-- Wasmi Alhaziri*
PADA 18 Agustus 2001, keheningan pagi buta kota Semarang tiba-tiba dipecahkan oleh derum genderang bertalu-talu. Pagi itu, warga kota Semarang, terutama masyarakat Tionghoa, seakan-akan dipaksa untuk lebih awal bangkit dari tempat tidurnya.
Mereka kemudian berdiri berjajar di sepanjang jalan, menyambut dan menghormat arak-arakan leluhur utama yang menjadi dewa pelindung mereka, Dewa Sam Poo Kong dari Kelenteng Tay Kak Sie Gang, Lombok, ke Kelenteng Sam Poo Kong, Gedong Batu. Ini adalah perayaan ritual khas Tionghoa. Perayaan ini diikuti oleh ribuan orang yang datang tidak hanya dari beberapa kota di Jawa, tetapi juga dari daerah lain di Indonesia, bahkan ada yang datang dari Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Amerika Serikat.
Bagaimana perayaan ritual Tionghoa sebesar ini terjadi di sebuah kota di Pulau Jawa? Semuanya berawal dari Dewa Sam Poo Kong, sebuah nama lain dari Laksamana Cheng Ho yang kemudian dijadikan dewa. Itulah perayaan besar-besaran tahun kedua yang dilakukan masyarakat Tionghoa Semarang secara terbuka, setelah lebih dari tiga dasawarsa dilarang dipentaskan oleh rezim Orde Baru.
Kebesaran nama Laksamana Cheng Ho ini pula yang terungkap dalam delapan tulisan dari tujuh penulis buku Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara yang disunting oleh Leo Suryadinata, mantan guru besar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, sekarang menjadi Direktur Chinese Heritage Centre Singapore dan guru besar di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University.
Buku tentang Cheng Ho ini berasal dari panel yang diselenggarakan oleh Huayinet (Singapura) dan Ohio University Materials on the Chinese Overseas pada Agustus 2005. Panel ini adalah bagian dari konferensi internasional dengan tema ”Chinese Overseas and Maritime Asia 1405-2005” dan dikaitkan dengan peringatan 600 tahun pelayaran monumental Cheng Ho yang jatuh pada tahun 2005.
Beberapa teori
Sam Poo Kong atau San Bao Da Ren atau juga Sam Poo Tay Djien adalah gelar dari seorang kasim bernama Laksamana Zheng He atau Cheng Ho yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yong Le atau Zhu Di (memerintah 1403-1435) dari Dinasti Ming. Dia adalah seorang Muslim, anak seorang haji bernama Haji Ma. Demi menunaikan tugas Kaisar Yong Le untuk menjalin persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan tetangga di Asia, India, Afrika, dan Arab, ia memimpin tujuh kali ekspedisi sejak 1403 hingga 1433 yang berkekuatan lebih dari 300 kapal laut besar-kecil dan lebih dari 27.000 awak kapal.
Dari catatan sejarah lokal yang berasal dari arsip Kongkoan Semarang yang disusun Liem Thian Joe menjadi buku Riwajat Semarang 1416-1931: Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan (1933), menyatakan bahwa: ”Doeloe, dimasa baginda Soan Tik bertachta, ada satoe thaykam jang bernama Ong Sam Poo, jalah jang sekarang diseboet Sam Poo Kong; ia dapet titah boeat tjari itoe moestika, maka bersama The Hoo dan lain-lain lagi laloe berlajar ka seblah Oetara [sic], [mestinya ke Selatan, WA]. Ia lebih doeloe mendarat di Djambi, laloe toeroen di Bantam, kamoedian dateng di Semarang.”
Armada Cheng Ho diperkirakan mengunjungi Jawa pada tahun 1405, 1407, dan 1409. Dari berbagai teori yang ada tentang kedatangan Cheng Ho, Suryadinata menyatakan bahwa armada itu diperkirakan berlabuh di Simongan, yaitu salah satu daerah di Semarang yang dipercaya masyarakat sebagai tempat mendarat armada Cheng Ho antara tahun 1405 dan 1407.
Sumber-sumber tradisional China yang banyak digunakan tentang kunjungan Cheng Ho di Jawa adalah catatan perjalanan Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan (Pemandangan Indah di Seberang Samudera). Dari sumber itu dikatakan bahwa meskipun mengunjungi Jawa sebanyak enam kali, tidak ada catatan mengenai Semarang.
Teori lain yang menyatakan bahwa Cheng Ho singgah di Semarang pada 1413 berasal dari MO Parlindungan dalam bukunya, Tuanku Rao (1964), yang sarat dengan campuran antara dokumen-dokumen dalam bahasa Melayu Tionghoa tentang fakta sejarah dan fiksi yang menyertainya.
Terakhir, teori yang diajukan oleh Kong Yuanzi tentang kemungkinan salah satu armada Cheng Ho tiba di Semarang. Kong sangat berhati-hati dalam menilai pelayaran Cheng Ho dan hanya mengatakan ”kemungkinan” datangnya salah satu kapal Cheng Ho, bukan Cheng Ho sendiri ke Semarang atau daerah dekat Semarang (halaman 91-97).
Selama singgah di beberapa tempat tersebut, Cheng Ho dan anak buahnya berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan mengajarkan berbagai macam keterampilan di bidang pertanian, pertukangan, kesenian, dan pengobatan. Beberapa anak buah Cheng Ho tidak meneruskan perjalanan dan menetap di daerah itu. Mereka inilah yang membentuk komunitas Tionghoa pertama di Semarang. Atas jasa Laksamana Cheng Ho yang bergelar San Bao Da Ren/Sam Poo Kong dalam meletakkan dasar kebudayaan kehidupan bermasyarakat, masyarakat Tionghoa di daerah tersebut mengangkatnya sebagai Leluhur Utama, bahkan kemudian mengangkatnya sebagai Dewa Pelindung.
Sumber sejarah lainnya adalah buku The Chinaman Abroad: or a Desultory Account of the Malayan Archipelago, particularly of Java. (1849), karya Ong Tae-hae, seorang pengelana China yang pernah bermukim di Jawa pada abad ke-18. Karya ini menuturkan bahwa di Sam Pa Lang (Semarang) telah terdapat komunitas Muslim dan merupakan salah satu tempat persinggahan orang-orang China yang berlayar menuju Jawa.
Misi Cheng Ho, menurut A Dahana di dalam buku ini, adalah misi diplomasi kebudayaan yang bertujuan menjalin hubungan dengan berbagai negeri atas dasar tributary relationship system. Sistem ini tidak dapat disamakan dengan imperialisme dan kolonialisme Barat pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 karena ia merupakan sistem upeti yang tidak memaksakan penjajahan Cina (Tiongkok), tidak mencari pasar dan tidak menempatkan tentara di negeri para pemberi upeti. Bagi Cina, sudah cukup bila negeri-negeri yang dikunjunginya mengakui kebesaran kekaisaran Cina (halaman 35-36).
Armada Cheng Ho membawa banyak pelaut, termasuk di dalamnya para penerjemah, tabib, astronom, farmakolog, teknisi, dan protokol untuk menangani tugas-tugas diplomatik. Dalam pelayarannya, Cheng Ho dan armadanya telah mengarungi berbagai negeri hingga mencapai benua Afrika, suatu hal yang tidak sulit baginya untuk mencapai benua Amerika, yang hampir satu abad kemudian Columbus dan armadanya menjejakkan kakinya hanya dengan tiga kapal dan 90 pelaut.
Kemungkinan armada Cheng Ho mendarat di benua Amerika dibahas di dalam buku karya Gavin Menzies, 1421: The Year China Discovered the World (2002), sebuah buku best seller, yang menyebutkan bahwa armada Cheng Ho mendarat di benua Amerika dan mengelilinginya jauh lebih awal ketimbang Magellan dan Columbus. Meski demikian, di dalam buku ini, RZ Leirissa membahasnya dan menyatakan bahwa bukti-bukti yang dikumpulkan Menzies masih belum konkret dan tidak satu pun peta Cina tentang penemuan benua Amerika itu yang dapat ditemukan kecuali peta Kangnido dan Mao Kun yang tidak mencakup informasi tentang benua Amerika (halaman 6).
Warisan Cheng Ho
Menurut Encyclopedia of World Biography (1973) yang dikutip Kong Yuanzhi di dalam bukunya, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (2000), salah satu kontribusi penting Cheng Ho bagi dunia pelayaran adalah peta navigasinya yang berjumlah 24 buah, selain catatan para pembantu terdekatnya seperti Ma Huan, dengan judul Ying-yai Sheng-lan dan Fa Hien, Xing Cha Sheng-lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Rakit Sakti) tentang negeri-negeri yang dikunjunginya, sebagaimana dikemukakan di atas.
Misi Cheng Ho ke berbagai negeri pada abad XV itu dipandang pula sebagai titik awal suatu ”zaman perdagangan” (the age of commerce) Asia Tenggara. Dinasti Ming (1368-1644 Masehi) tampaknya berupaya menguasai jalur perdagangan laut dari China ke Afrika, yang waktu itu harus berkompetisi dengan para pedagang Islam dan Hindu.
Misi Cheng Ho juga berpengaruh terhadap tumbuhnya perdagangan di kawasan Asia dan Afrika. Melalui misi-misi pelayarannya itu, ia turut mendorong perdagangan rempah-rempah dan tumbuhnya jaringan distribusi komoditas itu ke berbagai kota di Asia Tenggara dan menukarkannya dengan beras, tekstil, dan barang-barang manufaktur.
Warisan terbesar Cheng Ho di Asia Tenggara, menurut Johannes Widodo, adalah semangat kehidupan bersama, sikap toleransi, keterbukaan dan persahabatan antara penganut agama dan kelompok rasial yang berbeda-beda melalui perdagangan dan pertukaran budaya. Maka hasilnya adalah terbentuknya kota-kota pesisir yang merupakan percampuran yang harmonis, ikatan komunitas yang kuat, dan identitas yang unik dari mereka yang hidup di seluruh Asia Tenggara (halaman 73).
Buku ini sangat penting untuk dipelajari karena banyak memuat keterangan baru tentang Cheng Ho. Seperti dinyatakan para penulisnya, kini banyak bertebaran legenda tentang tokoh ini. Data sejarah tentang Cheng Ho bercampur antara legenda sebagai tokoh sejarah dan fakta sejarah. Keduanya menjadi sulit dipisahkan. Misalnya saja data tentang penemuan benua Amerika oleh armada Cheng Ho dan kedatangannya di Semarang masih menjadi perdebatan karena bercampurnya kedua hal tersebut. Oleh karena itu, suatu penelitian lebih lanjut dan menyeluruh yang melibatkan berbagai disiplin ilmu akan memberikan gambaran yang utuh tentang tokoh pelayaran monumental ini.
* Wasmi Alhaziri, Sejarawan
Sumber: Kompas, Senin, 7 April 2008
No comments:
Post a Comment