaannya adalah mengarang, jawaban itu tidak akan pernah memuaskan. Sebab, (bagi si penanya) aktivitas mengarang bukan (setidaknya belum layak disebut) sebuah pekerjaan.
Ranah sastra (puisi, cerpen, dan novel) memang medan yang masih rapuh untuk diandalkan sebagai pijakan identitas bagi yang tekun dan bersetia menggelutinya. Seorang cerpenis pernah berkeluh kesah, sejak malang melintang di dunia "percerpenan", belum pernah ia beroleh pengakuan bahwa menulis cerpen adalah sebuah pekerjaan sebagaimana layaknya profesi lain, misalnya dokter, guru, karyawan swasta, pengusaha atau tentara. Alih-alih menemukan justifikasi yang dapat memicu semangat kepenulisannya, justru yang diterimanya tak lebih dari cibiran dan sinisme yang kerap melumpuhkan mentalitas kepengarangannya. Namun, ia nyaris tidak pernah berhenti mengarang. Tak ada kegiatan yang diminatinya kecuali mengarang. Asyik bergumul dengan ide-ide ganjil yang kemudian diterjemahkannya ke dalam paragraf-paragraf cerita. Dikirimkannya ke redaksi koran. Naskahnya ditolak dengan alasan-alasan klise dan basa-basi, lalu dikirimkannya lagi naskah baru, ditolak lagi, dikirim lagi, begitu seterusnya. "Mengirim tulisan ke redaksi koran itu seperti ‘berjudi’, ndak jelas," begitu nasihat Nur Kholik Ridwan (2001) pada cerpenis itu agar ia mencari alternatif lain, selain mengarang. Akan tetapi, ia bersikukuh ingin bertahan sebagai pengarang.
Lain lagi ceritanya dengan cerpenis yang satu ini. Di bagian awal buku antologi cerpennya ia menulis catatan pengantar, "Seandainya saya kaya, punya banyak uang mungkin saya akan menjadi pedagang mobil atau meneruskan sekolah setinggi mungkin. Lalu, menjadi menteri, rektor, wali kota, bupati atau apa saja yang enak-enak. Tapi sayangnya, saya hanya punya mesin tik butut yang dihibahkan secara turun-temurun dari kakak-kakak saya. Setiap malam jari-jari tangan saya menari-nari di atas tuts mesin tik yang makin lama saya rasakan makin menguras energi. Tapi saya melakukannya dengan senang. Saat itu terbayang sejumlah honor dan nama saya terpampang di koran-koran. Tapi, hidup saya lebih sering jungkir balik daripada lurus, mulus apalagi merangkak ke atas." (Teguh Winarsho AS, 2005)
Menurut catatan Alex Supartono (Kompas, 25/04/04), redaktur koran tertentu menerima tak kurang dari 30-40 cerpen per minggu. Bahkan ada satu koran yang kedatangan 60-100 cerpen per minggunya. Diperkirakan tiap tahun, lebih dari 6.000 naskah cerpen menumpuk di meja redaksi beberapa koran yang belakangan ini dianggap sebagai barometer perkembangan cerpen Indonesia. Data ini menjelaskan betapa sulitnya seorang pengarang meloloskan naskahnya untuk bisa dimuat. Lalu, setelah redaktur memuat cerpennya, honorarium yang bakal diterimanya masih jauh dari cukup. Itu pun tidak bisa langsung diterima. Pihak koran punya aturan main tersendiri dalam pencairan honor. Setidaknya, ia mesti menunggu satu minggu terhitung sejak tanggal pemuatan (ini yang paling cepat). Jika belum dikirim, cerpenis itu harus menghubungi divisi keuangan koran tersebut, menagih (mengemis?) agar honornya segera dikirim. Lebih menyedihkan lagi, ada cerpenis yang namanya sudah "jelas-jelas" terpampang di koran tertentu, tapi tidak menerima honor sama sekali. (Mungkin ia kurang berani atau malu menagih, mungkin pula pihak koran yang tak berkesadaran membayar upah "buruh" sebelum kering "peluh" di kuduknya).
Dalam konteks kepenulisan sastra, menulis itu semacam rencana, di mana seorang pengarang ingin membangun estetika hidupnya. Dengan menulis, orang ingin menyatakan apa saja yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Lebih jauh, kepenulisan (schreiben) dan keberadaan-diri (sein) adalah dua hal yang tak terpisahkan (Sindhunata, 2003). Bersenyawanya dua unsur itulah yang menentukan identitas pengarang. Akan tetapi, bagaimana mungkin pengarang dapat membangun identitasnya ketika yang ia miliki hanya ketekunan dan konsistensi (bertahan sebagai pengarang) tanpa penghargaan yang patut pada karyanya? Seterusnya bagaimana mungkin pengarang (baca: cerpenis) dapat hidup layak ketika "harga" satu naskah cerpen hanya cukup untuk "beli kerupuk"?
Khusus dalam kepengarangan cerpen, memang ada cerpenis yang memilih jalur komunikasi informal dengan para redaktur koran dan memanfaatkan "hubungan baik" itu untuk melicinkan jalan agar setiap naskahnya dilayakmuatkan. Jalan ini dapat dimengerti, sebab mereka tak punya pilihan lain. "Dapur mesti ngepul," begitu mereka membela diri. Akibatnya, yang terpampang di rubrik cerpen, nama-nama itu melulu. Seolah-olah nama-nama itu hendak memonopoli ruang sempit yang tersedia hanya sekali seminggu.
Dengan demikian, di manakah identitas kepengarangan dapat terbaca bila proses kreatif hanya demi uang? "Jalan pintas" yang ditempuh para pengarang seperti diceritakan di atas sejatinya amat "berbahaya". Betapa tidak? Mereka tidak lagi (setidaknya abai) mempertimbangkan kualitas karya. Cerpen-cerpen yang mereka lahirkan tak lebih dari kisah picisan yang meski amat puitis dan memikat, tetapi gersang dan kehilangan roh. Meski melimpah, tapi murah. Alih-alih meraih "prestasi literer" atau meningkatkan kualitas capaian estetik, jauh-jauh sebelum naskah cerpen ditulis dan dikirimkan ke meja redaksi, di dalam kepala mereka sudah terbayang sejumlah uang. Lebih fatal lagi, ketika seorang cerpenis nekat mengirimkan satu naskah cerpen untuk tiga koran (sekaligus) hanya dengan siasat mengubah redaksi judul. Kenekatan macam ini tentulah akibat dari murah dan rendahnya harga sebuah karya. "Meski honornya sedikit, tapi jika dimuat di tiga koran lama-lama jadi bukit," begitu biasanya mereka berkilah.
Setelah menempuh "jalan pintas", siasat dan tabiat nekat macam itu, lantas apakah kegiatan mengarang sudah dapat disebut pekerjaan? Jawabannya tentu tidak! Karena, ternyata para pengarang tetap saja mengeluh hidup payah, kere bahkan banyak pula yang terlilit utang. "Pengarang itu memang kere, jika tidak kere bukan pengarang namanya," kelakar seorang kawan pengarang. Tapi, apa boleh buat! Sudah kepalang basah! Mereka tidak akan menyerah. Terus akan mengarang dan mengarang. Setidaknya "mengarang-ngarang" formulasi jawaban yang jitu bila masih ada yang latah bertanya, apa pekerjaan Anda?***
* Damhuri Muhammad, Pengarang
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008
No comments:
Post a Comment