-- Dessy Wahyuni
BAHASA dan sastra adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa dan sastra merupakan jasad dan ruh yang hidup bersama. Bahasa tanpa muatan sastra, tidak akan terlihat semangat di dalamnya. Dalam sastralah terlihat harapan dan cita-cita sebuah masyarakat. Melalui muatan sastra tersebut akan tercermin kehidupan masyarakatnya.
Pandangan seperti itu memberikan pengertian bahwa kreativitas sastra memiliki peranan penting dalam berbahasa. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Emha Ainun Najib bahwa sastra dapat memelihara kelembutan hati, kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sifat sosial, dan keluasan pandangan hidup (Iskandar Kamar, Majalah Budaya Sagang Nomor 3, 1998: hal. 41). Oleh sebab itu, tidak sepatutnya sastra ditempatkan hanya sebagai pelengkap saja.
Dengan menempatkan sastra pada posisi utama, maka akan terbentuk muatan pribadi manusia yang harmonis. William Buttler Yeats, sastrawan pemenang Nobel Sastra dari Irlandia, berpendapat bahwa sebuah negeri yang ideal adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi lainnya (Chaidir, Majalah Budaya Sagang Nomor 109, 2007: hal. 7). Pendapat itu mempertegas bahwa untuk mendapatkan sebuah simfoni kehidupan yang ideal harus dibarengi dengan muatan sastra di dalamnya.
Riau, sebagai pewaris bahasa dan sastra Melayu, sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa. Beberapa sastrawan besar telah lahir di Bumi Lancang Kuning ini, seperti Raja Ali Haji, Raja Aisyah Sulaiman, Tuan Guru Abdurahman Sidik, Soeman H.S., Sariamin Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, dan banyak lagi sastrawan muda potensial lainnya. Dengan ide-ide kreatif, mereka telah menggubah berbagai dimensi tradisi Melayu menjadi karya yang luar biasa. Semua ini tentu saja melalui proses kreatif.
Ediruslan Pe Amanriza adalah salah seorang sastrawan yang pernah ikut serta menggegapgempitakan proses kreatif di dunia Melayu. Sastrawan kelahiran Bagansiapi-api, Rokan Hilir, Riau, pada 17 Agustus 1947 ini telah beberapa kali menjadi salah satu pemenang dalam Sayembara Penulisan Novel Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Novel-novel yang pernah memenangi sayembara tersebut adalah Jembatan: Kekasih Sampai Jauh (1976), Nahkoda (1977), Ke Langit (1978), Koyan (1979), Panggil Aku Sakai (1980), dan Dikalahkan Sang Sapurba (menjadi juara II dalam sayembara yang sama pada 1998), yang kemudian dimuat secara bersambung di Kompas, dan diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau (2000). Novel-novel Ediruslan lainnya dimuat secara bersambung di surat-surat kabar Padang dan Pekanbaru, seperti “Di Bawah Matahari”, “Taman Stasiun Kecil di Kaki Bukit”, “Jakarta”, “Di Manakah Umi Sri” (juga diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia), “Umi Kalsum”, “Istana yang Kosong”, “Rakhman Ya Rakhman”, “Perang Bagan”, dan “Pendatang Haram”. Selain menulis novel, Ediruslan juga menulis puisi, cerpen, dan esai. Ediruslan juga pernah melakukan pengkajian budaya Melayu. Salah satu hasil kajian berjudul Koba, Sastra Lisan Orang Riau (diterbitkan oleh IDKD, 1989), dilakukannya bersama Tenas Effendi dan Sudarno Mahyudin. Pada tahun 2000, Pemerintah Provinsi Riau bersama Dewan Kesenian Riau, menerbitkan hasil kajian Ediruslan lainnya yang berjudul Senarai Upacara Adat Perkawinan Melayu Riau (Ensiklopedia Sastra Riau, 2011).
Bukan hanya itu. Seni pertujukan atau teater juga sangat digandrunginya. Di masa muda, terutama saat bergabung dengan Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI) Bandung, dia mementaskan sejumlah naskah Islam berkeliling di beberapa kota di Jawa Barat. Ketika pindah ke Pekanbaru tahun 1975, bersama Armawi K.H., ia mendirikan teater Pitik. Tahun 1976-1978, dia mendirikan bengkel Teater Indonesia di Padang, dan berpentas secara rutin di Pusat Kesenian Padang (PKP) bersama seniman teater kota Padang.
Proses kreatif yang dilalui Ediruslan patut ditiru. Dia telah mampu mengembangkan semua ide dan gagasannya ke dalam berbagai karya secara leluasa. Dia juga telah berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap aspek yang mendukung munculnya ide kreatif. Serangkaian gagasan abstrak telah diramunya sedemikian rupa yang kemudian ditransformasikannya menjadi sebuah realitas, yakni karya-karya yang telah dihasilkannya tersebut.
Novel Dikalahkan Sang Sapurba misalnya, merupakan salah satu novel yang sangat kental dengan nuansa Melayu Riau. Persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Melayu, baik yang berhubungn dengan masyarakat itu sendiri maupun persoalan yang muncul akibat interaksi dengan masyarakat luar, disinggung dalam novel ini. Ediruslan menggambarkan konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan yang membuka lahan perkebunan di Desa Mahato. Hal ini diangkat dari kasus lahan yang terjadi di Riau. Akibat ulah pengusaha yang mengambil alih tanah masyarakat secara paksa, konflik antara PT Torganda dengan masyarakat beberapa kali telah terjadi di Riau. Dalam hal ini, dengan kemampuan berimajinasi yang dimiliki, Ediruslan telah mampu memunculkan unsur fiksionalitas dalam karyanya. Inilah yang disebut dengan proses kreatif itu.
Pada 1999, Ediruslan pernah bercerita panjang lebar mengenai proses kreatif di dunia Melayu (Majalah Budaya Sagang, Nomor 8). Proses kreatif menurutnya tidak hanya terbatas pada kesenian dan ilmu pengetahuan, tetapi juga terjadi pada bidang ekonomi dan kehidupan sosial. Semuanya seperti tampak berbeda, tetapi dalam proses kreatif mekanismenya sama. Dalam melihat Riau, menurut Ediruslan proses kreatif itu telah, sedang, dan akan terus berlangsung searah dengan perkembangan yang terjadi. Ediruslan berpendapat bahwa di setiap generasi selalu lahir manusia-manusia kreatif. Setiap saat selalu saja ada manusia yang berjiwa mencipta, manusia yang mempergunakan kecerdasannya dalam memandang zaman. Proses kreatif tidak mengenal puncak. Proses itu terus berubah, tumbuh, dan berkembang. Proses itu merupakan sebuah evolusi dalam organisasi kehidupan subjektif manusia.
Pada 3 Oktober 2001, Ediruslan meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Asifah, Sukabumi, Jawa Barat. Meskipun telah wafat, karya-karya Ediruslan telah banyak mengilhami karya yang lahir setelahnya. Selain memperingati hari wafatnya setiap tahun, meniru jejak langkahnya dalam berkreasi merupakan sebuah proses kreatif yang patut dibudayakan.***
Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Maret 2013
BAHASA dan sastra adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa dan sastra merupakan jasad dan ruh yang hidup bersama. Bahasa tanpa muatan sastra, tidak akan terlihat semangat di dalamnya. Dalam sastralah terlihat harapan dan cita-cita sebuah masyarakat. Melalui muatan sastra tersebut akan tercermin kehidupan masyarakatnya.
Pandangan seperti itu memberikan pengertian bahwa kreativitas sastra memiliki peranan penting dalam berbahasa. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Emha Ainun Najib bahwa sastra dapat memelihara kelembutan hati, kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sifat sosial, dan keluasan pandangan hidup (Iskandar Kamar, Majalah Budaya Sagang Nomor 3, 1998: hal. 41). Oleh sebab itu, tidak sepatutnya sastra ditempatkan hanya sebagai pelengkap saja.
Dengan menempatkan sastra pada posisi utama, maka akan terbentuk muatan pribadi manusia yang harmonis. William Buttler Yeats, sastrawan pemenang Nobel Sastra dari Irlandia, berpendapat bahwa sebuah negeri yang ideal adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi lainnya (Chaidir, Majalah Budaya Sagang Nomor 109, 2007: hal. 7). Pendapat itu mempertegas bahwa untuk mendapatkan sebuah simfoni kehidupan yang ideal harus dibarengi dengan muatan sastra di dalamnya.
Riau, sebagai pewaris bahasa dan sastra Melayu, sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa. Beberapa sastrawan besar telah lahir di Bumi Lancang Kuning ini, seperti Raja Ali Haji, Raja Aisyah Sulaiman, Tuan Guru Abdurahman Sidik, Soeman H.S., Sariamin Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, dan banyak lagi sastrawan muda potensial lainnya. Dengan ide-ide kreatif, mereka telah menggubah berbagai dimensi tradisi Melayu menjadi karya yang luar biasa. Semua ini tentu saja melalui proses kreatif.
Ediruslan Pe Amanriza adalah salah seorang sastrawan yang pernah ikut serta menggegapgempitakan proses kreatif di dunia Melayu. Sastrawan kelahiran Bagansiapi-api, Rokan Hilir, Riau, pada 17 Agustus 1947 ini telah beberapa kali menjadi salah satu pemenang dalam Sayembara Penulisan Novel Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Novel-novel yang pernah memenangi sayembara tersebut adalah Jembatan: Kekasih Sampai Jauh (1976), Nahkoda (1977), Ke Langit (1978), Koyan (1979), Panggil Aku Sakai (1980), dan Dikalahkan Sang Sapurba (menjadi juara II dalam sayembara yang sama pada 1998), yang kemudian dimuat secara bersambung di Kompas, dan diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau (2000). Novel-novel Ediruslan lainnya dimuat secara bersambung di surat-surat kabar Padang dan Pekanbaru, seperti “Di Bawah Matahari”, “Taman Stasiun Kecil di Kaki Bukit”, “Jakarta”, “Di Manakah Umi Sri” (juga diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia), “Umi Kalsum”, “Istana yang Kosong”, “Rakhman Ya Rakhman”, “Perang Bagan”, dan “Pendatang Haram”. Selain menulis novel, Ediruslan juga menulis puisi, cerpen, dan esai. Ediruslan juga pernah melakukan pengkajian budaya Melayu. Salah satu hasil kajian berjudul Koba, Sastra Lisan Orang Riau (diterbitkan oleh IDKD, 1989), dilakukannya bersama Tenas Effendi dan Sudarno Mahyudin. Pada tahun 2000, Pemerintah Provinsi Riau bersama Dewan Kesenian Riau, menerbitkan hasil kajian Ediruslan lainnya yang berjudul Senarai Upacara Adat Perkawinan Melayu Riau (Ensiklopedia Sastra Riau, 2011).
Bukan hanya itu. Seni pertujukan atau teater juga sangat digandrunginya. Di masa muda, terutama saat bergabung dengan Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI) Bandung, dia mementaskan sejumlah naskah Islam berkeliling di beberapa kota di Jawa Barat. Ketika pindah ke Pekanbaru tahun 1975, bersama Armawi K.H., ia mendirikan teater Pitik. Tahun 1976-1978, dia mendirikan bengkel Teater Indonesia di Padang, dan berpentas secara rutin di Pusat Kesenian Padang (PKP) bersama seniman teater kota Padang.
Proses kreatif yang dilalui Ediruslan patut ditiru. Dia telah mampu mengembangkan semua ide dan gagasannya ke dalam berbagai karya secara leluasa. Dia juga telah berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap aspek yang mendukung munculnya ide kreatif. Serangkaian gagasan abstrak telah diramunya sedemikian rupa yang kemudian ditransformasikannya menjadi sebuah realitas, yakni karya-karya yang telah dihasilkannya tersebut.
Novel Dikalahkan Sang Sapurba misalnya, merupakan salah satu novel yang sangat kental dengan nuansa Melayu Riau. Persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Melayu, baik yang berhubungn dengan masyarakat itu sendiri maupun persoalan yang muncul akibat interaksi dengan masyarakat luar, disinggung dalam novel ini. Ediruslan menggambarkan konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan yang membuka lahan perkebunan di Desa Mahato. Hal ini diangkat dari kasus lahan yang terjadi di Riau. Akibat ulah pengusaha yang mengambil alih tanah masyarakat secara paksa, konflik antara PT Torganda dengan masyarakat beberapa kali telah terjadi di Riau. Dalam hal ini, dengan kemampuan berimajinasi yang dimiliki, Ediruslan telah mampu memunculkan unsur fiksionalitas dalam karyanya. Inilah yang disebut dengan proses kreatif itu.
Pada 1999, Ediruslan pernah bercerita panjang lebar mengenai proses kreatif di dunia Melayu (Majalah Budaya Sagang, Nomor 8). Proses kreatif menurutnya tidak hanya terbatas pada kesenian dan ilmu pengetahuan, tetapi juga terjadi pada bidang ekonomi dan kehidupan sosial. Semuanya seperti tampak berbeda, tetapi dalam proses kreatif mekanismenya sama. Dalam melihat Riau, menurut Ediruslan proses kreatif itu telah, sedang, dan akan terus berlangsung searah dengan perkembangan yang terjadi. Ediruslan berpendapat bahwa di setiap generasi selalu lahir manusia-manusia kreatif. Setiap saat selalu saja ada manusia yang berjiwa mencipta, manusia yang mempergunakan kecerdasannya dalam memandang zaman. Proses kreatif tidak mengenal puncak. Proses itu terus berubah, tumbuh, dan berkembang. Proses itu merupakan sebuah evolusi dalam organisasi kehidupan subjektif manusia.
Pada 3 Oktober 2001, Ediruslan meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Asifah, Sukabumi, Jawa Barat. Meskipun telah wafat, karya-karya Ediruslan telah banyak mengilhami karya yang lahir setelahnya. Selain memperingati hari wafatnya setiap tahun, meniru jejak langkahnya dalam berkreasi merupakan sebuah proses kreatif yang patut dibudayakan.***
Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Maret 2013
No comments:
Post a Comment