Sunday, July 15, 2012

[Buku] Membumikan Ajaran Belas Kasih

Data buku

Compassion. Karen Armstrong. Mizan, 2012. 247 hlm.


AGAMA, yang menurut Max Weber (1864-1920) cukup berjasa dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia, kini seakan mengalami disparitas dalam pelbagai sisi. Agama yang awalnya dipercaya dapat memberikan dorongan terhadap masyarakat untuk melakukan reformasi tengah mengalami realitas estitasi yang tak kunjung reda.

Secara fluktuatif, tragedi-tragedi dalam pekan terakhir ini menambah panjang daftar hitam kekerasan terhadap komunitas marginal. Penerjemahan kemajemukan sosial dalam komunitas agama dibabat saat manusia memilih kekerasan, keserakahan, dominasi, dan eksploitasi.

Karen Armstrong sebagai arsitek sejarah-sejarah agama keluar dari posisinya. Dalam buku ini, Armstrong memaparkan visi tentang sebuah dunia yang lebih baik didasarkan apa yang telah diketahuinya sebagai inti ajaran semua agama: belas kasih. Buku yang berjudul Compassion ini lahir dari wujud akumulasi kegelisahan Armstrong atas begitu banyak penyalahgunaan agama seperti tindakan terorisme, radikalisme, agresi, dan pelbagai tindakan lainnya yang membenarkan kekejaman dan mengabsenkan nilai-nilai agama.

Armstrong mendamba untuk membangun komunitas global berbasiskan belas kasih. Kondisi ini membuat Armstrong menelisik ulang makna belas kasih. Armstrong memberikan perspektif agar kita melihat masalah-masalah tentang agama dan nilai sosial yang lebih bijak. Piagam belas kasih yang dikumandangkan Armstrong disusun oleh tokoh-tokoh dari enam tradisi iman: Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Armstrong merujuk piagam belas kasih ke ajaran bijak dari Konfusius, Buddha, Yesus, dan Muhammad. Acuan historisitas iman dan moralitas ini mengandung ajaran tentang toleransi, perdamaian, pluralisme, dan keluhuran. Penghormatan atas sesama mengartikan keberterimaan hidup kolektif dengan perbedaan. Kesadaran pluralitas ini bakal mengajarkan keinsyafan diri saat dihadapkan pada realitas jamak. Satu diri akan tegak karena tegaknya diri yang lain.

Armstrong gigih untuk mencipta perdamaian dan kerukunan di dunia mutakhir. Buku ini sangat jelas menggambarkan betapa piawainya Armstrong dalam memahami inti ajaran yang dibawa oleh para utusan, diajarkan oleh guru bijak, terkandung dalam mitos, atau cerita-cerita dan tradisi kuno dan mengemasnya dalam ungkapan-ungkapan yang mudah dicerna dan tak terkesan mengggurui.

Tuturan Armstrong berlimpah ruah dalam detail yang luas dengan menelusuri ajaran-ajaran belas kasih. Armstrong mengajak setiap individu untuk membangkitkan sikap maitri (cinta kasih), karuna (belas kasih), mudita (sukacita-simpatik), dan upeksha (pikiran yang adil), sebuah ketenangan yang memungkinkan setiap orang untuk mengasihi semua makhluk secara merata dan tidak memihak. Semua ini dibukukan Arsmtrong untuk membentuk satu kehidupan yang penuh damai, harmonis, tenggang rasa sebagai ajang pergumulan hidup di dunia.

Narasi belas kasih belakangan ini jarang kita jumpai. Padahal, menurut Armstrong, belas kasih inheren dalam ajaran agama itu sendiri. Istilah belas kasih memiliki arti menanggungkan sesuatu bersama orang lain, menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah penderitaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya. Belas kasih mewujud dalam dalam sikap altruisme konsisten yang berprinsip.

Piagam belas kasih yang ada dalam buku ini bertujuan menghantam suara-suara ekstremisme, intoleransi, dan kebencian yang memercik atas nama agama. Menariknya, Armstrong sebagai seorang penulis yang sukses dan penyebar semangat keberagamaan yang penuh cinta kasih, mendedah piagam belas kasih dari pelbagai disiplin keilmuan, termasuk mekanisme otak dan hormon-hormon yang dianggap menimbulkan emosi positif seperti cinta, belas kasih, rasa syukur, dan permaafan.

Lebih jauh, mantan biarawati yang pernah dianugerahi Four Freedom Medal untuk karyanya tentang kebebasan beragama, ia menelusuri jejak peradaban manusia yang panjang demi membuktikan bahwa sikap belas kasih pada dasarnya telah tumbuh di sepanjang peradaban manusia.

Buku ini adalah rujukan paling lengkap untuk membawa manusia dalam sebuah kondisi yang sehat, manajemen penyelesaian konflik yang baik, dan mengelola perubahan agar lebih konstruktif. Semuanya menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan untuk meminimalisasi kekerasan hidup beragama.

Wildani Hefni, Pengelola Rumah Baca PesMa Darun Najah IAIN Walisongo, Semarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012


No comments: