Tuesday, April 22, 2008

STA: Puisi dan Modernitas (3-Tamat)

-- Goenawan Mohamad*

MERAYAKAN ”manusia perkasa” itulah agenda modernitas STA. Baginya, merekalah generasi muda yang terpelajar. Serunya:

Jangan tanggung jangan kepalang

Bercita mencipta

Bekerja memuja,

Berangan mengawan,

Berperang berjuang

Sajak ini (lengkapnya enam stanza) yakin, riang, penuh anjuran, dibangun oleh derap kata yang berpadanan. Dengan itu, ia maju. Lempang.

Tapi ada yang tenggelam di dalamnya: bunyi yang beda. Efek yang timbul dari prosodi dan pesan yang diulang adalah kesamaan. Yang terbayang oleh saya dari sajak ini: sebuah iklan mobilisasi untuk membentuk batalion besar. Tapi dengan itu, puitika Takdir adalah estetika dengan subyek yang terombang-ambing di dua posisi.

Di satu posisi, kata Takdir, ”diri si penyair yang terpenting.” Itu sebabnya, kata STA pula, antologi Puisi Baru disusunnya berdasar nama dan riwayat ”penyairnya satu per satu”.

Tapi di posisi lain, sang penyair seakan-akan pudar. Ia di bawah kuasa—untuk memakai kata Tatengkeng—”perasaan seni”. Perasaan itu malah dipanggilnya dengan akrab, tapi takzim: ”Kau” (ingat: ”K”).

Takdir mengutip sajak Tatengkeng ini sebagai bagian dari proklamasi ”puisi baru”:

Jika Kau datang sekuat raksasa,

Atau Kau menjelma secantik juita,

Kusedia hati akan berbakti,

Dalam tubuh Kau berkuasa

Dalam dada Kau bertahta!

”Tubuh” dan ”dada”: seperti saya telah katakan di awal, ”puisi baru” memaklumkan bahwa wilayah pertama puisi adalah tubuh, tetapi yang belum dijelaskan adalah di mana gerangan subyek: adakah dalam tubuh itu, dalam keadaan subsimbolik itu, satu pusat yang sadar? Di mana pentingnya subyek penyair?

Subyek itu sayup-sayup. Bagi Takdir, sajak ibarat ”nyanyian unggas di dahan” atau ”teja” di ”langit-senja”: hadir tanpa dirancang. Sang penyair (seperti Tatengkeng) pasif, ”tak dapat menahan kalbunya [yang] mengeluarkan tempik sorak yang gemuruh datang membanjir”.

Tapi Takdir kemudian juga meneguhkan yang sebaliknya. Dalam Kebangkitan Puisi Baru ia justru melihat sang subyek sebagai pengarah bentuk. Ia kritik sebagian sajak Armijn Pane yang cenderung ”menjadi anarki”. Dalam mengecam puisi Chairil, kata ”anarki” itu juga berkali-kali disebut.

Artinya, sebuah puisi adalah sebuah arsitektur. Bahkan, seperti saya kutip di di bagian II tulisan ini, bagi STA, dalam puisi modern pun ucapan dipilih sang penyair (”dengan sengaja”)–tak seperti yang diisyaratkan Mallarmé: sang penyair-lah yang dibimbing kata, bukan sebaliknya.

Pada akhirnya Takdir mendapuk subyek sebagai pemimpin proyek. Proyek itu, katanya di tahun 1986, adalah untuk jadi ”tenaga positif dalam krisis kebudayaan semesta yang meliputi dunia sekarang”. Atau, seperti katanya di tahun 1937, untuk ”reconstructie arbeid” dalam ”zaman pembangunan”.

Sastra akhirnya adalah ekonomi kebebasan: ketika keadaan kolonial tak memungkinkan luasnya kebebasan politik, bagi Takdir, ada kemestian untuk tak menghamburkan kebebasan puitik. Menjelang akhir tahun 1930-an itu, ia tak lagi bicara tentang perlu ”bangunnya jiwa yang terikat”. Ia juga tak lagi bicara tentang perasaan yang ”berombak dan beralun” lewat jutaan ”jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh”. Tubuh, wilayah awal puisi, telah dikorbankan.

IV

Di dasar puisi ada ritme. Takdir menggambarkannya sebagai ”ayunan perasaan yang mengombak dan mengalun”. Perasaan itu berkecamuk dalam dan tampak lewat tubuh, ”pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka”.

Namun, akhirnya kita tahu, peran tubuh dalam puitika STA terbatas. Takdir sepenuhnya pra-Freudian. Ia tak menganggap subyek terbelah: di satu sisi, dalam tubuh ada bawah-sadar; di sisi lain, ada tata simbolik, ada bahasa. Tata itu disusun oleh ”Mereka” (masyarakat, otoritas ini dan itu), yang ikut membentuk penanda ”aku”.

Teori STA ditulis pada tahun 1930-an, dalam Poedjangga Baroe yang tak pernah tampak tertarik pada psikoanalisa Freud, Surrealisme, atau novel seperti Ulysses. Makna ”individualitas” Takdir sepenuhnya turunan ideologi Pencerahan pra-abad ke-20, bahkan sisa keyakinan zaman Renaissance: individualitas adalah subyek, awal yang terang dan stabil dalam proses kreatif. Khas pandangan pra-Freudian, teori Takdir menganggap ”kekreatifan seni” lahir dari ”rohani”. ”Rohani” ini produktif. Tulis STA dalam sebuah referat tentang kreativitas seni: ”Hanyalah dari pengamatan rohani bangkit sesuatu yang dapat dilihat dengan pancaindera”.

Dari sinilah Takdir memecahkan persoalan yang saya sebut di awal. Ia memang melihat pertautan yang somatik dengan le semiotique dalam bahasa puisi. Le semiotique, dalam pengertian Kristeva, berbeda dengan la semiotique yang dikenal sebagai ”ilmu tentang tanda”. Yang hendak ditunjukkan Kristeva adalah dimensi pengalaman manusia di mana dorongan naluriah berdampak, bahkan larut ke dalamnya.

Di situ bahasa terbentur. Yang muncul, membayang tapi luput, adalah sesuatu yang tak dapat dirangkum makna: energi somatik itu, chora, mendorong impuls puitik—ritme dan bunyi murni— sebelum sang penyair terbentuk sebagai subyek yang sadar. Seperti kita temukan dalam sajak 1943, bahasa puisi, seperti kata Kristeva, adalah ”sebuah laku yang meletakkan bahasa apa pun di pinggiran”.

Berlawanan dengan itu, Takdir menganggap kata dalam puisi modern yang ”sering gelap dan penuh rahasia” sebagian dari kesengajaan desain. Kita ingat, ia berpikir dalam puisi pasti akan tercapai ”selarasnya bahasa dengan perasaan yang dicurahkan”. Dengan mengasumsikan pastinya transparansi, ia meniadakan munculnya yang ekstra-simbolik dari tubuh ke dalam bahasa puitik.

Mungkin itu sebabnya STA bisa menyempitkan variasi fonemik dan membuat anasir akustik itu tak melejit-lejit dalam puisinya. Dalam prosanya ia bahkan hanya memakai vokal ”a” di akhir kata dan menghilangkan bunyi ”ê” dan ”eu” serta meniadakan paduan konsonan yang saling merapat. Praktis ia potong bunyi yang merupakan gema gejolak puisi dalam tubuh. Pemenggalan unsur somatik ini—le meurtre du soma, kata Kristeva—membuat puisi sepenuhnya satu bangunan semantik.

Maka, berlakulah sebuah substitusi bagi puisi: kita sebut saja ”prosa”. Bila wilayah awal puisi adalah tubuh, wilayah prosa adalah kekuasaan. Prosa, yang sadar akan tujuannya sendiri, adalah wacana yang bergerak ke arah satu titik yang kuat dan terang. Ke sanalah segala yang tak terduga, yang menyimpang, yang kelam, harus dikalahkan. Bahasa puisi adalah sebuah ancaman.

Maka prosa: itulah wacana ”zaman pembangunan”. Artinya juga agenda penaklukan—yang dalam sejarah Indonesia pernah kita alami: seonggok hasil dengan seonggok pengekangan.

Brugge, 4 April 2008

* Goenawan Mohamad, Penyair dan Esais

Sumber: Kompas, Minggu, 20 April 2008

No comments: