Sunday, July 22, 2012

Membaca "Takdir" Seni Suara

-- Bayu Arsiadhi
ABAD kini, kesadaran manusia akan citarasa musikal manusia berkembang jauh di balik fakta historis dan secara geografis lebih luas daripada musik terdahulu. Kesadaran ini penting untuk mempersiapkan penikmat dalam mendengarkan musik dimana ada ‘bahasa asing’ di dalamnya. Musik konvensional biasanya dimulai dari elemen terkecil --tangga nada, harmoni, melodi dan kalimat-- selanjutnya berkembang ke bangunan yang lebih besar, gesture, bentuk, struktur, timbre, tekstur dan banyak lagi, jelas ini semua berakar dari konvensi dan terminologi repertoar Klasik (Eropa). Risiko dari pendekatan itu seringkali membuat pendengar ‘tak berdaya’ bila dihadapkan dengan musik dimana syarat dan konvensi tak lagi berlaku.   

Rabu (6 Juni 2012) lalu, seniman suara yang memperkenalkan usaha kolaboratif musik baru ke Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dengan judul ‘’Download’’ , ditaja oleh Rumah Seni Budaya Siku Keluang bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Musik STSR. Terdiri dari seniman seni suara --Adhari Donora (Pekanbaru), Andreas Siagian (Bogor), Therese Schuleit (Jerman), Tuan Coki (Pekanbaru) Slamet Rivaldi (Pekanbaru). Semua repertoar yang disajikan merupakan hasil manipulasi bunyi menggunakan perangkat lunak (software) dan hardware sebagai penggerak sensor bunyi, keseringan mengeksplorasi frekuensi-frekuensi tinggi, sekilas tampak seperti ‘kebisingan’ daripada musik pada umumnya. Sayangnya, menjelang penampilan ketiga penonton telah banyak yang meninggalkan ruang pertunjukan.

SoundArt adalah sesuatu yang baru dalam seni yang meliputi musik dan itu adalah seni yang telah diakui sejak abad 18 di Eropa dan Amerika. Secara harfiah soundarts artinya ‘seni yang dibuat dari suara’. Istilah sound atau suara tak mengindikasikan elemen dasar musik pada umumnya, tapi bunyi, yang biasanya dibedakan dengan musik seperti dikemukakan etnomusikolog berpengaruh, Shin Nakagawa dalam Selonding Jurnal Etnomusikologi Indonesia pada 2001. Dalam menjembatani seni visual dan seni suara, menciptakan praktik interdisipliner, seni suara mendorong materialitas bunyi dalam kaitannya dengan konseptualisasi potensi pendengaran. Sekilas dapat dilihat pada cara dimana seni suara melanggar hirarki indera pendengaran.

Terlepas dari bagaimana para ilmuwan, akademisi atau kritikus memformulasikan gagasan “apa itu seni suara” dan mengabaikan kritik bahwa seni suara merupakan anak tiri yang tak termasuk musik atau seni. Bila digambar dengan musik keduanya memiliki prinsip yang sama yaitu, merangkai bunyi dalam dimensi durasional (time), hanya saja seni suara mengejar hubungan yang lebih aktif untuk presentasi spasial dengan makna ‘kehadiran bunyi di dalam ruang.’

Mencoba untuk memahami musik detail demi detail, bak memantau kondisi perkembangan pasar saham detik demi detik. Namun, koherensi dari pasar saham dan keberhasilan investasi terletak pada gejala-gejala yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Seorang investor yang baik tak dapat memprediksi apa yang akan terjadi besok, tapi ia harus dapat mengelola saham seseorang dalam waktu yang lebih lama.

Mendengarkan musik, terutama bila baru --mirip halnya dengan mengelola portofolio saham seseorang : sangat baik untuk lebih komprehensif, daripada berorientasi pada detail komposisi tersebut. 

Salah satu cara dengan mendengarkan ‘takdir’ baik karya komposisi musik baru maupun seni suara. ‘Takdir’ dalam seni yang memanfaatkan bunyi sebagai media penciptaan adalah gambaran hasil akhir dari karya tersebut, mirip dengan cara menggambarkan hasil akhir dari sebuah narasi. Ada tiga macam ‘takdir’ secara keseluruhan : alur kuat, alur lemah dan alur satu arah. Novel karya Jules Verne, Mengelilingi Dunia Selama 80 Hari, dikisahkan bagaimana seorang Inggris Phileas Fogg menggunakan semua alat transportasi --kapal uap, kapal dagang, kapal pesiar, kereta api, gajah untuk memenuhi tantangan kawan-kawanya di Klub Reformasi dan menyelesaikan perjalanannya mengelilingi dunia tepat selama 80 hari. Kembalinya merupakan bentuk tegas, aman dan lengkap. Begitu juga untuk karya musik dan seni suara, dapat membuat alur kuat dengan pengembalian lebih ditekankan pada titik awal. 

Film Kembalinya Guerre Martin, berdasarkan peristiwa kehidupan nyata abad ke-16 di Prancis. Bercerita tentang berbagai jenis pengembalian. Tanpa diduga, setelah bertahun-tahun dalam peperangan, seorang pria mengaku sebagai Martin kembali. Terluka akibat pertempuran panjang yang ia alami, hampir tak bisa dikenali. Banyak yang skeptis terhadap identitasnya, tapi ia akrab dengan sejarah desa dan rakyatnya dan suami yang sangat mencintai istrinya. Pada awalnya tampak aman. Tapi seseorang yang mencurigainya bahkan cemburu padanya akhirnya membuktikan bahwa ia adalah seorang penipu. Meski tujuannya mulia dan peduli pada istri Martin, kembalinya Martin palsu berakhir dengan eksekusi. Ini merupakan alur lemah. Hal yang sama, alur lemah dalam musik dan seni suara di mana suatu pengembalian  adalah ambigu, tidak aman atau tidak lengkap.

Akhirnya, Anna Karenina sebuah novel epik oleh penulis Rusia Leo Tolstoy merupakan contoh dari jenis takdir ketiga: Alur satu arah. Ketika cerita dimulai, Anna telah menikah dan memiliki dua anak. Rentan dan merasa kurang bahagia, sehingga dia terpesona pada lelaki lain ialah Count Vronskii. Pernikahannya rontok dan lari dengan Vronskii. Namun, hubungan mereka pun berakhir. Karena malu dan dikhianati dia pun melemparkan dirinya di bawah kereta.

‘Takdir’ pada suatu narasi sangat penting dalam menentukan maknanya. Jika Phileas Fogg mengalami kecelakaan saat melintasi Atlantik, tak pernah kembali ke London, kisah Verne memilih pengembalian yang tragis dan pahit. Jika Anna berkumpul kembali dengan keluarganya, cerita Tolstoy akan memiliki maksud yang jauh berbeda.

Demikian pula, ‘takdir’ dari sebuah karya musik merupakan pusat maknanya. Jika karya musik adalah alur kuat, ini berbicara stabilitas dan musik yang berketahanan. Jika alur lemah, stabilitas mulai terganggu, bisa jadi bagian itu belum terselesaikan. Jika alur merupakan perkembangan satu arah, maka perkembangan dan perubahan terus-menerus lebih ditekankan.

Kesan ‘takdir’ sebuah karya mampu menggambarkan pada pendengar kelengkapan dan keragaman yang ada di dalamnya. Jika itu adalah alur kuat, pertanyaan yang muncul: seberapa jauh penyimpangan dari asal-usul karya tersebut? Berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat pengembalian? Jika alur lemah, orang mungkin bertanya: Apa yang menyebabkan pengembalian menjadi ambivalen? Apakah ada peringatan lebih dahulu dari hasil akhir ini? Jika karya adalah perkembangan satu arah, mungkin mempertimbangkan: Bagaimana akhir dibanding dengan awal?

Pandangan menyeluruh dari mendengarkan ‘takdir’ karya musik dan seni suara, selanjutnya, mulai menggiring pendengar ke dalam bagian-bagian yang lebih rinci, seperti pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam Anna Karenina, Anna dan Vronskii pertama kali bertemu di stasiun kereta api St Petersburg. Dalam mimpi Anna, seorang pria bunuh diri dengan melompat ke depan kereta. Demikian pula dalam musik, detail berperan sebagai penentu ‘takdir’.

Mengarahkan penonton untuk mendengarkan ‘takdir’ sebuah karya musik memiliki beberapa keuntungan: Pertama, setiap karya musik memiliki ‘takdir’ --pendengar sangat bebas untuk menafsirkan tujuan akhir karya. Kedua, ‘takdir’ adalah gaya independen: Tidak harus mengenali bahan dasar musik untuk menangkap ‘takdirnya’. Ketiga, mendengarkan ‘takdir’ menjamin penonton akan mengikuti pertunjukan hingga selesai. Namun, jika kita ingin mengajak penonton berinvestasi dalam karya seni baru, penuh ketakterdugaan, kita harus mengajar mereka dengan kesabaran dan ketahanan terhadap bentuk musik yang lebih besar. Aksioma yang selalu terngiang: Mulailah dari hal yang kecil, selanjutnya ke hal yang lebih besar.***

Membaca "Takdir" Seni Suara
22 Juli 2012 - 10.06 WIB > Dibaca 8 kali

Abad kini, kesadaran manusia akan citarasa musikal manusia berkembang jauh di balik fakta historis dan secara geografis lebih luas daripada musik terdahulu. Kesadaran ini penting untuk mempersiapkan penikmat dalam mendengarkan musik dimana ada ‘bahasa asing’ di dalamnya. Musik konvensional biasanya dimulai dari elemen terkecil --tangga nada, harmoni, melodi dan kalimat-- selanjutnya berkembang ke bangunan yang lebih besar, gesture, bentuk, struktur, timbre, tekstur dan banyak lagi, jelas ini semua berakar dari konvensi dan terminologi repertoar Klasik (Eropa). Risiko dari pendekatan itu seringkali membuat pendengar ‘tak berdaya’ bila dihadapkan dengan musik dimana syarat dan konvensi tak lagi berlaku.   

Rabu (6 Juni 2012) lalu, seniman suara yang memperkenalkan usaha kolaboratif musik baru ke Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dengan judul ‘’Download’’ , ditaja oleh Rumah Seni Budaya Siku Keluang bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Musik STSR. Terdiri dari seniman seni suara --Adhari Donora (Pekanbaru), Andreas Siagian (Bogor), Therese Schuleit (Jerman), Tuan Coki (Pekanbaru) Slamet Rivaldi (Pekanbaru). Semua repertoar yang disajikan merupakan hasil manipulasi bunyi menggunakan perangkat lunak (software) dan hardware sebagai penggerak sensor bunyi, keseringan mengeksplorasi frekuensi-frekuensi tinggi, sekilas tampak seperti ‘kebisingan’ daripada musik pada umumnya. Sayangnya, menjelang penampilan ketiga penonton telah banyak yang meninggalkan ruang pertunjukan.

SoundArt adalah sesuatu yang baru dalam seni yang meliputi musik dan itu adalah seni yang telah diakui sejak abad 18 di Eropa dan Amerika. Secara harfiah soundarts artinya ‘seni yang dibuat dari suara’. Istilah sound atau suara tak mengindikasikan elemen dasar musik pada umumnya, tapi bunyi, yang biasanya dibedakan dengan musik seperti dikemukakan etnomusikolog berpengaruh, Shin Nakagawa dalam Selonding Jurnal Etnomusikologi Indonesia pada 2001. Dalam menjembatani seni visual dan seni suara, menciptakan praktik interdisipliner, seni suara mendorong materialitas bunyi dalam kaitannya dengan konseptualisasi potensi pendengaran. Sekilas dapat dilihat pada cara dimana seni suara melanggar hirarki indera pendengaran.

Terlepas dari bagaimana para ilmuwan, akademisi atau kritikus memformulasikan gagasan “apa itu seni suara” dan mengabaikan kritik bahwa seni suara merupakan anak tiri yang tak termasuk musik atau seni. Bila digambar dengan musik keduanya memiliki prinsip yang sama yaitu, merangkai bunyi dalam dimensi durasional (time), hanya saja seni suara mengejar hubungan yang lebih aktif untuk presentasi spasial dengan makna ‘kehadiran bunyi di dalam ruang.’

Mencoba untuk memahami musik detail demi detail, bak memantau kondisi perkembangan pasar saham detik demi detik. Namun, koherensi dari pasar saham dan keberhasilan investasi terletak pada gejala-gejala yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Seorang investor yang baik tak dapat memprediksi apa yang akan terjadi besok, tapi ia harus dapat mengelola saham seseorang dalam waktu yang lebih lama.

Mendengarkan musik, terutama bila baru --mirip halnya dengan mengelola portofolio saham seseorang : sangat baik untuk lebih komprehensif, daripada berorientasi pada detail komposisi tersebut. 

Salah satu cara dengan mendengarkan ‘takdir’ baik karya komposisi musik baru maupun seni suara. ‘Takdir’ dalam seni yang memanfaatkan bunyi sebagai media penciptaan adalah gambaran hasil akhir dari karya tersebut, mirip dengan cara menggambarkan hasil akhir dari sebuah narasi. Ada tiga macam ‘takdir’ secara keseluruhan : alur kuat, alur lemah dan alur satu arah. Novel karya Jules Verne, Mengelilingi Dunia Selama 80 Hari, dikisahkan bagaimana seorang Inggris Phileas Fogg menggunakan semua alat transportasi --kapal uap, kapal dagang, kapal pesiar, kereta api, gajah untuk memenuhi tantangan kawan-kawanya di Klub Reformasi dan menyelesaikan perjalanannya mengelilingi dunia tepat selama 80 hari. Kembalinya merupakan bentuk tegas, aman dan lengkap. Begitu juga untuk karya musik dan seni suara, dapat membuat alur kuat dengan pengembalian lebih ditekankan pada titik awal. 

Film Kembalinya Guerre Martin, berdasarkan peristiwa kehidupan nyata abad ke-16 di Prancis. Bercerita tentang berbagai jenis pengembalian. Tanpa diduga, setelah bertahun-tahun dalam peperangan, seorang pria mengaku sebagai Martin kembali. Terluka akibat pertempuran panjang yang ia alami, hampir tak bisa dikenali. Banyak yang skeptis terhadap identitasnya, tapi ia akrab dengan sejarah desa dan rakyatnya dan suami yang sangat mencintai istrinya. Pada awalnya tampak aman. Tapi seseorang yang mencurigainya bahkan cemburu padanya akhirnya membuktikan bahwa ia adalah seorang penipu. Meski tujuannya mulia dan peduli pada istri Martin, kembalinya Martin palsu berakhir dengan eksekusi. Ini merupakan alur lemah. Hal yang sama, alur lemah dalam musik dan seni suara di mana suatu pengembalian  adalah ambigu, tidak aman atau tidak lengkap.

Akhirnya, Anna Karenina sebuah novel epik oleh penulis Rusia Leo Tolstoy merupakan contoh dari jenis takdir ketiga: Alur satu arah. Ketika cerita dimulai, Anna telah menikah dan memiliki dua anak. Rentan dan merasa kurang bahagia, sehingga dia terpesona pada lelaki lain ialah Count Vronskii. Pernikahannya rontok dan lari dengan Vronskii. Namun, hubungan mereka pun berakhir. Karena malu dan dikhianati dia pun melemparkan dirinya di bawah kereta.

‘Takdir’ pada suatu narasi sangat penting dalam menentukan maknanya. Jika Phileas Fogg mengalami kecelakaan saat melintasi Atlantik, tak pernah kembali ke London, kisah Verne memilih pengembalian yang tragis dan pahit. Jika Anna berkumpul kembali dengan keluarganya, cerita Tolstoy akan memiliki maksud yang jauh berbeda.

Demikian pula, ‘takdir’ dari sebuah karya musik merupakan pusat maknanya. Jika karya musik adalah alur kuat, ini berbicara stabilitas dan musik yang berketahanan. Jika alur lemah, stabilitas mulai terganggu, bisa jadi bagian itu belum terselesaikan. Jika alur merupakan perkembangan satu arah, maka perkembangan dan perubahan terus-menerus lebih ditekankan.

Kesan ‘takdir’ sebuah karya mampu menggambarkan pada pendengar kelengkapan dan keragaman yang ada di dalamnya. Jika itu adalah alur kuat, pertanyaan yang muncul: seberapa jauh penyimpangan dari asal-usul karya tersebut? Berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat pengembalian? Jika alur lemah, orang mungkin bertanya: Apa yang menyebabkan pengembalian menjadi ambivalen? Apakah ada peringatan lebih dahulu dari hasil akhir ini? Jika karya adalah perkembangan satu arah, mungkin mempertimbangkan: Bagaimana akhir dibanding dengan awal?

Pandangan menyeluruh dari mendengarkan ‘takdir’ karya musik dan seni suara, selanjutnya, mulai menggiring pendengar ke dalam bagian-bagian yang lebih rinci, seperti pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam Anna Karenina, Anna dan Vronskii pertama kali bertemu di stasiun kereta api St Petersburg. Dalam mimpi Anna, seorang pria bunuh diri dengan melompat ke depan kereta. Demikian pula dalam musik, detail berperan sebagai penentu ‘takdir’.

Mengarahkan penonton untuk mendengarkan ‘takdir’ sebuah karya musik memiliki beberapa keuntungan: Pertama, setiap karya musik memiliki ‘takdir’ --pendengar sangat bebas untuk menafsirkan tujuan akhir karya. Kedua, ‘takdir’ adalah gaya independen: Tidak harus mengenali bahan dasar musik untuk menangkap ‘takdirnya’. Ketiga, mendengarkan ‘takdir’ menjamin penonton akan mengikuti pertunjukan hingga selesai. Namun, jika kita ingin mengajak penonton berinvestasi dalam karya seni baru, penuh ketakterdugaan, kita harus mengajar mereka dengan kesabaran dan ketahanan terhadap bentuk musik yang lebih besar. Aksioma yang selalu terngiang: Mulailah dari hal yang kecil, selanjutnya ke hal yang lebih besar. n

Bayu Arsiadhi, Musisi dan dosen musik STSR, Musisi dan dosen musik STSR

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Juli 2012


No comments: