Jakarta - Meski Indonesia kaya akan budaya dan sumber daya alam, daya saing pariwisata dari tahun ke tahun terus menurun.
Indeks daya saing pariwisata Indonesia berdasarkan survei World Economic Forum (WEF) dari tahun ke tahun terus menurun dengan peringkat ke-60 pada 2007, peringkat ke-80 pada 2008, dan peringkat ke-81 pada 2009.
“Pada 2008 kita di posisi 80 dari 131 negara yang disurvei, dan pada 2009 kita turun jadi peringkat 81 negara dari 133 negara yang disurvei WEF,” ujar Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), Firmansyah Rahim, dalam Diskusi Pariwisata bertema Meneropong Daya Saing Pariwisata Indonesia, Forum Wartawan Kebudayaan dan Pariwisata (Forbudpar), di Jakarta, Jumat (9/4) sore.
Firman mencontohkan sebanyak 73 variabel yang dinilai itu meliputi berbagai hal, misalnya untuk kerangka regulasi mencakup kebijakan dan peraturan, kewajaran kepemilikan usaha asing, hak kekayaan intelektual, peraturan terkait investasi asing, persyaratan visa, dan keterbukaan kerja sama open air acces. Mereka juga menilai dalam hal lingkungan yang berkelanjutan, peraturan di bidang lingkungan, emisi CO2, konsentrasi partikulat berbahaya, spesies yang dilindungi, keselamatan, terorisme, hingga keandalan pelayanan polisi.
Indonesia menempati posisi paling bagus dalam hal harga di mana Indonesia mampu menempati ranking ke-3 soal harga yang ditawarkan. “Dari 73 unsur yang menjadi bahan penilaian, yang menjadi domain kebijakan Kemenbudpar hanya 12 unsur. Sisanya, 28 unsur ada di bawah koordinasi instansi lain yang masih memungkinkan dilakukan koordinasi lintas instansi dan 34 unsur lainnya harus dibangun oleh seluruh rakyat Indonesia,” papar Firmansyah.
Investasi
“Peringkat ini memang tidak memengaruhi jumlah kedatangan wisman ke Indonesia secara langsung. Tapi, diperlukan sebagai benchmark dan cara untuk tahu kelemahan kita. Peringkat ini lebih berfungsi ke arah investasi,” lanjut Firmansyah Rahim.
Pengamat pariwisata yang juga PR Consultan dari @ PR, Aselina Endang Trihastuti mengatakan, jika kita bicara tentang pariwisata maka tidak bisa lepas dari marketing. Budaya dan seni bisa dijadikan konten dari pariwisata tersebut. ”Produk budaya kita adalah Bali. Dalam marketing, ini sangat bahaya kalau dijadikan single product,” ujarnya.
Menurutnya, masih banyak budaya dari daerah-daerah lain di Indonesia yang dapat dikemas menjadi paket wisata, selain Bali. Dia juga menilai pemerintah sangat sulit melakukan koordinasi antardepartemen. Bukan hanya itu, koordinasi dengan pemda juga tidak ada, padahal daerahlah yang memiliki potensi pariwisata. ”Kalau antardepartemen sulit dilakukan koordinasi, pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta. Pihak swasta punya CSR yang bisa diarahkan untuk pariwisata,” lanjut Aselina.
Dia menambahkan, hal ini juga memengaruhi merosotnya daya saing pariwisata Indonesia. Ironisnya lagi, biro-biro perjalanan lebih senang mempromosikan paket-paket wisata luar negeri daripada paket-paket wisata dalam negeri. Kalaupun ada paket wisata dalam negeri, hanyalah tempat-tempat yang sudah lama dikenal seperti Bali, Yogyakarta, Lombok. (stevani elisabeth)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 10 April 2010
No comments:
Post a Comment