Sunday, April 18, 2010

Dialog Tradisi dan Kemodernan

TENTANG ada dan tidak adanya pengaruh dari Barat dalam puisi K.T.S dan Kis W.S., memang harus dibuktikan. Untuk itu diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi. Pertanyaan tentang itu antara lain bisa dimulai dengan, dari manakah ide menulis puisi bebas itu mengemuka dalam benak K.T.S dan Kis W.S., sementara tradisi penulisan karya sastra yang ada di Tatar Sunda adalah guguritan, dalam hal ini dangding dan wawacan? Inilah ruang gelap yang harus dibongkar oleh para akademisi sastra. Selain itu, Kis Ws menurut sementara kalangan menulis puisi bebas pada 1946, sedangkan Chairil Anwar dalam puisi Indonesia modern mulai menulis pada 1942 lewat puisi ”Nisan”, yang terkenal itu, ditujukan untuk neneknya tercinta. Kita petik puisinya di bawah ini:

Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertakhta//Oktober 1942

Adakah Kis Ws terpengaruh oleh Chairil Anwar? Puisi Kis Ws yang ditulis pada 1946 (”Ilangna Mustika”), 40 tahun kemudian direvisi lagi oleh penyairnya pada 20 Februari 1986. Konon puisi tersebut untuk pertama kalinya dimuat di majalah ”Warga” pada awal 1950-an, yang kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan. Sayangnya, untuk melacak hal tersebut, penulis kehilangan jejak, disebabkan oleh terbatasnya waktu dan dana dalam upaya pencarian data-data.

Sementara dalam percakapannya dengan penyair Etty R.S. pada 1993 di Gedung Merdeka, di sela-sela acara pemberian Hadiah Sastra Rancage, Kis Ws mengatakan, puisi bebas dalam kesusastraan Sunda sudah ada dalam ”Carita Pantun”. Yang dimaksud bebas oleh Kis Ws dalam ”Carita Pantun” itu adalah, larik-lariknya tidak terikat oleh rima, jumlah larik dalam satu baitnya tidak dipatok sebagaimana dalam pupuh. Tentang hal ini bisa Anda baca dalam buku kecil ”Gelar Ngaguar Galur Kis Ws” (1995).

Jika benar ”Carita Pantun” menjadi titik pijak Kis Ws dalam penulisan puisi-puisinya, maka hal itu menunjukkan satu bukti bahwa antara tradisi dan kemodernan terjadi dialog yang terus-menerus. Yang dimaksud dengan kemodernan dalam hal ini antara lain, bagaimana Kis Ws mendayagunakan sejumlah pilihan kata (diksi) dalam menulis puisinya demikian efektif dalam menggambarkan pengalaman batinnya itu, seperti yang ditunjukan dalam puisinya itu. Kita petik bait pertama di bawah ini:

Lebah ieu peuseur bumi/ nu kamari gonjing ku lini/ ayeuna ngeplak sagara motah/ tineung mubul seah ngagalura//

Empat baris puisinya itu menggambarkan keindahan alam yang semula menakutkan karena digoyang oleh gempa bumi. Alam yang dimaksud dalam puisinya itu, tiada lain laut dan sebuah pantai, dengan ombaknya berdebur senantiasa. Larik-larik puisinya ditulis dengan kalimat yang padat, dan berisi itu bebas dari metafora. Kekuatannya terletak pada dayang, sebagaimana Chairil dalam puisi ”Nisan” yang ditulisnya itu.

Sekalipun demikian, hal itu tetap menimbulkan pertanyaan dalam benak penulis, benarkah Kis Ws tidak dipengaruhi oleh Chairil Anwar? Demikian juga K.T.S dalam menulis puisinya yang mengambil pola empat seuntai? Dari mana pola empat seuntai itu datang dalam puisi Sunda modern, apakah ia bersumber sisindiran? Chairil bisa jadi dalam menulis puisi dengan pola empat seuntai dieksplorasi dari pantun, yang menurut penyair Sutardji Calzoum Bachri, puisi Indonesia modern merupakan turunan dari pantun. Yakni, kalau tidak sampiran, ya isi semuanya, sebagaimana ditulis dalam esainya yang bagus itu, ”Pantun, dalam buku Isyarat: Kumpulan Esai” (Indonesia Tera, 2007). Puisi Chairil tadi, kalau tidak sampiran, ya isi semuanya.

Dalam perkembangan lebih lanjut, bila puisi Sunda modern dalam penulisannya bersentuhan dengan Barat, memang tidak bisa dibantah. Lihat saja puisi yang ditulis oleh R.B. Muik yang aslinya bernama H. Wireja Ranusulaksana, atau lebih dikenal dengan panggilan Ki Umbara (1914-2005) dalam menulis puisinya mengambil bentuk soneta, yang berkembang di Inggris dan Italia. Kita baca puisi tersebut di bawah ini, yang menyarankan satu pikiran atau perasaan yang bulat, akan hubungan manusia dengan Tuhannya:

Murahing Pangéran

Taun-taun henteu dipareng batian
panakané henteu aral ngarasula
tutulisan geus aya ti kalamula
ikhlas haté teu ngabohongan pangéran

Rahmat Gusti lir cai pancuran hérang
ngagelenggeng mayeng ngocor ngagolontor
henteu kiruh sumawona lamun kotor
matak seger diinum kunu hanaang

Ngucap sukur ka Allah anu sifat
murah
geus karasa maparin panjang lalakon
Gunung Gedé, gedé kénéh haté anu
diijabah

Pamungkasna; "Ya Allah mugia éta titipan
mulus banglus hirup huripna teu mubah
mapay jalan anu dipikarido ku Anjeun

Entah tahun berapa puisi tersebut ditulis oleh Ki Umbara, yang disunting Ajip Rosidi dalam antologi puisi ”Sajak Sunda” (Kiblat Buku Utama, 2007), yang ditulis mulai dari generasi M.A Salmun, Sayudi, Godi Suwarna, Acep Zamzam Noor, hingga Eriyandi Budiman. Sebuah antologi puisi yang menarik, disunting Ajip dari berbagai majalah Sunda, surat kabar, dan kumpulan puisi. Berkait dengan itu, sekalipun celah pintu masuk untuk menuliskan kembali apa dan bagaimana perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda modern sudah terbuka, yang dalam tulisan ini dimulai dengan puisi, nyatanya sulit sungguh untuk ditulis secara akademis. Hal itu, antara lain disebabkan sempitnya lahan yang tersedia.

Sekalipun begitu, upaya penulisan ini harus dilakukan, untuk menunjukkan, bahwa apa yang dinamakan interteks dalam dunia sastra Sunda itu ada, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Seperti puisi sonet tadi. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

No comments: