JAKARTA, KOMPAS - Meledaknya jumlah penonton film Ayat-ayat Cinta yang mencapai lebih dari 3 juta orang dinilai sebagai sebuah pencerahan dalam industri perfilman di Indonesia. Namun, sebelum sukses itu diraih dan hasilnya dikagumi banyak orang, betapa kreativitas dan kegigihan sang sutradara juga menentukan. Yang dikhawatirkan, jika banyak seniman yang mengekor dengan membuat film lain yang berjudul menggunakan kata ”cinta”, akan timbul kejenuhan penonton.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi kontemporer novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan film Ayat-ayat Cinta, yang skenarionya ditulis Salman dan Dina dengan sutradara Hanung Bramantyo, di Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Jakarta, Rabu (9/4). Sebagai pembicara kunci adalah Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Diskusi juga menghadirkan Habiburrahman El Shirazy serta seniman yang juga seorang sutradara dan penulis skenario, Jack Sorga.
Adhyaksa mengatakan, fenomena di industri sinetron dan perfilman di Tanah Air adalah latah dan suka mengekor karya yang sukses. Di televisi semula ada tayangan bertema religi, lalu diikuti seniman lain. Begitu pun tayangan bertema seks dan horor. ”Terkesan kreativitas seniman yang mengekor,” kata Adhyaksa.
Jack Sorga mengatakan, antara novel dan film sulit dibandingkan. Di novel, pembaca sejak lembar pertama seperti tak sabar untuk membaca sampai tuntas, sedangkan di filmnya tentu hanya mengambil bagian cerita yang bisa mewakili.
”Kita tidak bisa membandingkannya. Novel khusus untuk yang cinta membaca, sedangkan film dibuat untuk semua orang. Jadi, wajar ada perbedaan dan kritik di film itu,” ujarnya.
Terlepas ada penilaian yang beragam dari pembaca dan penonton, Habiburrahman El Shirazy mengaku puas. ”Secara umum saya puas. Memang tidak semua saran kita bisa diterima,” ujarnya. (NAL)
Sumber: Kompas, Kamis, 10 April 2008
No comments:
Post a Comment