Sunday, July 08, 2012

Memaknai Dua Pameran (Besar)

-- Dantje S Moeis

PERJALANAN dalam kehidupan ini adalah peristiwa, yang tentu pasti pada rangkaian-rangkaian peristiwa itu, ada sesuatu yang boleh dipetik, boleh diambil manfaatnya, lalu kemudian hasil dari petikan itu boleh dimanfaatkan buat kehidupan, boleh ditimbang-timbang, dinilai baik buruknya, boleh buat diri sendiri, ataupun boleh berbagi dengan pihak-pihak lain.

Dalam tulisan ini, ada dua hasil petikan dalam perjalanan berkesenian saya. Kedua-duanya dalam bentuk pameran yang diselenggarakan lembaga formal pengelola kesenian di daerah ini. Lembaga pertama yaitu Dewan Kesenian Riau (DKR) yang menyelenggarakan dan tampaknya sesuai program rutin mereka yaitu peristiwa bertajuk ‘’Bentang Karya Senirupa se-Riau 2007” dan ‘’Pameran Senirupa se-Sumatera’’ sempena Pameran dan Pergelaran Seni se-Sumatera X yang diselenggarakan Balai Kajian dan Pelatihan, Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau di tahun berikutnya.

Dua helat yang cukup besar menurut pengamatan saya dan seyogianya dapat dijadikan tolok ukur sampai sejauh mana perkembangan senirupa Riau atau Sumatera hingga akhir-akhir ini. Namun harapan ini tak serta merta total terpenuhi dan tampaknya berlanjut hingga kini. Ada beberapa hal yang jadi faktor ketidakterpenuhan tersebut, antara lain petikan pertama yang layak buat ditimbang-timbang yaitu, tidak munculnya beberapa nama dengan karya-karyanya yang selama ini cukup kuat dan dapat dijadikan indikator kemajuan, atau paling tidak dapat jadi catatan penting bagi perkembangan senirupa Riau maupun Sumatera. Saya yakin kita semua tak hendak adanya pemiskinan tampilan karya senirupa yang terlihat sudah cukup beragam, lengkap dengan dinamika penampakan dan problematika proses.
Kemudian petikan kedua, ada beberapa faktor yang harus mulai dipertimbangkan penyelenggara kegiatan senirupa di Riau ini, kini dan seterusnya, yang saya anggap baik buat dijadikan catatan atau pertimbangan dari peristiwa perjalanan yang saya lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, yang saya rasa mutlak harus dibagi dengan pihak-pihak lain, dalam hal ini rekan-rekan seniman atau penyelenggara senirupa.

Perihal perlunya sistem kuratorial bagi setiap peristiwa penampakan karya-karya senirupa. Banyak orang tentu tahu sesuai makna leksikal dari kata kurator, seperti juga tiap orang dapat memahaminya hanya dengan membalik helai-helai halaman kamus sederhana berbahasa Inggris. Kurator di sana berarti direktur, pegawai, pengurus, pengawas, atau bisa jadi penjaga gudang sebuah museum besar, gedung pameran atau galeri besar yang menajemennya sudah sedemikian terbiasa dengan kesempurnaan.

Khusus untuk kepentingan dunia senirupa, kata kurator memperoleh perluasan makna, dengan tingkatan fungsi jadi lebih tinggi, lebih bergengsi dan menentukan ketimbang direktur, pengawas dan tentu saja, penjaga gudang. Di dunia senirupa modern, perupa diposisikan sebagai kreator kebudayaan. Perupa dengan cap modern, sesuai makna inti kata tersebut, tentu saja beritikad terus menerus melakukan pembaharuan, pencarian, eksplorasi, hingga menemukan sesuatu bentuk baru (kebudayaan) yang kemudian diakui keberadaannya dan berpengaruh luas. Namun kecemerlangan dengan prediket yang disandang, sebenarnya bisa jadi sangat terikat dan tergantung pada komponen-komponen lain. Selain masyarakat seni, komponen-komponen lain itu adalah para pengamat dan pengkaji seni, pelindung seni, sehingga karya seni tak ‘ditafsir-tafsirkan’, diberi makna ‘suka-suka’ atau dibaca dari sisi yang tak terkait, seperti politik, keamanan, kepentingan kelompok, individu dan lain sebagainya. Keterikatan dan ketergantungan itu juga berlaku terhadap para, kolektor, kritikus, sejarawan seni dan kurator.

Boleh mau, boleh tak mau. Di dunia kini, dalam sistem dunia kesenian yang makin rumit, dengan masuknya unsur-unsur global dengan pola kapitalistik tak terelak, peran kurator jadi begitu penting untuk memunculkan, atau menidak-munculkan perupa (kreator) dengan karya tertentu, sehingga kecemerlangan kurator dapat mengangkat atau mungkin sebaliknya, ‘memalapkan’ karya dan senimannya.

Peran penting kurator dan pengaruhnya, dapat dilihat pada pameran-pameran tunggal yang kerap dilakukan Gigih Wiyono, seorang perupa yang pada awal menapakkan jejak senirupanya di Pekanbaru dan kini berkiprah serta punya nama besar di Jakarta. Dari catatan kuratorial, pemerhati, peminat terjembatani ke ruang pemaknaan akan karya-karya senirupa Gigih Wiyono.

Lukisan-lukisan Gigih umumnya memperlihatkan semangat naifis dan beberapa terlihat kecenderungan ke arah primitivisme, yang bermain dalam dunia simbol secara naif. Tapi, terlihat pula beberapa lukisannya yang memperlihatkan abstraksi dari simbol-simbol tertentu, sehingga menyebabkan pencitraan yang sukar dicerna. Beberapa dari simbol-simbol yang tertera pada karya senirupanya (lukisan ataupun patung) berhubungan dengan pengalaman yang sangat personal.

Dari dialog yang dilakukan kurator dengan Gigih, diketahuilah bahwa ia akan mengawali proses berkaryanya jika terlebih dulu tersentuh akan suatu kejadian. Mencoba mendekati kejadian melalui berbagai media, atau datang langsung. Tapi lebih sering ia membaca buku terkait. Katanya, buku itu semata-mata sebagai filter agar karya yang keluar bukanlah perasaan emosional, tapi sebuah karya yang punya nilai. Karya yang terinspirasi kondisi sosial, banyak menggunakan medium instalasi atau performance untuk mempermudah penyampaian gagasannya. Sebab instalasi sebagai medium memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu yang ‘dipikirkan’, tapi memiliki keterbatasan untuk mengabstraksikan sesuatu yang ‘dirasakan’.

Kurator yang menilai karya juga wajib menjelaskan tentang rentang perjalanan berkesenian dari perupa sebagai kelengkapan mutlak dari catatan kuratorialnya. Sehingga masyarakat pemerhati, pengamat dan para kolektor dapat informasi yang jelas di samping penilaian kualitas karya yang ditinjau dari banyak aspek.

Menjadi persyaratan mutlak, sistem kuratorial diberlakukan pada aktivitas-aktivitas besar bentang karya senirupa, seperti Venezia Biennale, Whitney Biennial di New York yang dianggap sebagai cerminan perkembangan senirupa maju Amerika. Begitu pula dengan peristiwa penting, seperti Biennale Havana Cuba, Osaka Triennale Jepang, Gwangju Biennale South Korea. Yang bersifat lokal Nasional seperti Open Biennale Jakarta 2003 dengan kurator Jim Supangkat. Countrybution Biennale Jogjakarta VII, 2003 dengan kurator Hendro Wiyanto. Begitu juga keterpengaruhan besar terhadap kurator dapat dilihat, pada kegiatan-kegiatan besar lelang karya seperti Balai Lelang Christie Singapura, Shothebys Singapura atau Balai Lelang Larasati Jakarta, dimana tugas mereka lebih menukik pada kemampuan penciuman tajam untuk memilih dan memilah karya-karya potensial terjual dengan harga tinggi.

Untuk kepentingan di atas tentulah para kurator senirupa adalah seseorang yang punya kapasitas pengetahuan mengenai isi atau nilai-nilai lebih karya-karya senirupa dalam suatu tempat atau wilayah, baik secara visual ataupun dalam berbagai pemikiran atau muatan makna yang melapisi karya-karya senirupa tersebut.
Lima belas tahun lebih, saya dipercaya atau terpilih sebagai pengurus Dewan Kesenian Riau. Dalam hal ini sesuai kecenderungan minat saya yang berlebih pada satu cabang seni, yaitu senirupa. Kurun waktu 15 tahun adalah rentang waktu yang memadai untuk mempelajari secara empiris, perihal yang berkaitan dengan kurator, pengkurasian atau kuratorial, sesuai bidang tugas yang dipikul walau mungkin masih ada celah-celah kecil yang tak teramati. 

Pada kegiatan pengkurasian atau lazim disebut kuratorial, seorang kurator ditunjuk akan bergerak seperti peneliti, dengan basis pengetahuan paling utama yaitu kemampuan menaksir nilai simpanan berharga yang terkandung dalam suatu karya. Sehingga seorang kurator ditunjuk dapat memberi alasan-alasan kuat sebagai landasan pemilihan, mengapa karya itu dapat jadi berharga atau layak ditampilkan. Untuk mencapai ini, ada beberapa tahap yang harus dilakukan. Pertama, mengumpulkan data referensi baik visual maupun wacana. Kedua, melacak karya-karya dan berinteraksi dengan para senimannya. Dalam proses itulah, kurator bisa menerapkan berbagai macam bingkai acuan atau juga pendekatan yang telah disiapkan sebelumnya atau mungkin juga berkembang, bahkan menemukan ide pendekatan baru untuk menampilkan karya-karya yang diobservasinya.

Kemampuan melacak, kekayaan pendekatan, intuisi yang tajam, serta vitalitas kerja kurator akan menghasilkan penyajian pameran-pameran yang kaya, variatif dan bermakna dalam. Untuk itu, yang bisa dinilai dari kerja kurator adalah bagaimana dia meletakkan pendekatan untuk melihat belantara fenomena kesenian di depannya. Sebagai contoh, belantara fenomena seni rupa bisa dikemas dengan pendekatan sejarah linear. Bisa juga diiris-iris dengan berbagai pendekatan konseptual apalagi yang sedang ‘hangat’ dan punya ‘nilai komersial’ dalam konteks kegiatan lelang. Tak beda jauh dari peruntukan lelang, untuk bentang karya pameran, sistem kuratorial seperti di atas mutlak diperhatikan, disamping hal seperti kecenderungan penggambaran bentuk seumpama, post colonialism, gender dan feminisme, identitas, lokalitas tradisi dan globalisasi dan seterusnya dengan konsep-konsep dicari dan ditemukan, yang bisa diciptakan kurator. Dengan demikian berbagai fenomena seni rupa itu bisa dimaknai lewat penyajian-penyajian pameran.

Dalam kegiatan pameran senirupa se-Sumatera bertajuk ‘’Penampang Senirupa Sumatera-Kekuatan yang Tersembunyi’’ yang diadakan di Galeri Nasional Jakarta, 19-30 Januari 2000, kegiatan ini melalui proses kuratorial bertahap yang dilakukan kurator daerah peserta (termasuk Riau) yang oleh penyelenggara disebut ko-kurator, yang kemudian ditapis lagi oleh kurator tetap Galeri Nasional waktu itu, Suwarno Wisetrotomo. Rambu kuratorial yang dijadikan kendali kurator Suwarno Wisetrotomo, dalam menentukan kelayakan karya yang ditampilkan, walau tak terlalu keras namun punya batasan acuan yang jelas seperti untuk karya-karya yang dianggap sebagai karya pendahulu seperti karya Wakidi, Syamsul Bahar, H A Ramli Dt Rangkayo Sati, Huriah Adam, M Saleh, Aly Umar, MS Hady, A Haris, Noor Saga. Acuan yang dipakai buat karya-karya mereka adalah, menunjukkan ciri lokalitas landscap cantik ranah Sumatera dengan teknik naturalistik khas, kepeloporan dan pengaruh. Selanjutnya untuk karya-karya yang oleh Suwarno Wisetrotomo dikategorikan sebagai pelanjut atau generasi berikut, seperti karya Mangatas Pasaribu, Tety Mirwa, Darvies Rasyidin, Ici Tarmizi, Jafar Rasuh, Zirwen Hazry, Bambang Suroboyo, Dana E Rahmat, Dantje S Moeis, Subarjo dan lain-lainnya. Suwarno Wisetrotomo memperbanyak jumlah rambu kuratorial dan menambah dengan penonjolan problematika proses kreatifitas, menyangkut objek, idiom atau ragam ungkapan, teknik dan lain sebagainya yang lebih kompleks. (Katalogus; catatan Kuratorial).

Yang lebih ideal mendekati kesempurnaan, dalam proses kuratorial ada dialog mendalam antara kurator dan seniman, dengan karya-karya dan konsep-konsep, atau pendekatan yang dipakai kurator. Dengan proses demikian, pameran jadi tak sekadar menampilkan karya apa adanya, atau ajang pameran hanya sebagai penampakan kerja seniman dalam kurun waktu tertentu, namun seyogianya jadi suatu forum produktif makna. Dalam forum demikian, produksi makna akan terus berkembang ketika komponen-komponen dunia seni yang lain dengan antusias ikut menyambutnya. Namun, walau kerja kuratorial meliputi syarat-syarat penelitian, tapi ujung-ujung niatnya, sebenarnya jauh dari sekadar membangun teori. Kerja kuratorial lebih berusaha menggali makna-makna karya seni lewat penyajian pameran. Untuk menandai makna tersebut maka jadi syarat mutlak adanya tulisan pengantar kuratorial dalam pameran. Tulisan itu berfungsi mempertanggungjawabkan pandangan dan pendapat kurator terhadap pendekatan atau konsep, maupun alat-alat analitik yang dipilihnya, sehingga lahir pilihan tema pameran seperti yang disajikan. Dengan demikian kerja kuratorial bukan hanya sekadar menulis pengantar pameran di katalogus atau juga menampilkan karya-karya. Selain itu tentu saja kurator juga bukan juru bicara seniman, art dealer atau sejenis humas galeri atau pameran.

Terlihat jelas dari paparan di atas, tergambar nilai-nilai, cenderung positif dari pola kuratorial buat para kreator perupa, masyarakat peminat senirupa dan pemerhati dan tentu juga pedagang karya seni. Tapi, dalam kerumitan jaringan global yang bisa memaksa dengan kekuatan kapitalismenya, potensi-potensi kuratorial itu bisa mendikte para seniman. Secara sederhana bisa tumbuh suatu selera seni yang dihembuskan para kurator yang berpengaruh. Dengan kondisi demikian, apa benar tak ada upaya sadar seniman supaya karya-karyanya masuk dalam forum-forum biennale bergengsi, dengan cara mempelajari selera para kurator? Bahkan lebih jauh lagi untuk acara pameran-pameran berkala di tingkat daerah sekalipun, seniman-seniman telah didikte dengan tema-tema yang telah dibuat para kurator. Dengan demikian, akhirnya para perupa harus jadi seniman ‘dalam rangka’ menerjemahkan fatwa para kurator. Dalam kondisi yang demikian, ketika semua pameran penting selalu ‘dihadang’ sang kurator, maka bagi seniman yang kehilangan kepercayaan diri akan mati langkah. Apalagi sekarang nilai-nilai sistem globalisasi yang menyeragamkan norma dan ukuran estetik maupun standar penyelenggaraan pameran itu, mulai banyak dianut oleh tiap institusi kesenian di wilayah-wilayah daerah sekalipun. Untuk mengimbangi kecenderungan itu, pihak penyelenggara sebagai pemegang teraju, tentu diharap dapat betul-betul memilih dan menilai sosok kurator yang betul-betul berkemampuan, layak diajak bekerja-sama dan tentu saja sangat  dedikatif dalam upaya pemurnian nilai karya-karya seni. n

Dantje S Moeis, lahir di Rengat, Indragiri Hulu Riau, adalah  pekerja seni, redaktur majalah budaya Sagang, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 8 Juli 2012

No comments: