KARYA seni meniscayakan kehadirannya sebagai dunia simbol. Dunia bentuk yang pencariannya merupakan pergulatan seorang kreator (seniman) demi permenungan dan gagasan kesadarannya yang ingin diungkapkannya. Dalam proses menghadirkan dunia simbol (bentuk) semacam inilah, seni mengandaikan sebuah ruang yang bernama kebebasan. Ruang yang kerap mengurai segenap batasan-batasan demi mengonkretkan realitas pengalaman kesadaran manusia.
SEMINAR “Seni Dalam Perspektif Islam, Islam Dalam Perspektif Seni” yang berlangsung di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung (29/3) dengan menampilkan pembicara penyair Acep Zamzam Noor, aktor teater Iman Soleh, Prof.Dr. H. Ali Abdurrahman MA (MUI jabar), dan moderator Semmy Ikra Anggara.* ANGGIAT TORNADO
Dan demi menghadirkan realitas pengalaman manusia semacam itulah, praktik-praktik seni dan karya seni menolak adanya tafsir tunggal. Terlebih tafsir yang berangkat dari berbagai definisi yang ujung-ujungnya menjadi batasan-batasan atas ekspresi dan kreativitas, seraya menolak tafsir yang berbeda.
Akan tetapi, di seberang lain apa yang dipahami sebagai batasan-batasan itu juga memiliki argumennya sendiri. Tafsir Islam atas seni, misalnya, bukanlah berarti pembatasan yang meniadakan fungsi dan makna karya seni. Dalam sejarahnya, sejak masa Rasulullah saw. hingga penyebaran Islam di Jawa, seni adalah bagian yang tak bisa disendirikan dari perkembangan Islam.
Lebih dari itu, seperti mengemuka dalam hadis dan Alquran, Islam tak hanya mengakui fungsi seni. Akan tetapi juga mengakui keberadaannya sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari diri manusia.
Dengan kata lain, pandangan Islam atas seni merupakan pandangan yang berangkat dari nilai-nilai universal manusia. Di dalam nilai-nilai itulah Islam memandang keindahan karya seni sebagai sesuatu yang harus mampu meningkatkan derajat, spritualitas, dan martabat rohani manusia yang sesuai dengan syariat Islam. Di sinilah universalitas nilai-nilai Islam dalam seni memisahkan dirinya dari parameter seni di luar Islam, sebagaimana tampak pada bentuk-bentuk seni Barat yang sekuler. Seni yang lahir dari pemisahan kebudayaan dan agama. Akulturasi berbagai bentuk seni Barat ke dalam kebudayaan umat Islam inilah yang telah membawa berbagai bentuk karya seni yang berlawanan dengan konsepsi Islam.
Demikian bagian yang mengemuka dari seminar bertajuk, "Seni Dalam Perpektif Islam, Islam Dalam Perspektif Seni" di Gedung Kesenian (GK) Sunan Ambu STSI Bandung, Senin (29/3). Seminar yang dihadiri sejumlah dosen dan mahasiswa seni ini menghadirkan pembicara Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman MA (MUI Jabar), penyair Acep Zamzam Noor, dan aktor Iman Soleh, dengan moderator Semmy Ikra Anggara.
Menghadapkan hubungan Islam dan seni, seminar ini mengusung permasalahan besar yang rumit sekaligus menarik dan sensitif. Berbeda dengan hubungan antara politik dengan seni, dalam perkembangannya hubungan seni dan agama merupakan hubungan yang kerap menjadi kontradiksi. Ritual-ritual agamalah yang menjadi rahim kelahiran seni, dan lewat karya senilah pengalaman keagamaan seseorang terbentuk. Hubungan keduanya niscaya, tetapi dalam perkembangannya sekaligus hubungan itu penuh ketegangan yang menghadapkan kaum agamawan dan seniman.
Dan selalu pertentangan keduanya adalah ihwal tafsir dan kebebasan berekspresi. Bagi kaum agamawan, kebebasan ekspresi dalam seni tidaklah lantas memutlakkan kebebasan yang bertentangan dengan hukum-hukum sakral agama dan merusak moral sosial. Oleh karena itu, dalam agama tak ada otonomi bagi seni.
Sebaliknya, para seniman melihat bahwa agama akan menjadi ruang tertutup yang penuh batasan jika kaum agamawan memutlakkan tafsirnya sehingga menjadi tafsir tunggal yang absolut atas ekspresi karya seni. Jika karya seni menyebut dirinya sebagai dunia simbol yang bisa dihampiri dengan berbagai tafsir, maka demikian pula dengan agama yang di dalam dirinya menyimpan berbagai praktik penafsiran.
**
INILAH soal besar yang menjadi latar tajuk seminar, yakni menafsir hubungan antara Islam dengan seni. Karena seminar ini berlangsung di sebuah kampus seni dan mayoritas dihadiri oleh seniman, maka arah dan peta perbincangan lebih menekan pada kebebasan ekspresi di hadapan batasan-batasan yang didefinisikan oleh apa yang disebut dengan seni Islam.
Sementara itu, Iman Soleh dan Acep Zamzam Noor dalam pemaparannya lebih banyak menguraikan ruang pengalaman mereka di masa kecil ketika bersentuhan dengan nilai-nilai keislaman. Lebih dari sekadar bagaimana nilai-nilai itu muncul lewat hal-hal yang sifatnya doktrinal, nilai-nilai tersebut justru lebih teresapi lewat berbagai tradisi seni dan sosial yang bernapaskan keislaman.
Islam di situ telah melahirkan sebuah tradisi praktik-praktik keberagamaan khas budaya lokal (Sunda), termasuk nyanyian kanak-kanak. Dengan kata lain, dalam pengalaman keduanya seni dan sebuah tradisi sosial khas budaya lokal telah menjadi pintu masuk bagi mereka untuk bersentuhan dengan nilai-nilai keislaman. Namun dalam perkembangannya keduanya juga melihat kian berjaraknya hubungan antara Islam dan seni.
"Ketika itu agama diajarkan sebagai sebuah kegembiraan. Akan tetapi sekarang kita melihat bagaimana seolah-olah kesenian itu dimusuhi oleh agama. Anehnya saya belajar agama dari kesenian," ujar penyair Acep Zamzam Noor yang dibesarkan di lingkungan pesantren ini.
Seraya mengakui bagaimana seni juga bisa digunakan sebagai alat dakwah seperti lagu "Lir-ilir" yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam di Jawa, di lain sisi ia melihat nilai-nilai dakwah tidaklah selalu harus hitam-putih. Dan inilah yang kerap menjadi perbenturan antara seni dan Islam, ketika kesenian ditafsir lewat penafsiran yang hukum-hukum fikih yang kelewat kaku.
"Fikihnya tidak salah, tetapi penafsirannya yang bermasalah. Dalam puisi-puisi sufi, misalnya, kita akan menemukan banyak hal yang tidak terduga ketika seorang penyair mengungkapkan kerinduannya pada Tuhan. Dan itu melampaui batasan-batasan fikih," ujar putra alm. K.H. Ilyas Rukhiyat ini.
Senada dengan Acep Zamzam Noor, Iman Soleh lebih menekankan pada ukuran penafsiran sebagian agamawan terhadap kesenian yang berujung pada penafsiran tunggal yang akhirnya sulit mempertemukannya dengan tafsir yang berbeda. "Kesenian adalah ruang yang terbuka untuk didekati tetapi agama menjadi ruang yang tertutup dan penuh dengan ukuran," ujarnya, seraya menuturkan kesulitannya untuk mementaskan sebuah bentuk seni ritual Bali yang akan berisiko salah penafsiran.
Oleh karena itu, di mata Iman Soleh, soalnya bagaimana kini hubungan kesenian dan Islam itu bisa menjadi sebuah dialog tanpa adanya ukuran penafsiran tunggal yang lantas menjadi satu-satunya ukuran dalam menafsir karya seni. "Islam sebagai perilaku budaya harus menerima keberagaman," tambahnya.
Sedangkan Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman menekankan pada sejarah hubungan seni dan Islam sejak masa Rasulullah saw., masa-masa keemasan Islam, hingga era modern yang membawa seni-seni sekuler, dan uraian ihwal ciri-ciri seni Islam. Terhadap hal inilah sejumlah tanggapan muncul mempertanyakan lebih jauh ihwal definisi seni Islam dan hubungannya dengan kebebasan berekspresi, termasuk dalam konteks gagasan kesadarannya di hadapan realitas sosial.
Tanggapan dari Dian Ardiansyah, misalnya, yang mempertanyakan batasan definisi seni islami di tengah fenomena masyarakat kontemporer yang sedang berkembang dan di tengah ideologi seni itu sendiri. "Apakah seni-seni sosial yang menggugat ketidakadilan seperti yang muncul dalam lagu-lagu "Slank", misalnya, bisa dikategorikan seni Islam? Bukankah di dalamnya terdapat spirit Islam dalam melawan dan mencegah kemungkaran? Lalu apakah kita masih bisa mengategorikan para ustaz yang menjual dakwahnya lewat nada sambung pribadi tunggu handphone lewat perusahaan-perusahaan kapitalis itu sebagai juga seni islami?" ujarnya.
Pengategorian juga muncul dan dipertanyakan oleh Rizky Hamdani. Ia melihat pengategorian ini menjadi rumit karena Islam itu sendiri dalam konteks budaya mengalami pembauran dengan berbagai budaya lokal. Demikian juga sejumlah pertanyaan yang dialamatkan ihwal kemungkinan MUI mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan seni, termasuk jenis-jenis karya seni tradisi.
Terhadap pertanyaan ihwal fatwa, Ali Abdurrahman menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada fatwa tentang seni-seni tertentu. Para ulama sangat mengerti urgensi seni di tengah masyarakat.
Dan seperti diduga, seminar ini akhirnya seolah kian menegaskan betapa rumitnya menafsir hubungan kesenian dan agama. Akan tetapi bukanlah berarti kerumitan itu tidaklah bisa diurai, sepanjang adanya kemauan untuk saling berendah hati menerima perbedaan. Oleh karena itulah sebuah dialog amat diperlukan bagi pemahaman di antara keduanya, terutama kalangan agamawan dan seniman.
"Seminar ini bisa menjadi dialog yang menarik untuk terus dilanjutkan, sehingga ada saling pemahaman dan pengertian," ujar Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 4 April 2010
No comments:
Post a Comment