Data buku
Bumi Sambhara
Theresia Citraningtyas
Taman Belajar Eugenia, 2012
171 hlm.
BAIKLAH, semua orang sudah tahu Candi Borobudur. Sebuah bangunan megah yang mengabarkan kedigdayaan dan kebesaran bangsa ini dalam sejarah masa lalu yang belum tertandingi hingga sekarang. Kemegahan Borobudur yang menyedot kekaguman masyarakat di seluruh penjuru dunia tidak hanya mendatangkan berkah bagi industri wisata, tetapi juga menjadi benteng terakhir untuk menyandarkan rasa percaya diri bangsa Indonesia di tengah keterpurukan yang merundung realitas kekinian negeri yang hampir tidak menghasilkan karya besar di bidang apa pun.
Fakta menunjukkan, betapa sebuah bangsa di mana pun di dunia ini membutuhkan sejarah besar untuk membangun kebanggaan dirinya sekaligus menetapkan pijakan dalam membangun arah kebudayaannya yang gemilang pada masa kini dan masa depan. Dalam konteks bangunan negara bernama Indonesia yang hampir ambruk, seperti sekarang, akibat ulah bebal para pemimpinnya, Borobudur seakan muncul menjadi rumah tempat berpaling bagi anak-anak negeri untuk mengobati kekecewaan mereka.
Dalam perspektif pemikiran seperti inilah kiranya kemunculan novel Bumi Sambhara besutan Theresia Citraningtyas menemukan pemaknaannya yang strategis. Novel ini mengisahkan empat orang anak muda yang berasal dari pelbagai pelosok Indonesia yang melakukan kunjungan ke Candi Borobudur (Bumi Sambhara). Situs sejarah yang menyimpan pesona keajaiban (dan kegaiban?) yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, itu menyatukan mereka untuk secara bersama-sama mengenal lebih dekat sejarah besar leluhurnya.
Keempat anak muda ini Lukas, Tara, Dahlan, dan Harum, bertemu di homestay milik Pak Slamet dan Bu Aliyah, warga desa sekitar Borobudur. Bersama Bintang, anak angkat keluarga itu, mereka berangkat ke Borobudur. Namun, di tengah jalan, Bintang, yang masih kanak-kanak itu, terpisah dari rombongan. Keempatnya pun panik, acara menikmati keindahan Borobudur berantakan karena mereka harus berpencar untuk mencari Bintang.
Petualangan Lukas, Tara, Dahlan, dan Harum dalam mencari Bintang inilah yang menggerakan novel yang dihiasi karya-karya fotografi yang merekam setiap segi kemegahan Borobudur dan sekitarnya dalam pelbagai suasana. Melalui usaha pencarian mereka kita diajak bertualang memasuki lorong waktu yang membentangkan lapisan-lapisan peristiwa terkait sejarah berdirinya Borobudur, termasuk perebutan pengaruh Hindu dan Buddha di Tanah Jawa, hingga Inggris dan Belanda pada masa berikutnya.
Tara mengajak kita bertualang di zaman Ratu Maha Maya, permaisuri Raja Suddhondana, pemimpin Kerajaan Kapilawastu di India yang melahirkan putra mahkota yang kelak menjadi Sang Budha Sidharta Gautama (hal 119).
Dengan Harum kita kemudian meloncat ke masa Sri Maharaja Rakai Panangkaran, sang Sailendrawangsatilaka dari Wangsa Syailendra, yang mencetuskan dibangunnya tempat-tempat khusus untuk memuji sekaligus mencari pencerahan, termasuk yang paling monumental dibangunnya Borobudur, atau pada masa itu disebut kamulan bumi sambhara.
Nama ini bermakna tempat asal mula tanah himpunan kebajikan. Budhara sendiri berarti gunung dengan lereng berteras tempat berkumpulnya sepuluh tingkat boddhisattva. Jadi, Borobudur adalah biara (Wihara) di tempat yang tinggi (hal. 94).
Pembangun Borobudur dilakukan pada masa putranya, Raja Samaratungga, berkuasa. Selesai dibangun dan diresmikan pada masa Puteri Dyah Pramodawardhani, cucu Rakai Panangkaran.
Ratusan tahun kemudian Borobudur yang megah kemudian lenyap dalam timbunan perjalanan waktu longsoran tanah. Borobudur kembali ditemukan pertama kali oleh Cornelius, seorang Perwira Belanda. Masa itu Inggris masuk ke tanah Jawa dan mengambil alih kekuasaan VOC. Cornelius harus melaporkan temuannya pada Kerajaan Inggris.
Tahun 1814 VOC kembali berkuasa di Bumi Nusantara. Mereka meneruskan penggalian Borobudur. Tahun 1907, Pemerintah Kerajaan Belanda mengirim insinyur ahli konstruksi Van de Kamer dan Major van Erp untuk memugar beberapa bagian candi yang rusak, serta membangun sistem drainase modern dan membuat pagar untuk mengurangi pencurian relief-relief candi. Untuk semua itu anggaran yang dialokasikan sebanyak 83.400 Gulden tidak mencukupi. Sementara dengan Dahlan dan Lukas kita menyusuri kehidupan hari ini masyarakat di sekitar Borobudur (hal 109).
Novel ini serupa pelajaran sejarah yang dituturkan secara renyah dan sederhana, tetapi dengan semangat mencintai yang begitu besar. Juga tentang bagaimana menghargai keberagaman, seperti tersurat lewat tokoh-tokohnya yang mempunyai latar belakang budaya berbeda. Borobudur bagaimanapun bukan milik satu agama.
Lukas bertemu dengan rombongan tur yang dipandu pengikut K.H. Fahmi Basya dari Universitas Negeri Syarif Hidayatullah yang mengaitkan kutipan dari ayat-ayat Alquran dengan apa yang ditemukan di Candi Borobudur. Bangunan megah itu mereka sebut sebagai Arsy Ratu Saba.
Novel ini baik bagi, terutama anak-anak muda, yang mencintai sejarah. Karena melalui pemahaman sejarah yang baik, kecintaan kepada bangsa akan tumbuh lebih kokoh dan berakar.
Aris Kurniawan, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013
Bumi Sambhara
Theresia Citraningtyas
Taman Belajar Eugenia, 2012
171 hlm.
BAIKLAH, semua orang sudah tahu Candi Borobudur. Sebuah bangunan megah yang mengabarkan kedigdayaan dan kebesaran bangsa ini dalam sejarah masa lalu yang belum tertandingi hingga sekarang. Kemegahan Borobudur yang menyedot kekaguman masyarakat di seluruh penjuru dunia tidak hanya mendatangkan berkah bagi industri wisata, tetapi juga menjadi benteng terakhir untuk menyandarkan rasa percaya diri bangsa Indonesia di tengah keterpurukan yang merundung realitas kekinian negeri yang hampir tidak menghasilkan karya besar di bidang apa pun.
Fakta menunjukkan, betapa sebuah bangsa di mana pun di dunia ini membutuhkan sejarah besar untuk membangun kebanggaan dirinya sekaligus menetapkan pijakan dalam membangun arah kebudayaannya yang gemilang pada masa kini dan masa depan. Dalam konteks bangunan negara bernama Indonesia yang hampir ambruk, seperti sekarang, akibat ulah bebal para pemimpinnya, Borobudur seakan muncul menjadi rumah tempat berpaling bagi anak-anak negeri untuk mengobati kekecewaan mereka.
Dalam perspektif pemikiran seperti inilah kiranya kemunculan novel Bumi Sambhara besutan Theresia Citraningtyas menemukan pemaknaannya yang strategis. Novel ini mengisahkan empat orang anak muda yang berasal dari pelbagai pelosok Indonesia yang melakukan kunjungan ke Candi Borobudur (Bumi Sambhara). Situs sejarah yang menyimpan pesona keajaiban (dan kegaiban?) yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, itu menyatukan mereka untuk secara bersama-sama mengenal lebih dekat sejarah besar leluhurnya.
Keempat anak muda ini Lukas, Tara, Dahlan, dan Harum, bertemu di homestay milik Pak Slamet dan Bu Aliyah, warga desa sekitar Borobudur. Bersama Bintang, anak angkat keluarga itu, mereka berangkat ke Borobudur. Namun, di tengah jalan, Bintang, yang masih kanak-kanak itu, terpisah dari rombongan. Keempatnya pun panik, acara menikmati keindahan Borobudur berantakan karena mereka harus berpencar untuk mencari Bintang.
Petualangan Lukas, Tara, Dahlan, dan Harum dalam mencari Bintang inilah yang menggerakan novel yang dihiasi karya-karya fotografi yang merekam setiap segi kemegahan Borobudur dan sekitarnya dalam pelbagai suasana. Melalui usaha pencarian mereka kita diajak bertualang memasuki lorong waktu yang membentangkan lapisan-lapisan peristiwa terkait sejarah berdirinya Borobudur, termasuk perebutan pengaruh Hindu dan Buddha di Tanah Jawa, hingga Inggris dan Belanda pada masa berikutnya.
Tara mengajak kita bertualang di zaman Ratu Maha Maya, permaisuri Raja Suddhondana, pemimpin Kerajaan Kapilawastu di India yang melahirkan putra mahkota yang kelak menjadi Sang Budha Sidharta Gautama (hal 119).
Dengan Harum kita kemudian meloncat ke masa Sri Maharaja Rakai Panangkaran, sang Sailendrawangsatilaka dari Wangsa Syailendra, yang mencetuskan dibangunnya tempat-tempat khusus untuk memuji sekaligus mencari pencerahan, termasuk yang paling monumental dibangunnya Borobudur, atau pada masa itu disebut kamulan bumi sambhara.
Nama ini bermakna tempat asal mula tanah himpunan kebajikan. Budhara sendiri berarti gunung dengan lereng berteras tempat berkumpulnya sepuluh tingkat boddhisattva. Jadi, Borobudur adalah biara (Wihara) di tempat yang tinggi (hal. 94).
Pembangun Borobudur dilakukan pada masa putranya, Raja Samaratungga, berkuasa. Selesai dibangun dan diresmikan pada masa Puteri Dyah Pramodawardhani, cucu Rakai Panangkaran.
Ratusan tahun kemudian Borobudur yang megah kemudian lenyap dalam timbunan perjalanan waktu longsoran tanah. Borobudur kembali ditemukan pertama kali oleh Cornelius, seorang Perwira Belanda. Masa itu Inggris masuk ke tanah Jawa dan mengambil alih kekuasaan VOC. Cornelius harus melaporkan temuannya pada Kerajaan Inggris.
Tahun 1814 VOC kembali berkuasa di Bumi Nusantara. Mereka meneruskan penggalian Borobudur. Tahun 1907, Pemerintah Kerajaan Belanda mengirim insinyur ahli konstruksi Van de Kamer dan Major van Erp untuk memugar beberapa bagian candi yang rusak, serta membangun sistem drainase modern dan membuat pagar untuk mengurangi pencurian relief-relief candi. Untuk semua itu anggaran yang dialokasikan sebanyak 83.400 Gulden tidak mencukupi. Sementara dengan Dahlan dan Lukas kita menyusuri kehidupan hari ini masyarakat di sekitar Borobudur (hal 109).
Novel ini serupa pelajaran sejarah yang dituturkan secara renyah dan sederhana, tetapi dengan semangat mencintai yang begitu besar. Juga tentang bagaimana menghargai keberagaman, seperti tersurat lewat tokoh-tokohnya yang mempunyai latar belakang budaya berbeda. Borobudur bagaimanapun bukan milik satu agama.
Lukas bertemu dengan rombongan tur yang dipandu pengikut K.H. Fahmi Basya dari Universitas Negeri Syarif Hidayatullah yang mengaitkan kutipan dari ayat-ayat Alquran dengan apa yang ditemukan di Candi Borobudur. Bangunan megah itu mereka sebut sebagai Arsy Ratu Saba.
Novel ini baik bagi, terutama anak-anak muda, yang mencintai sejarah. Karena melalui pemahaman sejarah yang baik, kecintaan kepada bangsa akan tumbuh lebih kokoh dan berakar.
Aris Kurniawan, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013
No comments:
Post a Comment