-- F.X. Aris Wahyu Prasetyo
PENDIDIKAN nasional benar-benar sedang diobok-obok oleh monster yang bernama ujian nasional (UN). Bahkan, hasil dari UN telah berimbas pada berbagai hantaman mental anak-anak bangsa ini. Banyak anak menangis histeris, depresi, bahkan mencoba bunuh diri dengan berbagai cara tatkala mendapati diri mereka tidak lulus UN. Selain itu, ada yang harus berperilaku anarkis dengan merusak gedung sekolah, fasilitas umum lainnya, bahkan menganiaya teman-teman mereka yang berhasil lulus UN.
Anarkisme mulai merasuk ke dalam dunia pendidikan. Namun, kita tidak bisa begitu saja menghakimi anak-anak yang tidak lulus itu buruk. Tentunya ada penyebab di balik semuanya dan bidikan utamanya adalah sistem pendidikan yang sangat buruk. Beban psikologis yang membebani anak didik pra dan pasca-UN serta adanya anarkisme pasca-UN merupakan efek dari sistem pendidikan yang salah urus.
Sistem yang salah arus telah menghasilkan anak bangsa yang salah asuh pula. Pastinya dosa pendidikan ini mesti ditanggung oleh penggagas dan pengambil kebijakan dari sistem pendidikan itu sendiri. Sudah terlalu banyak masalah pendidikan yang tak terurus dengan baik, seperti sekolah yang tertinggal dan mengenaskan, dana pendidikan yang tak menentu arahnya, profesionalisme guru lewat sertifikasi yang kontroversial, bisnis perbukuan sekolah, sampai masuknya dunia pendidikan menjadi lima besar bidang terkorupsi.
Begitu muramnya dunia pendidikan kita setidaknya tampak dalam dosa-dosa ujian nasional yang dilakukan. Pertama, ujian nasional telah mengingkari esensi dari sebuah evaluasi yang kontekstual dan berkesinambungan. Dalam pendidikan yang berorientasi proses seperti yang diadaptasi dalam kurikulum KTSP hendaknya segala evaluasi termasuk ujian nasional menjadi sebuah proses pembelajaran yang berkesinambungan yang dikenal dengan assessment as learning. UN menjadi hari penghakiman bagi anak-anak di bangku sekolah.
Kedua, UN merupakan sebuah perampokan intelektual. Amanat KTSP adalah pada pokoknya sekolah-sekolah mampu mengembangkan kurikulum yang kontekstual sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak didik di sekolah. Celakanya, usaha sekolah dalam desain pembelajarannya harus dirampas dengan ujian di akhir proses panjang pembelajaran.
Ketiga, teror psikis telah mengusik kenyamanan dan kebahagiaan anak didik dan keluarga (orang tua) sebelum ujian nasional dilaksanakan. Ketakutan dan kekhawatiran muncul setiap saat sehingga banyak usaha dilakukan untuk mempersiapkan ujian itu. Berbagai les dan uji coba yang menghabiskan banyak uang pun ditempuh demi kesuksesan.
Keempat, ujian nasional telah melahirkan berbagai perbuatan instan yang mengarah pada kecurangan demi hasil yang baik. Maraknya bocoran soal maupun kunci jawaban yang ditawarkan oleh oknum-oknum tertentu menjadi fenomena tersendiri atas potret pendidikan kita. Oknum-oknum itu berusaha menawarkan keberhasilan instan.
Kelima, UN sebagai alat ukur kualitas pendidikan nasional merupakan penyederhanaan luasnya aspek kajian pendidikan itu sendiri. Dunia pendidikan memiliki pilar penting, seperti anak didik, pendidik, sekolah sebagai lembaga, keluarga (orang tua), masyarakat, dan pendidikan tinggi. Lewat instrumen yang valid dan reliabel, kualitas pendidikan itu dapat disimpulkan dengan tepat. Celakanya, kualitas pendidikan difokuskan pada kerja besar ujian nasional semata padahal UN yang mengover aspek siswa dalam pendidikan merupakan bagian kecil dari kualitas pendidikan.
Keenam, UN telah mengubah persepsi masyarakat tentang pendidikan atau sekolah. Sekolah telah berubah menjadi sosok yang menakutkan dan menyeramkan. Sejatinya sekolah merupakan tempat yang menyenangkan dan nyaman untuk belajar. Sebagai imbasnya, proses pembelajaran harus dimodifikasi menjadi pembelajaran tradisional dengan metode drill materi dan soal yang merujuk pada UN. Penambahan jam pelajaran pun dilakukan demi meyakinkan anak didik siap dan menguasai bahan. Anak didik harus dirugikan karena waktu dan energi mereka harus terkuras.
Ketujuh, dosa ujian nasional semakin tampak dalam lewat perlakuan pengambil kebijakan pendidikan terhadap sekolah sebagai pabrik pendidikan yang menghasilkan robot-robot yang memiliki skor kelulusan yang diharapkan. Parahnya, pabrik-pabrik pendidikan harus bersaing menjadi yang terbaik lewat tolok ukur lulus seratus persen. Jabatan dan harga diri sekolah harus dipertaruhkan jika tidak mampu mencapai hasil baik sehingga berbagai cara harus dilakukan. Ujung-ujungnya, anak didik menjadi seperti sapi perahan atau malah menjadi pegawai kerja rodi.
Miris sudah melihat kenyataan dunia pendidikan hanya dari satu kacamata saja, yakni UN. Padahal masih banyak kebobrokan dunia pendidikan yang harus diperbaiki bahkan dengan segera. Pada akhirnya, UN harus ditinjau ulang bahkan lebih baik dihapuskan karena UN lebih banyak merugikan masyarakat daripada hal-hal yang menguntungkan.
Kualitas kualitas pendidikan dapat dicapai lewat proses yang menyenangkan dan jujur dalam proses nyata. Masih banyak cara elegan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih humanis dan kontekstual, seperti pengembangan school culture dalam komunitas pembelajar, professional development untuk pendidik dan kepemimpinan sekolah, pengembangan pembelajaran reflektif, dan sinergisme antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Saatnya kita menantikan pertobatan nasional untuk dunia pendidikan.
* F.X. Aris Wahyu Prasetyo, Pendidik di SMA Kolese Loyola, Semarang; alumnus Loyola University Chicago, USA.
Sumber: Lampung Post, Jumat, 30 April 2010
No comments:
Post a Comment