-- Yeni Mulyani*
UNGKAPAN "Kita? Elo aja kali gua enggak" akhir-akhir ini begitu populer dan sering terdengar di sebuah stasiun televisi. Sebenarnya, apa yang aneh dari ungkapan itu? Tentu saja, karena kata kita, pengganti persona pertama jamak, dipakai oleh seorang sebagai pengganti persona pertama tunggal. Pemakaian kita yang dipandang janggal karena tidak mewakili orang banyak langsung diprotes "elo aja kali gue enggak" mengimplikasikan orang yang diajak bicara tidak terlibat dalam pembicaraan si pembicara. Pembicara seharusnya memakai kata ganti persona pertama tunggal, aku atau saya.
Sesungguhnya, ungkapan "Kita? Elo aja kali gua enggak", merupakan seloroh atau sekadar selingan dalam sebuah acara agar suasana menjadi tambah hangat, tetapi setidaknya dapat menggambarkan bahwa pemakaian kita dan aku masih rancu. Begitu pula dengan pemakaian kata ganti persona lainnya, seperti kata aku dan saya. Bahasa Indonesia mengenal dua bentuk kata ganti persona pertama tunggal, aku dan saya. Pertanyaannya, apakah kedua kata itu dapat sepenuhnya saling menggantikan? Aku dan saya masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaiannya.
Aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal. Misalnya oleh dua orang yang saling mengenal atau di antara mereka yang akrab. Oleh karena itu, risih juga melihat para artis memakai aku saat berkomunikasi dengan pemirsa karena antara si artis dan pemirsa tidak saling kenal, apalagi akrab. Aku dapat diganti saya karena saya selain dapat digunakan dalam situasi formal, juga dapat digunakan dalam situasi informal.
Kata saya akan lebih aman digunakan sebagai kata ganti persona pertama tunggal karena dapat dipakai dalam situasi formal dan informal. Di samping itu, saya tidak bermarkah, sedangkan aku bermarkah keintiman.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa aku dipandang sebagai kata ganti persona pertama tunggal asli dalam bahasa Indonesia. Aku memang digunakan di beberapa wilayah di Indonesia, semisal dalam bahasa Sulawesi, Dayak (Kalimantan), Jawa, Sumatra, dan Melayu.
Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa bentuk asli kata ganti persona pertama tunggal adalah aku. Bahwa aku merupakan bentuk kata ganti persona pertama asli dalam bahasa Indonesia, tampak pula dalam kefleksibelannya yang tidak dimiliki oleh bentuk saya (aku memiliki bentuk terikat -ku, sedangkan saya tidak).
Apabila menyimak karya-karya Pramoedya Ananta Toer, terutama karya-karya yang muncul di awal kepengarangannya, pemakaian kata ganti persona pertama di sana sangat menarik. Pram memakai tiga bentuk kata ganti persona pertama, yaitu saya, aku, dan daku. Sepintas, pemakaian bentuk kata ganti persona pertama yang berbeda-beda itu memang tidak aneh, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut atas dasar konteks wacananya tampak tujuan pengarangnya mengapa memilih aku, saya, atau daku.
Munculnya bunyi (d) pada daku tiada lain pengaruh bunyi (n) yang mengakhiri preposisi seperti akan atau dengan yang diikuti bentuk yang diawali dengan bunyi d. Fenomena ini dapat diketahui dalam teks-teks lama, misalnya dalam kalimat "Dengan hal yang demikian menjadi kasihlah keduanya itu akan daku dan aku pun kasihlah akan dia." Bunyi d tidak muncul setelah preposisi yang tidak berakhir dengan bunyi (n), seperti dalam kalimat "Jikalau seperti aku ini orang-orang miskin."
Bentuk daku dalam bahasa Indonesia --di bidang-bidang ilmu atau ranah-ranah lain-- jarang ditemui. Daku dapat ditemukan dalam laras sastra teristimewa laras puisi. Bentuk daku yang secara sintaktis ada di sebelah kiri dalam puisi modern semata-mata muncul untuk menggantikan bentuk aku seperti daku sedih ditinggal kekasih.
Akan tetapi, dalam karya Pramoedya Ananta Toer daku muncul bersama-sama dengan bentuk aku. Jadi, kedua-duanya dipakai oleh Pram untuk tujuan yang berbeda. Meskipun berfungsi sebagai kata ganti persona pertama, apabila dilihat konteks kalimatnya dan dipandang atas dasar peran dalam kalimatnya aku dan daku memiliki peran yang berbeda. Hal ini pun menjadi menarik karena Pram di dalam karyanya menggunakan ragam daku dan aku dalam peran yang lain. Kekonsistenan Pram dalam menempatkan bentuk daku dan aku tetap terjaga sehingga menunjukkan bahwa pengarang sengaja memakai kedua kata ganti persona untuk peran yang berbeda.
Penggalan cerpen "Cerita dari Blora" akan menjelaskan hal itu, "Aku mendengarkan cerita dari ayah. Di waktu-waktu itu nampak olehku adanya kegugupan yang meraba kehidupan kota kecil kami." Dalam penggalan itu hadir aku atau -ku sebagai kata ganti persona pertama yang berperan agentif atau pelaku yang melakukan perbuatan. Sementara itu, dalam kalimat, "Ayah sangat menyayangi daku, …mencintai daku, …menangkap daku, …dipeluknya daku, diciumnya daku…." Bentuk daku dalam kalimat itu berperan objektif.
Contoh berikutnya, "Aku berdiri seorang diri di belakang gubug. Tangis Puli menuduh daku bersalah dan yang salah harus dihukum. Aku termanggu mematung di tengah hujan. Badanku mulai menggigil, namun alam ini belum juga puas menghukum daku." Dalam kalimat tersebut tampak Pram menggunakan aku untuk menunjukkan pelaku perbuatan, sedangkan untuk menunjukkan peran objektif atau sasaran perbuatan, menggunakan daku.
Pramoedya Ananta Toer memang terkenal sebagai pengarang yang memiliki kekuatan dalam gaya pengucapan yang terekspresikan lewat bahasa. Kata-kata Pram bisa tajam seperti pedang, bisa juga menimbulkan berbagai rasa lain, dan semangat yang berapi-api.***
* Yeni Mulyani, Bekerja di Balai Bahasa Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 April 2008
No comments:
Post a Comment